Perguruan Tinggi Islam (PTI) didirikan dengan niat dan citacita
mulia, untuk mencetak dan
menghasilkan cendikiawan Muslim yang
saleh dan berilmu. Sayang, jika niat dan
cita-cita mulia tersebut dirusak dan
diabaikan begitu saja. Cita-cita mulia
t e r s e b u t d i t e g a s k a n p a d a a c a ra
peringatan Sewindu IAIN tahun 1968 di
Yogyakarta oleh Menteri Agama K.H.M
Dachlan.
“Institut Agama Islam Negeri pada
permulaannja merupakan suatu tjita-tjita
yang selalu bergelora di dalam djiwa para
Pemimpin Islam jang didorong oleh
hadjat-kebutuhan adanja sebuah
Perguruan Tinggi yang dapat memelihara
dan mengemban adjaran-adjaran Sjariat
Islam dalam tjorak dan bentuknja yang
sutji murni bagi kepentingan Angkatan
Muda, agar kelak di kemudian hari dapat
memprodusir Ulama-ulama dan Sardjanasardjana
jang sungguh-sungguh mengerti
dan dapat mengerdjakan setjara praktek
jang disertakan dengan pengertian jang
mendalam tentang hukum-hukum Islam
sebagaimana jang dikehendaki oleh Allah
Jang Maha Pengasih dan Penjajang.” (lih.
Sewindu Institut Agama Islam Negeri-Al
Djami'ah Al Islamiayah Al Hukumijah
“Sunan Kalidjaga” Jogjakarta 1960-1968,
terbitan IAIN Sunan Kalidjaga, 1968)
Dari niat, tujuan, dan semangat para
tokoh Islam dalam mendirikan Perguruan
Tinggi Islam tampak betapa kuatnya
dorongan semangat perjuangan Islam.
Dari kampus inilah diharapkan akan
melahirkan para cendikiawan dan ulama
yang tinggi ilmu dan kuat mental
keislamannya. Karena itu, pendirian
Perguruan Tinggi Islam bisa dikatakan
sebagai buah perjuangan Islam di bumi
nusantara ini. Sebaliknya, Perguruan
Tinggi Islam bukanlah didirikan dengan
maksud untuk membentuk para sarjana
dan cendikiawan Muslim yang skeptis dan
ragu-ragu terhadap Islam sendiri,
meninggalkan identitas keislamannya
bahkan mencapai tataran 'netral agama'.
Dengan tekad mulia tersebut,
Perguruan Tinggi Islam telah melahirkan
komunitas sarjana Muslim handal dalam
berbagai bidang keilmuan yang tidak
sedikit jasanya dalam pelaksanaan ajaran
Is l a m . P T I b i s a d i k a t a k a n t e l a h
memainkan peran penting dan strategis,
baik di bidang pendidikan agama,
peradilan agama, dan
Namun kini sepertinya, proses
Studi Islam yang dilakukan PTI tidak
diarahkan lagi untuk menghasilkan
para sarjana yang meyakini kebenaran
agamanya (baca: Islam), tetapi justru
didorong untuk menghilangkan klaim
ke b e n a ra n ( t r u t h c l a i m ) p a d a
agamanya sendiri. Lebih tragis, justru
dari tangan-tangan mahasiswa dan
cendikiawan Muslimlah lahirnya karyakarya
kontoversial dan provokatif
mengenai Islam.
A l i h -a l i h m e n c e ra h k a n d a n
menyegarkan, karya-karya tersebut
justru mengeruhkan dan mengaburkan
perkara-perkara yang 'crystal clear'
dalam tradisi intelektual Islam. Sebut
saja majalah mahasiswa Islam 'Justisia'
yang pernah menerbitkan kajian
“Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Begitu
juga buku Akhsin Wijaya yang diberi
judul “Menggugat Otensitas Wahyu
Tuhan” (terbitan Safiria Insani Press,
Yogyakarta 2005). Bukankah hal ini
sangat merusak cita-cita mulia para
pendiri PTI dan mencoreng nama baik
kampus Islam itu sendiri.
