Dok. IST |
LAMURIONLINE.COM I BANDA ACEH - Kasus kekerasan terhadap anak khususnya kekerasan seksual terhadap anak
kian marak terjadi di Provinsi Aceh. Kepolisian Daerah (Polda) Aceh
hingga September 2017 sudah menangani 389 kasus kejahatan seksual terhadap anak. Dari jumlah kasus tersebut, 30 persen pelakunya
merupakan orang terdekat korban, seperti ayah, ibu, paman, dan sepupu.
Sedangkan 60 persen merupakan kenalan atau teman lain yaitu pengasuh anak dan
tetangga, dan sisanya adalah orang asing (tidak dikenal).
Berdasarkan catatan P2TP2A, laporan
kekerasan pada anak yang masuk mengalami penurunan. Tercatat 191 kasus terjadi
pada 2016, sedangkan pada 2017 menjadi 106 kasus. Namun, P2TP2A Rumoh Putroe
Aceh memperkirakan ada banyak kasus kekerasan lainnya yang tidak dilaporkan. Berdasarkan
data yang dikeluarkan P2TP2A Rumoh Putroe Aceh, tercatat total kekerasan anak
yang terjadi di Aceh sebanyak 754 kasus dalam kurun waktu 2016-2017.
Kabupaten Aceh Utara menduduki peringkat tertinggi
kurung waktu 2016-2017 yaitu mencapai 123 kasus. Kemudian Banda Aceh menduduki
peringkat kedua kekerasan terhadap anak dengan 94 kasus, disusul
kabupaten tetangga dengan Banda Aceh yaitu Kabupaten Aceh Besar sebanyak 81
kasus. Sementara Kabupaten Bireuen peringkat empat dengan jumlah 69 kasus, lalu
Pidie 57 kasus, Bener Meriah 52 kasus, Aceh Tengah 54 kasus dan Aceh Timur 35
kasus. Kabupaten yang paling rendah terjadinya kekerasan terhadap
anak adalah Aceh Singkil dengan 11 kasus. Secara keseluruhan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir sejak 2015 hingga 2017 angka kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat. Di tahun 2015 sebanyak 939 kasus, tahun 2016
sebanyak 1.648 kasus dan tahun 2017 sebanyak 1.791 kasus. Kekerasan itu diibaratkan layaknya
fenomena gunung es yang kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan dengan data
serta fakta lapangan.
Banyak faktor yang menyebabkan kasus kekerasan seksual pada anak tidak terungkap ke permukaan dan kasusnya terselesaikan. Salah satu hal yang menyebabkannya adalah pada umumnya masyarakat menganggap permasalahan yang terkait dengan seksualitas adalah hal yang aib, memalukan dan tabu untuk dibicarakan dan atau diungkapkan. Sehingga tidak sedikit kemudian survivor yang harus dibiarkan mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari lingkungan sekitarnya, sementara pelaku nya dapat bebas tidak mendapatkan sanksi social apalagi sanksi pidana.
Terkait dengan permasalahan kekerasan seksual anak yang kerap muncul, PKBI Daerah Aceh didukung oleh Canada Fund melakukan Program Empowering Children To Better Understand Their Rights In Aceh Province, melakukan assessment (penjajakan kebutuhan) terkait dengan pentingnya penerapan Program Kecakapan Hidup Sosial untuk Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak Usia Pra sekolah sebagai solusi dari sisi preventif yang ditawarkan oleh PKBI Aceh sebagai lembaga yang peduli terhadap isu-isu terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas. Penggalian informasi ini fokus dilakukan di wilayah Aceh Besar dan Aceh Singkil yang dilanjutkan dengan penggalian informasi di tingkat Provinsi dengan berbagai metode.
Salah satu rangkaian
kegiatan yang dilakukan dalam Program ini adalah Seminar dan Workshop Guru,
Tokoh Agama, tokoh masyarakat, LSM serta
Stakeholder terkait. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai ajang menyebarluaskan
informasi dan menggalang komitmen para pihak, terkait dengan penerapan program
ini sebagai tindak lanjut dari program need assessment ini. Kegiatan ini
dilaksanakan Kamis, (24/01) di Training Center
Putro Phang PKBI Daerah Aceh Jlalan T. Nyak
Arief No. 229, Banda Aceh dengan narasumber dari Kanwil Kemenag Provinsi
Aceh, Haswin Dua Putra, Kasie Kepenghuluan Dinas Pendidikan Aceh, Zulkifli SPd, MPd, Kabid Pembinaan SMA
dan SMK dan Konsultan Program Empowering
Children To Better Understand Their Rights In Aceh Province, Indonesia, Lucy Herny . Kegiatan ini dibuka oleh H M Yunus Ilyas SE Msi selaku Ketua
Pengurus Daerah PKBI Aceh.
Dalam
sambutannya, Yunus menyampaikan bahwa kegiatan pemberian pendidikan kesehatan
reproduksi harus dimulai sejak dini. Hal ini dikarenakan, perkembangan
anak-anak pada saat ini berbeda dengan anak-anak pada jaman beliau kecil.
Kekerasan seksual kerapkali menimpa anak-anak di usia yang sangat muda. Hal ini
dikarenakan lebih mudah dibohongi, diiming-imingi, diancam dan lain sebagainya.
Beliau berharap melalui kegiatan-kegiatan ini dapat diperoleh masukan-masukan
terkait dengan pelaksanaan program ini ke depan.
Sementara Haswin Dua Putra dari perwakilan Kemenag Aceh menyampaikan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan
lengkap sehingga pendidikan kesehatan reproduksi juga diajarkan dalam Islam.
Dalam hal ini pemberian pendidikan kesehatan reproduksi dalam Islam diberikan
secara santun, bertahap dan dengan menggunakan bahasa yang jelas. Islam
memberikan garis besar bahwa tugas ayah dan Ibu adalah menjaudahkan diri dan
keluarganya dari siksa api neraka. Penerapan pendidikan yang ada sekarang
adalah pendidikan yang menjadikan orang-orang menjadi hanya memikirkan dirinya
sendiri, dan itu bukan lah hal yang diajarkan Islam. Islam mengajarkan orang
untuk peduli. Taman Kanak-kanak bukan lagi tempat untuk melakukan pendidikan
anak usia dini akan tetapi telah berubah menjadi tempat untuk mengajarkan
anak-anak baca tulis berhitung (calistung). Hal ini sangat membebani anak. Kementrian
Agama Provinsi Aceh juga menyampaikan bahwa mereka memiliki penyuluh hingga
tingkat kecamatan dan siap mendukung program ini dan bahkan mengajak PKBI untuk
melakukan Program bersama.
Narasumber lainnya, Zulkifli dari Dinas Pendidikan Provinsi
Aceh menyampaikan bahwa perlu sosialisasi tentang aturan-aturan terkait dengan
Hak Anak pada seluruh pendidik, sehingga tidak ada lagi kekerasan terjadi
di sekolah.Guru belum memiliki paradigma perlindungan anak. Dalam hal ini ia menilai bahwa saat ini sekolah tidak memiliki system perlindungan anak.
Sistem Bimbingan Konseling di sekolah hanyalah menyasar pada anak-anak yang
“bermasalah” saja. Di sisi SDM, guru Bimbingan Konseling, bukan orang yang
memiliki latar belakang pendidikan bimbingan konseling. Zulkifli memandang
paradigma pendidikan yang saat ini diterapkan masih menjadikan anak didik sama
halnya dengan objek pendidikan.
Sementara Konsultan Program, Lucy
Herny mencoba mensosialisasikan modul dan buku-buku
pembelajaran kecakapan hidup bagi anak usia dini yang pernah dibuat oleh PKBI
Pusat dan tentunya jika ingin di terapkan di Aceh harus benar-benar di bedah
dan disesuaikan dengan kondisi lokal dan pendekatan agama dalam hal ini agama
Islam.
Muncul beberapa rekomendasi peserta seminar pada kegiatan tersebut, antara lain harus ada
tim khusus yang terdiri dari lintas sektor dan isu untuk duduk bersama membedah
buku yang ada dan melakukan revisi sesuai dengan kekhasan Aceh, dalam
setiap bahasan tema harus memasukkan konteks Islam (pendidikan islam), perlunya
advokasi program kecakapan hidup sosial untuk mencegah kekerasan seksual pada
anak usia dini, pengayaan
kecakapan pada orang tua sangat penting dilakukan dan melibat stakeholder yang
lebih banyak lagi serta perlu
melibatkan stakeholder yang lebih luas serta membangun sinergi yang baik
Asmawati
Achmad mewakili staf pelaksana PKBI Aceh dalam kegiatan ini
menyampaikan bahwa kegiatan ini masih jadi kegiatan awal dari serangkaian
kegiatan yang akan dilakukan sebelum semua sepakat akan menggunakan buku
panduan ini. Program ini merupakan tahap awal dan bagian dari Program Pendidikan
Kecakapan Hidup Sosial untuk Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak Prasekolah.
Berdasarkan alur yang harus dilakukan dalam Program Pendidikan Kecakapan
Hidup Sosial untuk mencegah kekerasan seksual pada anak prasekolah adanya Need Assessment (penggalian data dan informasi),
tahap persiapan (pembentukan tim bersama dan melakukan pelatihan dan
training-training), tahap pelaksanaan dan tentunya monitoring dan evaluasi dan advokasi
bersama. Untuk itu dibutuhkan dukungan dan komitmen yang besar baik dari semua
pihak baik itu pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, guru, organisasi
masyarakat sipil, masyarakat serta orang tua.
Kontributor: Cut Rahmawati