Model-Model Pendidikan
Alternatif di Berbagai Negara (4)
Pendidikan Ala Montessori
Model ini diperkenalkan oleh
Maria Montessori (1870) dari Chiaravelle,
I t a l y . B e l i a u m e n g u s u n g i d e
perkembangan kognitif (keilmuan) anak,
dimana pendidikan diartikan sebagai “a
prepared environment in which the child,
set free from undue adult intervention, can
live its life according to the laws of its
development” (sebuah lingkungan yang
dipersiapkan untuk anak supaya terbebas
dari campur tangan orang dewasa, bisa
menjalani hidupnya sendiri sesuai dengan
kapasitas perkembangannya) (Potts, 2007,
h. 147).
Permasalahannya adalah apakah
anak bisa dilepaskan sendiri untuk
menentukan apa yang mau dipelajarinya?
Apakah praktek pendidikan di tempat kita
sudah mendukung system pendidikan
Montessori ini?
Menurut Montessori, ada tiga
tahap perkembangan anak, yaitu: Tahap
Pertama, physical aspect development
(perkembangan aspek fisik), mulai dari
lahir sampai usia 6 tahun, dikenal dengan
istilah absorbent mind atau penyerapan
pikiran; Tahap Kedua, mental aspect
development (perkembangan aspek
mental), mulai usia 6 sampai 12 tahun,
dikenal dengan istilah uniform growth atau
pertumbuhan seragam; dan Tahap Ketiga,
social aspect development (perkembangan
aspek sosial), mulai usia 12 sampai 18 tahun,
dikenal dengan istilah transformation atau
tranformasi (Potts, 2007, h. 149).
Tahap-tahap perkembangan tersebut
perlu diperhatikan dengan baik, karena dengan
memahami tahapan perkembangan anak kita
akan mudah memberikan jenis-jenis pelajaran
sesuai dengan daya serap anak.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka
pendidikan Montessori di kenal sebagai
pendidikan “persiapan lingkungan” untuk
m e m b a n g u n k e m a n d i r i a n a n a k d a n
perkembangan intelektualnya. Karakteristik
utama dari pendidikan ini adalah “anak bebas
untuk bergerak, bekerja sendiri atau dengan
orang lain sesuai kemauannya; suasana kelas
terdiri dari beragam usia yang biasanya berjarak
tiga tahun; adapun kurikulum dan metode yang
dipakai disesuaikan dengan logika dan
perkembangan tahap sebelumnya”.
Dalam pendidikan seperti ini peran
seorang guru hanyalah mempersiapkan dan
mengatur bahan-bahan yang kira-kira sesuai
untuk setiap anak berdasarkan kebutuhan dan
ketertarikannya (Mintz, Solomon & Solomon,
1994, h. 15-17). Setelah itu anak akan belajar
sendiri sesuai dengan kemauannya tanpa ada
paksaan.
Menurut Robinson (2006), metode
M o n t e s s o r i i n i c o c o k d i p a k a i u n t u k
mempersiapkan anak supaya dapat beradaptasi
dalam lingkungan yang terdiri dari beragam
budaya dan suku. Contohnya, praktek
bertanggung jawab sendiri terhadap
apa yang dipelajari anak, membantu
orang lain, menghargai pilihan-pilihan
individual, dan cara-cara belajar
Montessori yang lainnya membantu
anak untuk mengembangkan nilainilai
dasar yang dapat mereka serap
dalam kehidupan.
Secara singkat, praktek
pendidikan ala Montessori ini
memperhatikan pertumbuhan fisik,
emosional, sosial dan akademis si
anak. Selain itu juga menghargai
budaya dan latar belakang anak serta
gaya hidup keluarganya. Apakah kirakira
model pendidikan ini cocok
diterapkan di Aceh? Mungkin perlu
pembahasan terpisah untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
Bibliography:
Mintz, J., Solomon, R., Solomon, S.
(1994). The Handbook of
alternative education. New
York: Macmillan Reference.
Potts, A. (August, 2007). New
e d u c a t i o n , p r o g r e s s i v e
education, and the counter
c u l t u r e . J o u r n a l o f
Educational Administration
and History, 39(2), 145-159.
Robinson, W. Y. (2006). Culture, race,
diversity: How Montessori
spells success in public
schools. Montessori Life,
18(4), 9.
Malaysia (April 26, 2013/10:00 p.m.)