Barangkali
judul “ ayo ngopi “ diatas adalah hal yang biasa, karena setiap orang di dunia
ini pastilah pernah menikmati secangkir kopi, baik di rumahan, kantor maupun warung ataupun gerai yang menyediakan berbagai
jenis kopi mulai dari kelas teri hingga kelas kakap. Namun hal itu akanlah
berbeda jika kita menikmati kopi di warung-warung yang tersedia di negeri
syariat yang jumlah warung kopi nya bisa dikatakan paling banyak serta sudah
menjadi kebiasaan ngopi untuk mengawali
hari agar lebih bersemangat. Tentu pemandangan akanlah berbeda ketika
menyaksikan banyaknya warung kopi yang bertebaran bak lalat yang menghinggap
makanan. Ya, kunjungilah Aceh, maka kita akan terbawa kepada budaya ngopi di
warung kopi nya. Seakan tidak ada strata sosial di warung kopi, maka semuanya
berbaur tak mengenal miskin, kaya, tua , muda, sehingga ngopi tak dapat
dipisahkan dalam aktifitas sehari-hari masyarakat Aceh.
Tak
hanya terkenal dengan marijuana nya, Sejak zaman Belanda dahulu hingga
sekarang, Aceh terkenal dengan produksi kopi yang berkelas dunia. Setidaknya
ada dua “ brand “ kopi yang membuat
Aceh terkenal yaitu kopi Ulee Kareng
yang termasuk jenis kopi Robusta dan kopi
Gayo yang termasuk jenis Kopi Arabika yang di pasar dunia termasuk kelas kopi
premium. Bahkan pada tahun 2011, di Banda Aceh diadakan Festival Kopi tingkat
internasional. Event ini menjadi magnet bagi produsen minuman kopi dan penikmat kopi dari
berbagai penjuru dunia. Barangkali karena ketenaran Aceh sebagai salah satu
produsen kopi terbaik di dunia sehingga tradisi minum kopi tersebut menjadi
semacam “ budaya ” yang terus berlangsung sejak dulu secara turun temurun dan “
harus ” dilestarikan. Tak hanya itu, masyarakat Aceh melahirkan banyak
warung-warung ataupun gerai-gerai kopi yang menjajakan berbagai jenis kopi
sehingga tradisi minum kopi beralih ke warung-warung kopi yang tak mengenal
strata sosial konsumen nya.
Meskipun
arus globalisasi dengan derasnya mengalir di tengah-tengah masyarakat, namun tak
menyurutkan minat ngopi di warung kopi Aceh, budaya minum kopi di tengah masyarakat Aceh
tetap lestari. Budaya ini tetap diikuti oleh generasi ke generasi. Yang berbeda hanyalah
suasana yang dimodifikasi oleh pemilik warung ataupun gerai dengan konsep
modern sehingga konsumen merasa nyaman dan sangat betah untuk duduk lama di
warung kopi. Mulai dari modifikasi karyawan, tempat yang nyaman, arsitektur
yang modern hingga penyediaan fasilitas yang lain seperti koneksi intenet wifi ( hotspot ), pustaka, penampilan
group band dan lain sebagainya. Hal ini merupakan konsep yang sangat menjamur
pada warung-warung kopi di Aceh sehingga sepertinya tak ada pengusaha kopi yang
miskin karena warungnya sangat ramai pengunjung.
Namun menjamurnya warung kopi baik yang masih
tradisional maupun konsep modern bukan hanya menyerap lapangan kerja bagi
pengangguran, tetapi juga membawa semacam bencana sosial bagi masyarakat yang
terlena dengan ngopi di warung kopi hingga ber jam-jam. Penulis berpendapat,
masyarakat Aceh dapat menilai sendiri bagaimana suasana glamour yang sering kita temui di warung kopi di Aceh. Misalnya
bercampur antara lelaki dan perempuan yang sangat berlebihan hingga larut
malam, ada pula yang hanya sekedar menghabiskan waktu dengan browsing intenet
selama ber jam-jam, tidak menghargai konsumen yang lain hingga tidak
menghiraukan gema azan menjadi bencana sosial bagi masyarakat Aceh. Yang lebih
parah adalah ada beberapa warung kopi yang menyediakan fasilitas
perjudian.