Di sisi lain, harus diakui ada banyak
hal yang menjadi perhatian besar dan
tugas bersama.
Pertama, menjadi
rahasia umum bahwa tidak sedikit
mahasiswa yang menjadikan pilihan
menimba ilmu di PTI sebagai alternatif
cadangan setelah tidak diterima di
beberapa fakultas lain. Kedua, juga
tidak sedikit yang mencari ilmu di PTI
tidak berdasarkan kecintaannya
terhadap ilmu dan idealisme untuk
menegakkan Islam, tetapi sekedar
untuk meraih gelar dan lahan
pekerjaan.
Ketika tujuan pragmatis ini sudah
tercapai, maka terhentilah aktivitas
untuk mengembangkan ilmu dan
mendakwahkan Islam secara lebih
luas. Ketiga, sarana dan prasarana
sebagian PTI sangat terbatas dan
minim jika dibandingkan dengan
beberapa perguruan tinggi umum
lainnya, keterbatasan ini melahirkan
sikap “gengsi” dari sebagaian calon
mahasiswa untuk menimba ilmu di
dalamnya. Akhirnya tidak sedikit yang
memilih “nyantri” di tempat lain.
Beberapa kasus dan problematika di
atas tentu menjadi dilema bagi Perguruan
Tinggi Islam. Bahkan, beberapa tahun
terakhir ini, berbagai gejolak sedang
menerpa Perguruan Tinggi Islam,
Perguruan Tinggi Islam justru dijadikan
sasaran utama untuk mengobrak-abrik
tatanan hukum Islam sendiri.
Kini PTI
dalam krisis, izzahnya (citra) dipertaruhkan
dan dipertanyakan. Jika tidak direspons,
maka tidak mustahil PTI yang dulunya
menjadi salah satu pusat peradaban Islam
(centre of Islamic civilization) justru
berubah menjadi sarang berbahaya.
Back to foundation
M a k a d a r i s e b a b i t u , u n t u k
mengembalikan izzah dan cita-cita para
pendiri PTI, banyak hal yang harus disikapi
dengan bijak. Pertama, memperkuat
kembali prinsip dasar pendidikan Islam,
yaitu menerapkan nilai tauhid dalam
pendidikan.
Pesan tauhid sebagai dasar pendidikan
harus dipahami secara benar dan tegas,
sebab misi utama Islam diantaranya adalah
membangkitkan gerakan perubahan sosial
dan meluruskan pola pikir ummat manusia
dengan acuan pandangan dunia tauhid
–yaitu menerjemahkan tauhid dalam sikap,
perilaku dan pemikiran-, maka keliru jika
kemudian kita belajar Islam tetapi justru
menimbulkan kekeliruan terhadap ajaranajaran
Islam, bahkan mengajukan
pendekonstruksian (pembongkaran)
terhadap hukum-hukum Islam yang
sifatnya sudah permanen (tsawabit).
Padahal sejatinya, justru dengan belajar
Islam semakin menambah keyakinan
terhadap kebenaran Islam.
Kedua, perlu digarisbawahi bahwa
tujuan pendidikan tidak semata-mata
meraih gelar dan mencari lahan pekerjaan,
tapi lebih luas untuk mengembangkan ilmu
d a n m e n d a k w a h k a n n y a k e p a d a
masyarakat, hingga akhirnya lahirlah
sarjana-sarjana Islam yang memegang dan
membela nilai-nilai keislaman. Dengan kata
lain, tujuan pendidikan adalah pencapaian
kualitas tertinggi hamba Allah.
Pesan tersebut juga menginginkan
adanya integrasi pendidikan agar yang
terlibat dalam PTI menguasai agamanya
dengan baik dan pada sisi lain juga tidak
tertinggal dalam persaingan global.
Artinya, jadilah ulama yang intelek, bukan
intelek yang tahu agama. Dengan
demikian, khazanah keilmuan Islam terus
berkembang dan citra (izzah) PTI yang
mulai memudar kembali bersinar.
Penulis merupakan Mahasiswa Pasca
Sarjana IAIN Ar-Raniry, kini sebagai
pengurus KNPI A. Besar