Mesjid Indrapuri adalah bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi. Bentuknya khas, mirip candi, karena di masa silam bangunan tersebut bekas benteng sekaligus candi kerajaan hindu yang lebih dahulu berkuasa di Aceh. Sekelilingnya dipagari tembok setebal 1,5 meter.
Jika dilihat dari dasar bangunan, tembok yang mengelilingi terbagi dalam empat lapis dengan relief sederhana tanpa ukiran. Tembok lapis terluar lebih luas serta lebih tinggi dari lapis dua, begitu seterusnya hingga lapis keempat sebagai lapis terdalam. Diperkirakan tinggi lapis pertama lebih kurang 11 meter, lapis kedua 7 meter, lapis ketiga 3 meter dan lapis keempat 1 meter.
Untuk memasuki ke dalam area bangunan utama, diapit oleh dua tembok persegi panjang ukuran 0,5×0,5 meter dengan tinggi sekitar 1 meter, sebuah pintu pagar besi warna hijau sebagai gerbang kecil dibagian timur dengan 11 anak tangga akan membawa kita di tingkat kedua dari tiga tingkat dan tiap tingkatan ditandai dengan tembok yang mengelilingi luasan area. Itulah gerbang utama mesjid tua bersejarah itu.
Bangunan yang tidak terlalu luas untuk seukuran bangunan sekarang tersebut, sebelah baratnya berbatasan dengan sungai Indrapuri yang termasuk dalam daerah aliran sungai (DAS) Krueng Aceh dan sebelah utara berbatasan dengan rumah penduduk. Sebelah timur berbatasan dengan jalan raya semasa zaman Belanda dan kini menjadi jalan alternatif yang sepanjang jalan disuguhkan pemandangan perkampungan masyarakat dan persawahan dan sebelah Selatan berbatasan dengan pasar Indrapuri.
Tembok lapis pertama dari bangunan tua Mesjid Indrapuri kini sudah sejajar dengan lapis kedua, hingga terlihat lapis kedua seolah-olah lapis pertama, namun untuk melihat lapis pertama yang sebenarnya, disebelah timur laut mesjid masih ada tangga lainnya sejumlah 16 anak tangga, saat kita berada di anak tangga terakhir baru jelas terlihat sisi terluar dari mesjid yang kokoh ditopang fondasi bebatuan.
Bangunan tua di Indrapuri, Aceh Besar itu sudah ada di sana jauh sebelum ada Kerajaan Islam Aceh. Menurut sejarah, bangunan yang berdiri di atas tanah lebih kurang setengah hektare itu didirikan sekitar tahun 1.200 Masehi dan dulunya adalah lokasi Kerajaan hindu terbesar di Aceh selain Indrapurwa di Lam Guron Peukan Bada dan Indrapatra di Ladong, Mesjid Raya, Aceh Besar.
Diperkirakan pada tahun 1.300 Masehi, pengaruh Islam di Aceh mulai menyebar, dan perlahan penduduk sekitar sudah mengenal Islam, akhirnya bangunan yang dulunya candi berubah fungsi menjadi mesjid. Dan sejarah juga mengatakan bangunan bekas candi tersebut dirubah menjadi mesjid di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa dari tahun 1607-1637 Masehi. Masa itulah Sultan Iskandar Muda berhasil memerangi kerajaan hindu yang sudah tumbuh lebih dahulu disana.
Dalam sebuah artikel yang dikutip dari www waspadamedan com dalam tulisan “Candi Menjadi Masjid Jamik Indrapuri”. Sebelum tahun 1607 M – 1636 M pada masa kesultanan Iskandar Muda berjaya, Indrapuri adalah salah satu daerah yang pernah ditempati oleh orang-orang Hindu di Aceh. Candi Hindu itu dulu juga dikenal dengan benteng atau kerajaan orang Hindu, pada tahun 604 M adik perempuan dari Putra Harsha melarikan diri dari kerajaannya ke Aceh. Lalu setelah menetap di Aceh, Putra Harsha mendirikan kerajaan yang diduga adalah besar kemungkinan Indrapuri sekarang ini.
Selain dugaan dari kerajaan yang didirikan oleh Putra Harsha, ada juga bukti lain yang terdapat di seputaran daerah Indrapuri tersebut seperti adanya perkampungan orang Hindu, yakni yang terletak di kampung Tanoh Abe serta beberapa peninggalan kuburan orang Hindu. Indrapuri menurut orang-orang Hindu pada zaman itu mempunyai arti Kuta Ratu. Selain mendirikan kerajaan di Indrapuri, Putra Harsha juga mendirikan kerajaan lainnya di Ladong, Aceh Besar, menuju ke pelabuhan Malahayati, yang sering dikenal masyarakat sekitar dengan nama benteng Indrapatra.
Dalam buku “Tawarich Raja-Raja Kerajaan Aceh”, karangan Yunus Djamil menyebutkan bahwa, Indrapuri merupakan bagian dari kerajaan Hindu Indrapurwa dan salah satunya termasuk benteng Indrapatra.
Dari berbagai literatur yang ada, belum ada yang menjelaskan kapan berdirinya bangunan tua nan kokoh itu. Konon di masjid ini Sultan Terakhir Kerajaan Aceh Muhammad Daud Syah dinobatkan pada tahun 1874 dan kala itu dipercaya Indrapuri pernah menjadi ibukota Kesultanan Aceh.
