Lamurionline.com--TIGA tahun adalah masa yang cukup bagi kaum Quraisy merasakan dahsyatnya dakwah Islam yang diperagakan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Meski dilakoni secara sembunyi-sembunyi, tapi orang-orang musyrik Makkahsangat merasakan dampak ajaran baru itu. Ketangguhan jiwa para sahabat yang memeluk syariat Islam sontak menjadi buah bibir penduduk Makkah.
Alhasil, pada bulan Rajab tahun keempat, para tokoh Quraisy sepakat menggelar rapat khusus di rumah al-Walid bin al-Mughirah. Seluruh pembesar kota Makkah hadir. Sejumlah tokoh tersebut tak lagi mampu menutup mata. Mereka hendak merundingkan cara menahan laju dakwah Nabi yang kian hari terus bergulir.
Seorang di antara mereka mengusulkan, “Bagaimana kalau kita sepakat menyebut Muhammad sebagai kahin (tukang ramal)?” Rupanya tak butuh waktu lama hingga usulan itu tertolak oleh peserta rapat.
”Gelar itu tidak pas, sebab kita semua tahu seperti apa seorang tukang ramal, dan tak ada tanda-tanda kalau Muhammad seperti itu,” demikian jawabnya.
Muncul usulan kedua. “Bagaimana kalau kita menggelari Muhammad sebagai sahir (tukang sihir)?” Dengan sihirnya, Muhammad dianggap menceraikan istri dari suaminya sebagaimana ia sanggup memisahkan anak dari orangtuanya. Namun ide ini langsung ditampik oleh yang lain. Bagi mereka, Muhammad bukanlah seperti orang yang didakwakan.
Demikianlah seterusnya, ragam usulan berikutnya bermunculan di tengah musyawarah terbatas ketika itu, “Atau kita cap dia sebagai majnun (orang gila)?”
“Atau kita sampaikan ke masyarakat jika Muhammad seorang sya’ir (penyair)?”
Usaha mereka benar-benar buntu. Acap kali ada usulan, saat itu pula langsung tertolak. Sebab memang tidak ada yang sesuai dengan perilaku Rasulullah.
Sikap Keteladanan
Kisah di atas menoreh pelajaran berharga. Tampak jelas betapa tak seorangpun mampu mengingkari keagungan sosok Rasulullah Muhammad.
Pesona akhlaknya begitu terang menyinari siapa saja yang ada di sekitarnya. Kejujuran Nabi menjadi buah bibir yang ramai dibicarakan di mana-mana. Tak heran, musuh-musuh Islam-pun tak kuasa menolak keteladanan tersebut.
Dengan polos Abu Lahab mengakui hal itu: Sesungguhnya kami tidak pernah mendustakanmu, tetapi kami hanya mendustakan apa yang kamu bawa. Perihal “kejujuran” Abu Lahab itu lalu diakomodir oleh Allah Ta’ala sebagai penghibur hati Rasulullah;
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللّهِ يَجْحَدُونَ
“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Surah al-An’am [6]: 33).
Dalam kondisi apapun, keteladanan jadi syarat mutlak seorang pemimpin. Dengan modal keteladanan, masyarakat senang hati mengikuti arahan sang pemimpin. Tak ada lagi desas-desus keraguan, sebab apa yang disampaikan juga telah dikerjakan sebelumnya. Lebih jauh, keteladanan yang tulus mampu meluruhkan hati yang keras menjadi lunak. Bukan dengan obralan kata namun semata dengan akhlak yang mulia.
Modal berdakwah
Pesan yang datang dari hati niscaya jatuh ke hati pula. Kira-kira seperti itu gambaran peran keteladanan tersebut. Tinta sejarah mencatat, tak sedikit dakwah Nabi berhasil bukan dengan olahan kata atau hasil ceramah yang apik. Para sahabat justru berbondong-bondong masuk Islam setelah terpukau menyaksikan akhlak mulia yang melekat pada diri Rasulullah.
Bagi seorang Muslim, teladan adalah buah manis dari iman yang produktif. Ia hadir dari rasa takut kepada Allah akan amanah yang dipikul. Terlebih jika ia seorang pengajak kebenaran. Sikap teladan niscaya lebih menggores makna dibanding hanya mengandalkan retorika kata, tanpa ada bukti yang nyata.
Sebaliknya, ketika modal ini hilang pada diri seorang pendakwah, mudah ditebak, orang lain hanya tersenyum sinis tanpa mau menggubris ajakan tersebut. Nasib yang sama jika teladan yang ditampakkan itu bersifat musiman saja. Berbuat baik hanya gara-gara kepentingan materi semata. Perilaku teladan demikian tak bakal menuai hasil yang diinginkan. Hasilnya nihil, layaknya partikel debu yang beterbangan ditiup angin. Lenyap tanpa bekas.*/Masykur Abu Jaulah http://www.hidayatullah.com/