Oleh Muhammad Rain
Evaluasi adalah suatu tingkatan paling tinggi dalam Taksonomi Bloom,
sebagai hasil serap ilmu dan pengalaman serta sikap pembelajar. Evaluasi
seni dalam kaitannya terhadap seluruh proses penciptaan karya seni
selanjutnya mampu menciptakan diskusi atas karya seni untuk selanjutnya
pula menjadi wacana seni bagi masa depan seniman; masyarakat peminat
seni.
Teater Nol Unsyiah telah usai menggelar "Kohler; Matinya Jenderal di
Tanah Rencong", 25 November 2016, pada esoknya (26/11) diskusi karya
berlatar sejarah tersebut pun digelar di lokasi Taman Seni Budaya Aceh,
Banda Aceh. Diskusi berjalan apik dipandu Muhrain selaku moderator dan
dihadiri berbagai kalangan baik yang terlibat pementasan tersebut maupun
para penonton, pelaku teater dan mahasiswa Unsyiah.
Diskusi berujung pada leburnya pemahaman yang sama terhadap kelebihan
pementasan Teater Nol Unsyiah di produksi mereka yang ke-57 tersebut.
Turut hadir di diskusi karya Kohler, Iwan Setiawan, Dharminta, Mustika
Permana, Ampon Yan (T. Yanuarsa), Dharmen, Ody Nugraha, Beni Arona,
Mirza ISBI, mendorong Teater Nol pada kesempatan berikutnya agar semakin
serius menggali naskah terkait Sejarah Aceh agar penonton tidak
terjebak dalam kekeliruan sejarah pula.
Sebagai penulis naskah, Zahral Nurul Liza yang turut hadir di diskusi
tersebut mendapat berbagai masukan demi kerja penulisan naskah pada masa
yang akan datang. Dody Resmal selaku sutradara menyampaikan harapan
yang besar terhadap hadirin agar mereka lewat diskusi karya mendapat
masukan berharga, dan tentu saja harapan tersebut telah diperolehnya.
Para seniman telah rela dan tulus unjuk penilaian dan apresiasi terhadap
pementasan Kohler.
Secara umum kelebihan pementasan Teater Nol Unsyiah naskah Kohler
terdapat pada sisi Tim Artistik, Tim Managemen, juga Aktor yang sudah
mencapai keberhasilan dengan demikian perlu mempertahankan apa yang
sudah bagus dan berupaya pula lebih meningkat di karya berikutnya.
Kegiatan pementasan Kohler selain mendapat animo penonton yang sudah
bagus, bertambah pula nilai kreatifitasnya lewat disisipnya agenda
diskusi pementasan pada sore hari jelang pementasan mereka yang ke dua
pada malam hari. Siswa, mahasiswa juga masyarakat umum mendapatkan
pembelajaran sejarah sekaligus pembelajaran teater usai menonton
pementasan.
Wacana apresiasi seni selanjutnya terbangun melalui diskusi karya
sebagaimana yang telah dicontohkan Teater Nol Unsyiah, ke depan, upaya
serupa semakin penting untuk terus digalakkan. Di akhir tahun 2016
agenda diskusi karya tampaknya kian ada dan terus berlanjut semisal pada
akhir pameran dan diskusi karya rupa Pakrikaru 2 yang dilaksanakan oleh
seniman lukis di Museum Aceh Banda Aceh.
Tanglong Festival 2016 (Kompetisi Tari Aceh) pun awalnya mengagendakan
diskusi karya pada ujung program, namun akibat satu dan lain hal yang
menghambat maka dibatalkan, sedangkan pada tahun sebelumnya terlaksana
secara sukses.
Manfaat diskusi karya sangatlah penting agar para seniman muda maupun
yang lebih senior dapat mengukur dan memperhitungkan kelebihan dan
kekurangan karya yang sedang didiskusikan sehingga selanjutnya pula
menjadi suatu wacana seni yang membangun optimisme bagi berkesenian di
Aceh. Janganlah pula diskusi karya dianggap sebagai hal yang kurang
bermanfaat jika sampai menurunkan semangat berkarya apabila dikemas
dengan "penghakiman" dan "penkritikan semata" tanpa mengedepankan
apresiasi objektif dari semua peserta.
Sudah sering diperdengarkan kekecewaan para penikmat karya seni namun
mereka yang kecewa perlu dan penting diberikan tempat berdialog agar ada
satu kemungkinan-kemungkinan baru guna saling mendengar tanpa beralasan
menutup kuping bagi penyelenggara suatu even atau penampil karya. Duduk
satu lingkaran antara pekarya dan penikmat merupakan salah satu bukti
bahwa kesenian di Aceh telah maju dan berkembang menuju pentas dunia.
*Penulis adalah seniman sastra, peneliti juga pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Aceh.