Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Polemik antara pro dan kontra terhadap Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Cambuk yang dialihkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf baru-baru ini (Kamis, 12 April 2018), telah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat antara yang pro dan kontra terhadap kebijakan ini, puncaknya terjadi demo penolakan Pergub tersebut oleh sejumlah elemen seperti ormas Islam, OKP dan mahasiswa pada hari Kamis 19 April lalu. Banyak pihak yang menolak Pergub ini.
Kebijakan gubernur ini telah menimbulkan kegaduhan, kemarahan dan penentangan mayoritas masyarakat Aceh, termasuk DPRA Aceh.
Selain itu Pergub ini dianggap telah menyalahi prinsip dan aturan syariah (Al-Quran) yang memerintahkan pelaksanaan hukuman cambuk itu dipersaksikan oleh orang ramai sebagaimana perintah dalam ayat 2 dari surat An-Nur.
Dalam ayat ini, dapat dipahami bahwa pelaksanaan cambuk itu dilakukan di tempat terbuka untuk umum tanpa ada pembatasan umur. Jika tempatnya tertutup bagi umum atau terbatas seperti lapas, tentu bertentangan dengan ayat tersebut. Terlebih lagi di lapas ada aturan masuk yang ketat dan terbatas orang tertentu.
Selama ini, sejak Syariat Islam resmi diberlakukan di Aceh tahun 2003 sampai hari ini, pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan di tempat terbuka yaitu di halaman masjid, agar dipersaksikan oleh orang ramai. Ini sudah sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Maka pelaksanaan hukuman cambuk selama ini tidak menimbulkan masalah dan penentangan dari umat Islam. Oleh karena itu, saya berharap hukuman cambuk tetap dilaksanakan di tempat terbuka seperti di halaman masjid dan lapangan seperti selama ini. Agar tidak timbul kegaduhan dan polemik dalam masyarakat yang dapat merusak persatuan, perdamaian dan ukhuwwah islamiah.
Tujuan syariat memerintahkan umat Islam untuk mempersaksikan pelaksanaan hukuman syariat berupa cambuk, qishas dan rajam adalah untuk memberi efek jera dan pelajaran bagi pelanggar syariat dan orang lain serta mencegah kriminal atau maksiat. Inilah maqashid syariah dari hukuman dalam Islam. Oleh karena itu, hukuman cambuk yang dilaksanakan di lapas tidak sesuai dengan maqashid syariah tersebut.
Hukuman cambuk di tempat terbuka untuk umum yaitu halaman masjid atau lapangan sudah benar, sesuai dengan Al-Quran dan maqashid syari'ah. Adapun hukuman cambuk di Lapas atau penjara tidak sesuai dengan Al-Quran dan maqashid syariah. Oleh karena itu, pelaksanaan cambuk sebaiknya tetap dilakukan di tempat terbuka seperti halaman masjid atau lapangan. Karena maqashid syari'ah yang diharapkan pelaksaan hukuman akan tercapai.
Kami juga Meminta Gubernur Aceh untuk meninjau kembali Pergub tersebut, karena tidak sesuai dengan Al-Quran dan Maqashid Syari'ah.
Terlebih lagi menimbulkan polemik dan penolakan dari berbagai pihak dari masyarakat Aceh yang peduli terhadap syariat Islam. Demi persatuan dan perdamaian di Aceh dan kepercayaan terhadap gubernur Aceh dalam penegakkan syariat, maka Pergub itu sebaiknya dicabut.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf seharusnya untuk komitmen dalam melaksanakan syari'at Islam secara kaffah berdasarkan Al-Quran dan Hadits sesuai dengan pemahaman para ulama salasfushalih (para sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in). Meskipun dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih terdapat berbagai kekurangan, namun kita tetap mendukung pemerintah Aceh dalam menegakkan syariat Islam di Aceh. Kekurangan tersebut mesti dievaluasi dan diperbaiki. Syariat tetap terus dijalankan.
Gubernur Aceh juga tidak perlu takut dan ragu dalam menegakkan syariat Islam di Aceh. Kami dan Umat Islam seluruh dunia, khususnya di Indonesia dan Aceh, mendukung pemerintah Aceh dalam menegakkan syariat Islam. Aceh telah diberikan keluasan oleh pemerintah pusat untuk menerapkan syariat Islam secara legal dan formal. Jadi tidak perlu takut dan ragu. Meskipun ada orang yang tidak senang, syariat Islam di Aceh harus ditegakkan dan dijalankan. Karena ini amanah rakyat Aceh dan Undang-Undang di Indonesia serta Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Di antara persoalan yang menghalangi penerapan syariat Islam di Aceh adalah kekhawatiran terhadap tidak datangnya investor dari luar gara-gara pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar syariat. Tentu saja alasan ini tidak tepat dan tidak logis. Ini syubhat atau racun pemikiran yang mesti ditolak. Justru dengan syariat Islam Aceh akan tercipta keamanan dan perdamaian.
Jika Aceh aman dan damai, maka akan menarik orang untuk berinvestasi di Aceh. Negara Saudi menerapkan syariat Islam secara kaffah, namun investasi tetap jalan. Bahkan Saudi menjadi negara Islam yang kaya, aman dan makmur.
Selain itu Gubernur Aceh Irwandi tidak perlu mendengarkan kritikan orang-orang yang tidak senang dengan syariat, baik dari orang kafir maupun orang Islam pengikut mereka dari orang-orang liberal (munafikun). Syariat Islam itu hak dan pilihan rakyat Aceh serta diberlakukan hanya di Aceh. Orang-orang kafir dan pengikut mereka serta orang tinggal di luar Aceh tidak punya hak untuk berbicara negatif, mengkritik dan menolak syariat Islam di Aceh.
Mereka tidak boleh mengatur dan mencampuri urusan kita orang Aceh. Islam agama kita. Kita hanya ingin menjalankan agama kita. Hukum syariat itupun hanya berlaku di daerah kita sendiri. Jadi tidak ada hak orang kafir dan pengikutnya orang-orang liberal (munafikun) mencampuri urusan syariat Islam di Aceh. Begitu pula orang luar Aceh. Tindakan mereka mengkritik dan menolak syariat Islam di Aceh telah melanggar HAM dan merusak nilai humanis seperti yang mereka dengung-dengungkan selama ini serta melanggar Undang-Undang di Indonesia.
Di antara alasan yang dijadikan sebagai pertimbangan untuk melaksanakan hukuman cambuk di lapas yaitu pelaksanaan hukuman cambut di tempat terbuka disaksikan oleh anak kecil, direkam dengan kamera/HP oleh penonton, memalukan pelaku maksiat yang dicambuk dan sebagainya. Alasan ini tidak tepat. Terkesan mengada-ada dan tidak logis.
Yang benar, justru ini menjadi pelajaran bagi semua orang yang menonton, termasuk anak kecil, agar mereka tidak melakukan perbuatan pelanggaran syariat. Selain itu, mencegah mereka dari berbuat pelanggaran syariat. Inilah maksud dan tujuan hukuman dalam Islam. Dengan demikian, jelaslah bahwa hukuman dalam Islam lebih bersifat preventif dan pengajaran dari pada memberi rasa sakit.
Melalui tanggapan ini, saya berharap semoga bermanfaat dan menjadi masukan kepada berbagai pihak serta menjadi solusi terhadap persoalan ini. Wallahu almuwaffiq.
Penulis merupakan Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Pengurus Dewan Dakwah Aceh dan Anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara, Dosen Fakutas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry serta Doktor bidang Fiqh (Hukum Islam) dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM).