Terkait dengan larangan cadar yang dikeluarkan oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta Prof KH Yudian Wahyudi PhD baru-baru ini terhadap mahasiswi UIN Suka lewat Surat Keputusan Rektor tertanggal 20 Februari 2018, dengan berdalih untuk mencegah berkembangnya paham radikal di UIN Suka, maka saya sebagai seorang muslim perlu menanggapi keputusan rektor UIN tersebut.
Mengingat pentingnya persoalan ini, karena berkaitan dengan syariat Islam, dan dalam rangka membela syariat Islam dan membela hak muslimah yang terzalimi serta meluruskan pemahaman radikal rektor UIN Suka.
Terlebih lagi, Surat Keputusan rektor yang berisi larangan cadar tersebut telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan umat Islam, tidak saja di internal UIN Suka maupun di luar UIN Suka, namun juga telah menasional. Bahkan telah melukai persaaan umat Islam, khususnya mahasiswi bercadar.
Adapun tanggapan saya terkait hal tersebut, pertama menyayangkan dan mengecam tindakan rektor UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta yang melarang cadar di UIN Suka. Sebagai seorang muslim, sepatutnya rektor tidak mengeluarkan keputusan tersebut. Apalagi aturan larangan cadar itu diterapkan di institusi pendidikan Islam (Perguruan Tinggi Islam) yang bernama Universitas Islam Negeri (UIN). Tentu sangat memalukan dan mencoreng UIN Suka. Bahkan melukai perasaan umat Islam di Indonesia, bahkan dunia.
Kedua, Keputusan rektor itu menunjukkan pemahaman dangkal sang rektor tentang syariat Islam. Padahal cadar adalah pakaian untuk menutup aurat wanita. Oleh karena itu, cadar merupakan simbol, pemikiran dan ajaran Islam. Bukan budaya Arab sebagaimana syubhat yang dikemukakan oleh orang-orang kafir orientalis dan pengikut mereka dari kalangan orang-orang liberal.
Ketiga, Alasan rektor melarang cadar tidak logis dan terlalu mengada ada. Sikapnya ini terkesan islamophobia. Tidak masuk akal seorang muslimah yang taat beragama itu berpaham radikal. Agama tidak mengajarkan radikalisme dan terorisme, bahkan melarangnya. Jadi, di mana radikalnya?! Apakah salah seorang muslimah taat kepada agama?!
Keempat, Keputusan rektor itu telah melecehkan dan "mengeksekusi" syariat Islam yang suci dan mulia. Menuding cadar sebagai aksi radikal sama saja menghina Islam. Sebenarnya yang radikal itu adalah orang yang melarang mengamalkan syariat Islam dan anti syariat, karena dia telah menentang Allah Swt, Tuhan semesta alam.
Kelima, keputusan rektor itu telah melanggar syariat Islam dan menentang perintah Allah Swt dan Rasul-Nya yang memerintahkan umat Islam untuk menutup aurat. Jelas ini maksiat terang-terangan dan hukumnya dosa besar. Tindakan rektor ini tidak mencerminkan keislamannya.
Keenam, keputusan rektor ini telah melanggar hukum yang berlaku di Indonesia yang menjamin kebebasan dalam beragama dan menjalankan agama. Pasal 29 UUD 1945 dan Pancasila menjadi dasar hukum bagi setiap orang untuk beragama dan menjalankan ajaran agamanya seperti menutup aurat dengan cadar bagi muslimah.
Ketujuh, keputusan rektor itu telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan merusak nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, bercadar itu hak dan pilihan bagi setiap muslimah. Seharusnya sang rektor toleran dan menghargai hak asasi mahasiswi dalam bercadar selama tidak menganggu perkuliahan atau tidak memaksa orang lain untuk bercadar atau tidak ada upaya radikalisasi. Tuduhan radikal bagi muslimah telah melukai umat Islam, khususnya wanita bercadar. Sikap rektor ini menunjukkan intoleransi dan otoriter serta tidak manusiawi.
Kedelapan, keputusan rektor itu diskriminatif dan tidak berkeadilan. Mahasiswi yang menutup auratnya dengan cadar dianggap radikal dan dikenakan sanksi dikeluarkan dari kampus jika tetap bercadar. Padahal menutup aurat dengan cadar atau jilbab itu perintah agama dan untuk menjaga kehormatan muslimah. Anehnya, mahasisiwi yang tidak menutup auratnya dengan cadar maupun jilbab tidak dianggap radikal dan tidak ada sanksi dikeluarkan dari kampus. Padahal mereka ini melanggar agama dan menentang hukum Allah Swt secara terang-terangan.
Kesembilan, meskipun para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum cadar antara wajib atau sunnat, namun mereka sepakat bahwa cadar itu simbol, pemikiran dan ajaran Islam. Tindakan rektor telah merusak kebebasan intelektual dan toleransi dalam persoalan khilafiah. Juga telah menafikan cadar sebagai simbol, pemikiran dan ajaran Islam. Seharusnya rektor menghargai dan menghormati perbedaan pendapat para ulama mengenai cadar.
Kesepuluh, meminta rektor untuk mencabut segera larangan ini dan meminta maaf kepada umat Islam, khususnya mahasiswi bercadar di UIN Suka, atas kesalahan keputusan "nyeleneh" dan radikal rektor yang telah melecehkan syariat Islam dan melukai perasaan umat Islam seluruh Indonesia, bahkan dunia, khususnya mahasiswi bercadar di UIN Suka.
Demikian tanggapan saya terhadap keputusan rektor UIN Suka. Semoga Allah swt memberikan petunjuk kepada kita dan melindungi kita dari kesesatan. Amin..!
Wassalam
Penulis merupakan Ketua MIUMI Aceh, pengurus Dewan Dakwah Aceh dan anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara