Mengapa Pendidikan Alternatif ?(2)
B e r d a s a r k a n p e r m a s a l a h a n -
permasalahan yang telah dikemukakan
sebelumnya, banyak para pakar yang
m e nya ra n k a n u n t u k m e l a k u k a n
reformasi system pendidikan (Faure,
1972; Allan and Evans, 2006; Sukarno,
Handayani & Soewaytoyo, 2007). Hal
tersebut perlu dilakukan untuk menutupi
kesenjangan dan menghilangkan
diskriminasi (Mutrofin, 2007, h. 349),
untuk menampung aspirasi atau suarasuara
para siswa (De la Ossa, 2005), dan
untuk menjembatani dan merangkul
kembali masyarakat serta merekamereka
yang dianggap telah gagal atau
pun terancam gagal (Swanson, 2005;
Hyslop, 2007). Karena pada dasarnya
tidak ada istilah “one size fits all / satu
ukuran cocok untuk semuanya” (Wolk,
2004). Oleh karena itu, system
pendidikan yang benar adalah yang
disesuaikan dengan kebutuhan peserta
didik dengan memperhatikan setiap
permasalahan yang mereka hadapi.
Untuk kasus di Negara kita,
Mukhtar, Samsu and Rusmini (2002)
menyimpulkan bahwa Indonesia
seharusnya meletakkan dasar agenda
reformasi pendidikan kepada 3 (tiga) ide
utama, yaitu: (1) lamanya masa
pendidikan, (2) kebebasan dari pengaruh
pendidikan kolonial, dan (3) mendesain
sebuah hasil yang lebih menjanjikan di
masa mendatang (h. 4-5).
Christina Hinton dan Kurt W. Fischer
dalam tulisan berjudul Research Schools:
Connecting Research and Practice at the
Ross School menyatakan, “Sistem
pendidikan dewasa ini bertumpu pada
struktur top-down (atas-bawah) dimana
para peneliti menuliskan rekomendasi
kepada pengambil kebijakan, yang
selanjutnya memasukkan ide tersebut
kepada para administrator, praktisi, dan
siswa-siswi. Kita perlu melakukan
reformasi system tersebut untuk
melibatkan guru-guru, siswa-siswi, dan
administrator sebagai rekan kerja dalam
membuat kebijakan dan penelitian
pendidikan” (sebagaimana dikutip oleh
Suárez-Orozco & Sattin-Bajaj, 2010, h.
69).
Kebijakan yang telah berjalan
selama perlu kita tinjau ulang sehingga
struktur pendidikan yang ada bisa
melibatkan semua unsur sebagai peserta
aktif dalam system tersebut.
Sekarang lah waktunya untuk
merubah system pendidikan kita (Littky &
Grabelle, 2004) dan kita memerlukan
komitmen (Galluzzon, 2004) karena
k e b a n y a k a n s e k o l a h a l t e r n a t i f
menghilang setelah kurang dari satu
dekade kemunculannya (Fruchter, 2007).
Jadi apa seharusnya yang menjadi
objektif dari reformasi pendidikan? Di
tahun 1995, Mozambique's Ministry of
Education melakukan reformasi
pendidikan dasar dengan memakai
objektif utama sebagai berikut:
Meningkatkan kualitas dari efisiensi
pendidikan dasar; memastikan adanya
kesatuan dalam hal kenyamanan,
demokrasi, dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia;
berkontribusi terhadap politik,
ekonomi, sosial, dan pengembangan
b u d a y a N e g a r a ; m e m a s t i k a n
keseluruhan pendidikan terhadap
perseorangan melalui empat pilar
pengetahuan: mengetahui bagaimana
bersikap, belajar, melakukan, dan
hidup bersama dengan orang lain.
(Dhorson & Chachuaio, 2008, h. 202).
Akhirnya para ahli memberikan
beberapa solusi terhadap isu-isu
pendidikan tersebut diatas. Bambang
menyarankan reformasi yang ada harus
menjamin lahirnya sekolah yang bebas
dan bisa mengembangkan pendidikan
alternatif (sebagaimana dikutip oleh
Badrun & Bastian, 1999, h. 22), Karen
Seashore Louis dan Debra Ingram dalam
tulisannya Schools That Work for
Teachers and Students mendorong
a d a n y a p e n i n g k a t a n k o n s e p
multiculturalism atau kebudayaan yang
beragam (sebagaimana dikutip oleh
Williams, 2003, h. 154), Llewellyn dan
Silver (2001) setuju dengan ide
homeschooling, Fantini (1976), Kozol
(1982) dan Suparlan (2008) mendukung
konsep sekolah bebas (free school), dan
Melrose (2006) merekomendasikan
adanya pembelajaran khusus untuk
penyandang cacat.
Menurut O'Callaghan (2004),
hal yang paling penting adalah
senantiasa mewaspadai beberapa
tantangan yang dapat menghambat
p e n g e m b a n g a n p e n d i d i k a n
sebagaimana Dr. Healey kemukakan
d a l a m B a r r i e r B u b b l e , y a i t u :
“kesenjangan kepemimpinan, sedikitnya
waktu, fasilitas dan peralatan yang tidak
memadai, dana yang tidak mencukupi,
masalah kronis orang banyak, kebijakan
dan prosedur yang ketat, lemahnya
dukungan orang tua dan masyarakat,
rendahnya pengharapan terhadap
pendidikan, minimnya rasa memiliki staff,
l e m a h n y a s y s t e m r e f o r m a s i ,
ketidakpercayaan public, pemimpin
sekolah, dan tidak cukupnya staff” (h.
88). Sinyeu (July 23, 2012/11:13 p.m.
0 facebook:
Post a Comment