Foto: IST |
Menurut Kementerian Dalam Negeri saat ini, jumlah penduduk wajib KTP yang telah melakukan perekaman KTP-el adalah 97.4%. Sisanya, 2.6 persen ditargetkan selesai pada triwulan pertama tahun 2018. Pemerintah Indonesia juga juga telah mencapai target RPJMN 2015 2019, yakni 85% cakupan akta kelahiran anak pada tahun 2017.
Target tersebut dicapai dua tahun lebih cepat dari yang ditentukan. Seluruh capaian tersebut dicapai berkat kerja keras Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Dalam Negeri, di berbagai level, baik di tingkat pusat, provinsi mau pun kabupaten/kota.
Namun, berbagai capaian yang mengesankan itu bukan tanpa catatan. Masih banyak persoalan serius yang dialami oleh masyarakat miskin dan kelompok marjinal dalam memenuhi kebutuhan identitas hukum khususnya di Aceh.
SUSENAS (2016) mencatat jarak, biaya dan prosedur yang rumit masih menjadi kendala masyarakat dalam mendapatkan identitas hukum. Penerbitan identitas hukum memang gratis, namun absennya pelayanan hingga tingkat desa menyebabkan pengurusan identitas hukum tetap berbiaya mahal. Persoalan diperburuk dengan lemahnya koordinasi antarsektor yang memperkecil peluang penyedia layanan untuk menjangkau masyarakat miskin dan kelompok- kelompok marjinal. Dua kelompok yang selama ini kerap tertinggal dalam proses pembangunan.
Baca juga: Pencanangan Resmi Pokja Identitas Hukum: Menuju Sistem Pencatatan Sipil yang Inklusif, Non Diskriminatif dan Akuntabel - IKI
Untuk mendukung upaya Pemerintah dalam menanggulangi persoalan-persoalan tersebut, dibentuklah Kelompok Kerja Masyarakat Sipil untuk Identitas Hukum (Pokja Identitas Hukum), yang merupakan kumpulan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu identitas hukum.
Kumpulan OMS ini memiliki rekam jejak yang jelas dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia, mendukung kesetaraan gender, inklusi sosial, keadilan sosial, dan menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik.
Pokja Identitas Hukum saat ini telah dibentuk di Jakarta yang pencanangan resminya dilakukan pada tanggal 21 Februari 2018, Pokja Identitas Hukum mengundang berbagai Kementerian/ Lembaga (K/L), Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), program/organisasi internasional, dan media massa. Pokja Identitas Hukum ini juga dipandang perlu dibentuk dilevel Propinsi bahkan Kabupaten/Kota untuk lebih memahami kondisi pencatatan identitas hukum bagi masyarakat sampai ke level bawah, khususnya masyarakat rentan.
Pokja Identitas Hukum Provinsi Aceh dicanangkan pada tanggal 29 Maret 2018 yang saat ini baru terdiri dari beberapa lembaga masyarakat juga mengundang berbagai sektor termasuk pemerintah provinsi, kabupaten, OMS dan akademisi. Pada kegiatan pencangan ini juga dilaksanakan Diskusi dengan Tema Pemetaan Praktik Baik dan Tantangan Administrasi Kependudukan di Aceh.
Hingga hari ini, Pokja Identitas Hukum Aceh baru terdiri dari beberapa OMS yang sudah berkomitmen untuk mendukung keberadaan Pokja, yaitu, Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM), Restorative Justice Working Group (RJWG), GERAK Aceh, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Ar-Raniry, Blood for Life Foundation (BFLF), Empaty, KAPHA, Yayasan PULIH, Redelong Institute, Forum Komunikasi Masyarakat Berkebutuhan Khusus (FKM BKA) dan Yayasan Sahabat Difabel Aceh (YSDA).
Tujuan utama pembentukan Pokja Identitas Hukum adalah untuk menguatkan kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat sipil.
Pokja Identitas Hukum dibentuk sebagai menjadi mitra kritis pemerintah dalam mengawal pemenuhan identitas hukum. Kami akan terus mendukung pemerintah menelurkan kebijakan-kebijakan yang inklusif, non diskriminatif dan akuntabel agar semua penduduk dari berbagai kelompok sosial-ekonomi, etnis, agama, keyakinan dan jender mendapatkan identitas hukum, ujar Muhammad Jaedi, koordinator Pokja Identitas Hukum Nasional.
Sementara itu, Koordinator Pokja Identitas Hukum Aceh, M. Ridha juga menyampaikan sudah saatnya kolaborasi masyarakat sipil terbangun secara sinergis dan dinamis untuk tujuan perbaikan tata kelola identitas hukum yang lebih baik ke depan, termasuk bagaimana praktek baik yang telah terjadi di beberapa daerah bisa didokumentasikan dan direplikasi ke daerah lainnya.
“Hal ini akan lebih mudah terwujudnya dengan adanya advokasi bersama kelompok masyarakat sipil" ujar M. Ridha lebih lanjut.
Dalam melakukan advokasi, Pokja mengandalkan mengandalkan bukti-bukti empiris sebagai basis argumentasi dan mendorong munculnya diskursus berbasis bukti.
Dengan begitu, berbagai rekomendasi Pokja kepada Pemerintah akan selalu dapat diuji secara ilmiah. Advokasi berbasis bukti mendukung pemerintah menelurkan kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran, rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan berbagai pengalaman, jaringan dan sumber daya yang dimiliki anggota-anggotanya, Pokja Identitas Hukum siap mendukung Pemerintah mencapai target-target pembangunan di bidang identitas hukum.
Pokja Identitas Hukum membuka partisipasi yang seluas-luasnya bagi berbagai OMS untuk bergabung dan bekerja bersama-sama mewujudkan sistem identitas hukum yang inklusif, non diskriminatif, dan akuntabel.
Dengan menggabungkan berbagai sumber daya yang tersedia, Pokja percaya kerja-kerja advokasi akan memberikan kontribusi yang semakin besar pada pembangunan sistem pencatatan sipil di Indonesia, agar setiap orang Indonesia memiliki identitas hukum.
Editor: Munawar AR