Tepat jam satu siang (Sabtu, 01/09/2012) Tim Lamuri tiba di sebuah Makam seorang pejuang
laksamana perempuan Aceh yang
terletak di atas bukit bersebelahan dan
tak jauh dengan Pelabuhan Malahayati
Krueng Raya, untuk mencapai makam
ini ditempuh dengan cara menaiki
susunan anak tangga semen mulai dari
bawah bukit. Areal makam dibatasi
pagar tembok dengan pintu masuk
berada di timur. Ada tiga makam yang
berada dalam satu jirat dan dianaungi
oleh satu cungkup. Sekeliling areal
makam adalah perladangan penduduk.
sejenak napak tilas dan perjuangannya
terekam kembali dalam benak ketika
berziarah ke makam pahlawan Aceh ini.
Setiap sore harinya Makam ini selalu
dikunjungi oleh wisatawan local dan
m a n c a n e g a r a s e t e l a h t s u n a m i
menghantam Aceh. Menurut Amri
seorang penjaga Makam, jika hari sabtu
atau minggu semakin banyak orang
yang datang ke makam bersejarah
tersebut untuk sekedar berziarah dan
mencari informasi tentang siapa sosok
sebenarnya dan bagaimana sepak
terjang pahlawan wanita Aceh ini. Tak
jauh dari makamnya juga terdapat
benteng Inong Balee yang juga
m e r u p a k a n t e m p a t k u n j u n g a n
bersejarah bagi wisatawan yang tiba ke
Aceh. Tak membuang kesempatan yang
ada TIM Lamuri juga mengorek
informasi tentang siapakah sosok
Malahayati dari penjaga makam dan
dari berbagai sumber yang ada.
Malahayati yang memiliki nama asli
Keumala Hayati berasal dari keluarga
militer. Belum diketahui secara pasti
kapan tanggal lahir dan tanggal
wafatnya.
Menurut manuskrip yang
tersimpan di University Kebangsaan
Malaysia, diperkirakan Malahayati lahir
tahun 1575. Ayahnya adalah Laksamana
Mahmud Syah. Sedangkan ibunya telah
meninggal dunia ketika Malahayati
masih kecil. Kakeknya bernama
Laksamana Muhammad Said Syah, putra
dari Sultan Salahuddin Syah yang
m e m e r i n t a h K e s u l t a n a n A c e h
Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M.
Sultan Salahuddin Syah merupakan
putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat
Syah (1513-1530 M) yang merupakan
pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Malahayati kecil sering diajak berlayar
oleh ayahnya. Malahayati menempuh
pendidikan di Akademi Militer Mahad
Baitul Maqdis yang dimiliki kerajaan
Aceh Darussalam saat itu.
Ketika dewasa, Malahayati menikah
dengan seorang Perwira Laut alumni
dari Akademi Militer tersebut.
Malahayati telah memantapkan
tekadnya untuk menapaki karir di
dunia militer. Pasangan suami istri
ini menjadi pasangan perwira laut
yang handal. Akan tetapi tak lama
kemudian suaminya meninggal
dalam pertempuran laut melawan
Portugis. Malahayati berduka, tetapi
Malahayati tidak mundur dari dunia
militer. Malahayati menjabat sebagai
kepala pengawal dan protokol di
dalam dan di luar istana. Kemudian
menjadi kepala dinas rahasia.
Pada
saat itu menjadi janda karena
ditinggal mati syahid oleh suami
yang berperang adalah hal lumrah di
Aceh. Malahayati bisa memahami
kondisi kejiwaan para janda tersebut,
karena dia pun janda. Pada masa itu
hampir seluruh pria dewasa warga
Aceh menyambut seruan jihad
melawan penjajah Portugis. Mereka
berperang sampai titik darah
p e n g h a b i s a n , h i n g g a s y a h i d
menjemput.
Inong Balee adalah pasukan khusus
perempuan yang terdiri dari para
janda. Inong Balee membangun
benteng yang kokoh di Teluk Krueng
Raya. Benteng ini sering disebut juga
benteng Malahayati. Benteng
Malahayati ini berfungsi sebagai
tempat pendidikan bagi 2000 janda
anggota pasukan Inong Balee.
M e l a l u i b e n t e n g i n i m e r e ka
mengawasi perairan Selat Malaka,
mereka mengintai armada-armada
Portugis, Belanda, dan Inggris.
Malahayati berhasil melatih jandajanda
tersebut menjadi pasukan
marinir yang tangguh. Sebagai
seorang pimpinan, Malahayati
s e c a r a k s a t r i a m e m i m p i n
pertempuran secara langsung di
lapangan.
Dia memimpin armada laut kerajaan
Aceh yang jumlahnya cukup banyak.
Salah satu peristiwa yang akan selalu
dikenang oleh sejarah adalah
Malahayati berhasil mengusir
armada-armada Belanda dibawah
pimpinan De Houtman bersaudara,
Cornelis dan Frederick de Houtman.
Malahayati menjabat sebagai
laksamana kerajaan Aceh dalam
waktu yang cukup lama, yaitu selama
masa kepemimpinan Sultan Alaiddin
Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil
(1589-1604 M). Malahayati berhasil
m e n ga n ta rka n Aceh m e n ja d i
kerajaan yang disegani baik oleh
kawan maupun lawan. Malahayati
berhasil menjaga stabilitas Selat
Malaka. Kehebatannya diakui oleh
semua bangsa yang berhubungan
dengan kerajaan Aceh. Nama
Malahayati cukup membuat bergidik
bangsa-bangsa adidaya saat itu.
Itulah dua jejak perjuangan yang
masih tersisa hingga kini, kompleks
makam Malahayati yang berada di
puncak bukit dan sebuah benteng
yang disebut Benteng Inong Balee di
tepi pantai Selat Malaka, Kecamatan
Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar,
Provinsi Aceh. Melalui kedua situs
tersebut kita bisa lebih mengenal
sosok pejuang Aceh yang rela syahid
untuk mempertahankan tanah air,
bangsa dan agama dari tangan
penjajah. Namun sayangnya Tim
Lamuri juga tidak menemukan
tanggal wafatnya baik dari penjaga
makam dan sumber yang ada.
(Reportase : Abrar/Adlan)