Oleh : Almuzanni
Indrapuri
merupakan salah satu benteng pertahanan kerajaan hindu tempo dulu, yang
bertempat di mesjid tuha indrapuri sekarang. Penamaan indrapuri itu sendiri
dengan julukan “kuta ratu”, juga dikenal sebagai tempat wisata kehinduannya di
seputaran indrapuri. Para ahli sejarah mencatat, sejalan dengan perkembangan
kejayaan islam semua peninggalan-peninggalan hindu yang bebentuk candi menjadi
terbengkalai. Sehingga pada masa kerajaan sultan iskandar muda bangunan-bangunan
candi tersebut di rehabilitasi dan di alih fungsikan menjadi mesjid.
Kalau berkunjung ke indrapuri, selain terdapat mesjid warisan budaya hindu, anda akan menyaksikan deretan kedai kopi di sepanjang jalan. Bagi masyarakat indrapuri, kedai kopi sebagai sarana untuk bertemu dan berinteraksi dengan sesama. Baik urusan kerja, politik dan komunikasi bisnis di selesaikan di kede kopi. Menariknya, kedai-kedai kopi di sini menyedian Koran sebagai sarana informasi.
Bila
kita pesan Satu cangkir kopi ukuran kecil maka harganya Rp 3.000,- untuk satu
orang. Keunikannya, apabila kita pesan kopi dengan harga yang sama yaitu Rp
3.000,- di dalam bungkusan ( kantong plsatik) maka anda bisa minumnya dengan
beberapa orang. Sejauh ini juga tidak ada pembeli kopi dalam bungkusan yang
membagikan langsung minuman kopi dengan meminjam gelas/cangkir empunya warung
bahkan tidak wajar di lakukan oleh pembeli kerena yang demikian termasuk
pelecehan. Menurut analisa penulis, hal itu sebagai rasa social pemilik warung
kopi kepada pengunjungnya dan juga sebagai moral, akhlak dan etika antara
penjual dan pembeli, walaupun pembelinya tadi tidak memberitahukan jumlah orang
yang minum kopi dan penjual juga tidak menanyakannya. Selain menikmati kopi,
berbagai penanganan khas tersedia seperti kue, pulot, Bubur kacang jihau, mie
aceh, dan martabak serta nasi gurih di pagi hari. Jangan heran jika anda
melihat pengunjung warung kopi dalam sehari berulang-ulang minimal sampai
emapat kali dan rela duduk berlama-lama . Di sana juga terlihat yang duduk
nongkrong di warung kopi itu berasal dari semua kalangan umur. Dari yang muda
sampai yang tua.
Mencermati
fonomena tersebut tidak banyak tempat hiburan di indrapuri selain warung kopi
yang berfungsi sebagai tempat makan dan minum tapi juga sarana bersosialisasi
dan mengakses di internet. Namun kehadiran warung-warung kopi di khawatirkan
akan mendatangkan akibat negatif.
Inoeng Bak Warung Kopi
Pada Tahun
2011 Negara Indonesia menggelarkan festival pemilihan Putri Kopi Dunia
(Word Queen of Coffee). Perempuan Aceh yang mewakili dalam ajang pemilihan tersebut
bernama Khairun Nisa terpilih sebagai Putri Kopi Dunia Aceh. Ia berhasil meraih
juara tiga putri kopi Indonesia. Prestasi-prestasi yang di raih oleh ineong
aceh patut kita apresiasikan karena bisa kencah bersinar bagi Aceh itu sendiri.
Baik dari tingkat nasional, regional, bahkan internasional.
Ironi, kesuksesen perempuan aceh
juga tidak dapat di pisahkan dalam sebuah fenomena miris yang teramati dari
perilaku segelintir ineong Aceh masa kini. Dengan kata lain, dinamika
keberhsilan seseorang selalu di isi dengan tolak ukur negatif dan positif serta
bagaimana mengsinergikan keduanya dalam kesalahpahaman menjadi logika yang
serah dan sejalan.
