LAMURIONLINE.COM | ACEH - Wacana Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang ingin menggugat Gubernur Aceh dan Mendagri ke Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait Pergub Nomor 9 Tahun 2018 Tentang APBA 2018, mendapat reaksi dari berbagai pihak.
Salah satunya dari anggota DPD RI Perwakilan Aceh Drs Ghazali Abbas Adan. Ia menilai agaknya DPRA pantang menyerah memperjuangkan aspirasinya dengan bungkusan aspirasi masyarakat.
Buktinya ketika mareka gagal menghadang Pemerintah Acah dan Kemendagri saat mempergubkan APBA, kini beberapa anggota DPRA itu menempuh jurus lain, yakni menunjukkan keseriusannya menggugat Gubernur Irwandi Yusuf dan Mendagri Tjahyo Kumolo karena mensahkan Pergub No 9 Tahun 2018 Tentang APBA.
Menurut anggota MPR/DPR RI 1992-2004 ini, upaya gugatan itu sudah pasti berkonsekwensi dengan biaya/anggaran, yang digunakan untuk membayar jasa tim kuasa hukum DPRA, biaya perjalanan dan lain sebagainya.
Ia pun mentaksir total biaya yang diperlukan bisa mencapai ratusan juta atau bahkan miliaran. Maka sekaitan dengannya darimana para almukarramun mendapatkan sumbernya, sementara disebutkan dalam APBA 2018 tidak diplotkan anggaran untuk kerjaan yang demikian.
“Saya kira kalau memang para almukarramun menganggap gugatan itu amatlah penting dan strategais dalam upaya mewujudkan "aspirasi" mereka, maka sangatlah cerdas, santun dan bermartabat apabila mereka mau urunan (meuripee). Karena ketika tidak ada anggaran dalam APBA maka dengan cara inilah yang sangat mungkin mendapatkan dana/anggaran untuk membiayainya,” kata Ghazali Abbas, Minggu (06/05).
Anggota Komite IV yang membidangi keuangan ini menambahkan dengan pertanyaan, akankah dengan gugatan itu dalam praktiknya akan berdampak pada tersendat atau bahkan terhentinya pemanfaatan anggaran dalam ABPA yang dipergubkan untuk melaksanakan program-program pro rakyat menuju Aceh Hebat sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Pemerintahan Aceh?
Kini di bawah kepemimpinan Irwandi-Nova dalam penyusunan APBA mengacu kepada konsep kekinian, yakni musrenbang, e-planning dan e-budgetting sehingga dengan makanisme ini dapat membendung masuknya "penumpang gelap" atas nama aspirasi rakyat yang masih dipertanyakan akurasi sasaran dan asas manfaat bagi rakyat banyak.
“Saya sebut rakyat banyak ialah karena nilai manfaat itu bukan hanya untuk diri sendiri, kroni dan kelompok. Kendati oleh beberapa almukarramun menyebutkan bahwa gugatan Pergub APBA bukanlah untuk menghambat pelaksanaan pembangunan Aceh,” ungkap Ghazali.
Di sisi lain lanjut Ghazali Abbas, terhadap gugutan ini Pemerintah Aceh dan Kemendagri tentu dengan dalil yuridis sudah siap menghadapinya. Akan halnya rakyat hanya satu saja keinginginannya, yakni bahwa setiap sen APBA itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Aceh. Dan bukan untuk diri sendiri, kelompok dan kroni siapapun.
“Bagaimana kesudahan gugatan para almukarramun itu, jawabannya "boh jouk boh peulangan, watee ka trouk ta bouh nan". Wallahu ‘alam,” demikian Ghazali Abbas Adan. (mur)