Dalam artikel lain yang dikutip dari www atjehpost com, pengelola pertama masjid ini adalah Teungku Syiah Kuala, sekitar tahun 1.600 Masehi, kemudian masjid ini diurus oleh Teungku Chik Eumpe Trieng pada masa Panglima Polem dan selanjutnya diwariskan kepada cucu Panglima Polem, Teungku Wahab.Terakhir masjid tua penuh sejarah ini diurus oleh Abu Indrapuri. Sepeninggal Abu Indrapuri lalu beralih tugas kepada Teungku Harun dan Teungku Nasrudin yang mendirikan sekolah di sekeliling masjid. Beliau pulalah yang mengurusi masjid ini.
Kembali ke dalam area mesjid, begitu kita berdiri di halaman tingkat dua mesjid yang sekarang sudah berlantai batako, tepat di depan pintu utama masuk mesjid sebuah kulah berisi air menjadi tempat berwudhu. Kini kulah itu sudah diberi atap sebagai peneduh jamaah saat berwudhu. Satu pintu pagar besi warna hijau lain menjadi pemisah antara lantai mesjid dengan lantai luar.
Mesjid Indrapuri ruangan dalam Kontruksi atap bangunan berbentuk limas segi empat sebelumnya berbahan daun rumbia, sekitar tahun 1988, saat renovasi atap bangunan diganti dengan seng hingga dengan sekarang, tiap tingkatan atap sengaja dibiarkan terbuka sepanjang lengan orang dewasa agar sirkulasi udara leluasa berganti. Seluruh tiang bangunan yang menopang atap susun tiga berbentuk segi depalan dari ujung hingga pangkal tiang dan berwarna coklat tua, keseluruhan tiang utama sebanyak 36 batang, masing-masing empat tiang utama penopang tingkat teratas atap dan berukuran paling tinggi, 12 tiang penopang atap tingkat dua lebih pendek dari empat tiang sebelumnya dan 20 tiang penopang atap terluar berukuran paling pendek. Tiap-tiap tiang disatukan dengan balok kayu dengan tebal lebih kurang 10 centimeter dengan jarak antar tiang lebih kurang 2 meter.
Sebelah utara ruangan mesjid terdapat sebuah pintu yang menghubungkan ruang utama mesjid berlantai marmer dengan menara mesjid yang dibangun sejajar dengan atap tingkat dua mesjid, areal menara seluas 3,5×2,5 meter beratap seng tingkat dua dan ditopang oleh enam tiang juga bersegi delapan. Satu tangga kayu setinggi 2,7 meter mengantar kita ke lantai menara, disana kita jumpai sebuah pentungan kayu ukuran besar yang dipercaya sudah lama ada disana. Menara ini terletak diantara tembok lapis tiga dan lapis empat bangunan mesjid.
Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat, kayu yang digunakan sebagai tiang diambil dari perbukitan di kawasan pegunungan Indrapuri, belakangan diketahui bernama Glee Raja, sebagian ada yang menyebut Glee Raya. Seluruh tiang tersebut belum ada yang digantikan hingga saat ini. Kini, mesjid tua Indrapuri menjadi satu dari banyak cagar budaya Aceh dan bagi masyarakat sekitar, bahkan masyarakat luar Aceh Besar mesjid tersebut dipercaya mempunyai nilai tersendiri hingga banyak pengunjung yang datang untuk melepas nazar atau sekedar datang melihat bukti kejayaan Aceh masa lampau.
Masih dalam ruangan mesjid, di sebelah barat ada ruang beton berbentuk huruf U dengan sisi atas yang menyerupai tangga. Beton tersebut diperkirakan setebal 50 centimeter dan luas 1,5×05 meter serta tinggi 1 meter, diantara dindingnya sebelah utara dan selatan ada bentuk menyerupai kotak sebesar 10x 20 centimeter, kini ruangan itu digunakan untuk berdiri imam saat memimpin shalat. Disampingnya juga ada beton menyerupai tangga, tepat didepannya diletakkan mimbar kayu tidak berukir berwarna coklat tua untuk pengkhutbah. Diatas belakang keduanya digantung kaligrafi arab yang ditulis diatas triplek, itulah satu-satunya kaligrafi yang ada dalam ruangan mesjid tersebut.
Berjarak satu tiang dari mimbar, bisa kita jumpai tiga lemari tua yang ditaruh berjejer di sudut barat daya mesjid, lemari tersebut berisi Al- Qur’an dan buku-buku tua. Dari kondisi yang nampak, sepertinya lemari tersebut jarang dibuka. Saat kita berada dalam mesjid suasana sejuk begitu terasa, apalagi saat angin menyapu mesjid yang tidak tertutup dinding itu, dari sana angin leluasa berhembus dari segala arah.
Kini, hampir seluruh cat yang melapisi dinding mesjid berubah warna akibat lumut dan pengaruh cuaca, saksi bisu sejarah perjalanan Aceh walau kini usang karena dibakar matahari dan dibasahi hujan namun tetap diam dengan kokoh dan tetap tegak beridir diantara keramaian pasar Indrapuri yang tidak jauh dari area mesjid. Semoga dari kejayaan dan kamasyhurannya selalu menjadi pelajaran kepada generasi sekarang. (zamroe/Atjehlink)