Realita
dalam kehidupan perkotaan sudah menjadi tradisi sekolompok anak muda terdiri
atas beberapa kaum laki-laki dan beberapa perempuan terlihat sedang tenggelam
dan hanyut dalam sebuah suasana kebersamaan. Anak-anak perempuan terlihat
sangat enjoy dengan menyandarkan dadanya di tepian meja dan meletakkan tangan
kebidang meja. Bila dicermati mereka sedang berada dalam keadaan kebisingan
suara manusia dan kepengapan ruang disesaki kepungan asap rokok.
Dewasa
ini, perilaku perempuan di warung kopi laki-laki bukan hanya sekedar dijadikan
tempat makan dan minum, akan tetapi dimanfaatkan sebagai sarana menyejajarkan
bahu, kongkow, ketawa-ketawa, ngakak tanpa menghiraukan orang sekelilingnya,
dan tempat persembunyian pada melarikan diri dari orang tua . Fenomena-fenomena
yang digambarkan di atas, bagi kaum wanita sungguh sesuatu yang melawan fitrah
dan bertentangan dengan ajaran normatif.
Perubahan
pola pikir yang berlawanan dengan nilai-nilai keislaman menjadikan malapetaka
bagi nusa dan bangsa kita sendiri. Tanpa disadari dan luput dalam mengkaji apa
yang sedang dijalani pada praktik kebebasan bagi perempuan di warung kopi yang
berlebihan merupakan undang-undang yahudi untuk meruntuhkan martabat kaum
wanita dalam rentetan waktu jangka panjang.
Keberhasilan
budaya barat adalah memasukkan filsafat deifikasi (pendewaan) terhadap dialektika
materialisme atau pandangan materialistis kedalam jiwa kaum perempuan, lalu
berlayar dalam samudra kenikmatan dan lautan kesenangan sepuas-puasnya.
Teman-teman
saya berdiskusi panjang lebar tentang inoeng
bak warung kopi di jejaring
sosial facebook. Mereka berpendapat, melihat suatu fenomena harus menserasikan
antara keadaan positif dan negatif. Apalagi ini berkaitan dengan stamina/spirit
perempuan. Argementasi lain juga tidak mengapa bila perempuan yang menjadikan
warung kopi itu sebagai sarana informatif yang sangat murah mengakses layanan
internet untuk keperluan pendidikan. Berkaitan dengan pendapat kawan-kawan
diatas, tidak terlepas dari mekanisme control pada kemaslahatannya dan situasi
dan kondisi bagi masing-masing individu.
Dinamika Syari’at Islam
Slogan Syari’at Islam telah
menyatu pada masyarakat kita sejak masa sultan hingga sekarang. Kemudian untuk
mengaplikasikan ajaran Islam secara totalitas juga sangat berkeinginan. Tidak
hanya di bidang syari’ah dan aqidah semata, tetapi mencakup aspek pendidikan,
kesenian, sosio cultural, social ekonimi dan kemasyarakatan serta politik.
Eksistensi Syari’at Islam pada
masyarakat indrapuri ialah tidak adanya warung kopi atau café sebagai sarana
nongkrong untuk kaum perempuan, hal ini terlepas kaum wanita memilih warung di
luar kota. keistimewaannya keberadaan perempuan di pasar dan ada yang tinggal
dan bejualan dekat dengan warung kopi, demi untuk menjaga kehormatan dalam
realitas kemualian, masih membumikan perasaan tidak etis jika berada diwarung
kopi laki-laki. Meskipun berkunjung kewarung kopi hanya sebatas menitip keu
jualan dan membeli kopi dalam bungkusan plastic. Setelah itu kembali pulang dan
melanjutkan tugas dan kewajiban selaku perempuan.
Warung
kopi di Aceh khususnya di indrapuri juga menyediakan sarana khusus sebagai
musalla, dan ini sebagai wujud kesadaran pemilik warung kopi menjaga adat
istiadat dan normatifitas ajaran islam di Aceh. Hal ini jarang kita temukan di
warung kopi di luar Aceh.
Militansi
syari’at islam di indrapuri harus kita jaga bersama-sama, terutama pada
pengaruh budaya luar yang dapat meruntuhkan keyakinan, paham gender yang
keliru, paham sekulerisme dan imperalisme. Kerena pemurtadan dan menghancur
budaya islami oleh misionaris dan orientalis barat sasarannya tertuju pada
pusat-pusat kejayaan islam pada masa tempo dulu. Semoga, terjaga….?
0 facebook:
Post a Comment