Penulis
beranggapan ini adalah tantangan bagi kita semua terlebih kepada pemegang
kekuasaan di negeri ini. Penulis tidak menyalahkan menjamurnya warung kopi,
namun yang salah adalah sistim yang diterapkan pada warung-warung tersebut. Tak
ada salahnya jika kita ingin membooming kan
kata-kata “ syariah “ di Aceh, artinya bukan hanya lembaga perbankan di syariahkan, namun segala aspek harus
disyariahkan. Mulailah dari warung kopi bersyariah yang mengatur tentang
konsep-konsep yang tidak melanggar syariah. Kenapa harus warung kopi bersyariah
? karena masyarakat Aceh berbaur antar golongan masyarakat tempatnya adalah di
warung-warung kopi, sehingga ada juga lelucon dalam masyarakat Aceh mengatakan “ ka rame ureung bak keude kuphi daripada
meunasah/ mesjid “. Ini artinya ada pergeseran nilai-nilai syariah terhadap
sebuah warung kopi. Penulis kira tidak ada salahnya pemilik warung menutup
sejenak 15 menit warungnya untuk minimal mengajak konsumen menjalankan shalat,
ataupun minimal dengan menutup warung di waktu shalat ( waktu adzan ) setidaknya konsumen telah di ingatkan bahwa
telah masuk waktu shalat dan penulis kira agak lebih beradab daripada
menjajakan konsumen ngopi ( tidak menutup warung ) disaat azan berkumandang.
Kemudian tak ada salahnya pemilik warung menutup lapak rezekinya tidak serta
larut malam sehingga fasilitas-fasilitas yang melanggar syariah seperti
pergaulan antar muda mudi dapat diminimalisir dan penulis beranggapan tidak
setuju dengan warung kopi yang brand nya
“ buka 24 jam “. Kemudian tak ada salahnya warung kopi juga mencegah
praktek-praktek perjudian, katakanlah perjudian bola yang sudah menjadi rahasia
umum, bukan berarti tidak boleh menonton bola di warung kopi, namun praktek
pelanggaran syariahnya yang harus dicegah. Juga tidak ada salahnya pemilik
warung menegur secara persuasif pengunjung yang berbusana tidak islami dan juga
apa salahnya membuat fasilitas tempat shalat di setiap warung kopi.
Penulis
kira ini adalah dilema dari sebuah kebudayaan ngopi di Aceh. Pertumbuhan warung
kopi di Aceh menjadi bukti bahwa perekonomian Aceh semakin baik dan juga dapat
menyerap lapangan kerja.Namun disisi lain juga perlu dibuat semacam regulasi
peraturan terhadap warung-warung kopi yang menjamur sehingga “ brand “ negeri syariah tidak
terkontaminasi akibat pemandangan-pemandangan yang penuh dengan pelanggaran
syaraiat di warung kopi di Aceh. Yang dirugikan adalah kita rakyat Aceh sendiri
yang barangkali akan dicemooh oleh orang luar ketika berkunjung ke Aceh. Ya
minimal jika tidak mampu mencegah dengan kekuatan, pemilik warung dapat
menempatkan poster – poster peraturan
ketika ngopi di warung tersebut mengenai aturan pelanggaran sayraiah
yang tidak boleh dilakukan. Dilema ini
penulis kira terjadi karena barangkali tidak adanya peraturan yang mengatur
tentang mekanisme warung kopi dan lemahnya pengawasan. Semoga ini menjadi
harapan kita semua agar budaya ngopi di Aceh tetap lestari namun tidak
melanggar nilai-nilai syariah, yang outputnya melahirkan warung kopi yang
bersyariah. .Amin Ya Rabbal Alamin.
Penulis adalah Baihaqi. Remaja Mesjid
Sibreh dan
Mahasiswa magister ilmu kebencanaan Unsyiah
0 facebook:
Post a Comment