Jika mau sungguh-sungguh berdakwah, jangan khawatir kekurangan makan di
sini. Pertolongan Allah tetap berlaku di belahan bumi manapun
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
KALAU pagi ini engkau bisa buang air besar di WC,
bersyukurlah. Di pedalaman, masih ada da’i kita yang harus menggali
tanah untuk sekedar buang air. Di sejumlah titik di tengah hutan,
terdapat da’i yang berdakwah sendirian, mengajari para muallaf,
meninggalkan hiruk-pikuk kota. Ada juga yang tinggal di masjid sunyi
tanpa fasilitas MCK. Jika sewaktu-waktu perlu MCK, mereka harus berjalan
kaki berkilo-kilometer.
Seseorang mengantarkan uang kepada satu da’i pedalaman itu, tapi ia
menolak. Dakwah di kota lebih memerlukan uang. Beri kami do’a yang
tulus. Jika mau bantu, berikan saja sarana komunikasi. Untuk menelpon,
mereka harus berjalan jauh ke atas gunung agar memperoleh sinyal GSM.
Atau berikan alat yang dapat menghasilkan listrik yang mencukupi untuk
menghidupkan komputer, charge HP dan syukur bisa untuk yang lain.
Apalagi yang diperlukan? Seorang sarjana S-1 ilmu agama yang bersedia
menjadi istri dan siap berjuang di tengah hutan, sebab untuk
mengajarkan agama Islam di sekolah yang ada di sana bagi anak kaum
muslimin, harus guru agama yang memenuhi syarat menjadi PNS.
Sampai kapan mereka berdakwah di sana? Sampai beranak-cucu, atau
sampai habis umur ini, atau sampai ada tempat yang lebih memerlukan
dakwah.
Mereka gigih berdakwah bersebab rasa takutnya kalau sampai ada
orang-orang yang di sana dalam keadaan belum pernah mendengar tentang
Islam. Mereka berdakwah –bukan sekedar jadi pembicara– di pedalaman
bukan karena tak mampu berwirausaha di kota, tapi karena ingin jadi
sebab datangnya hidayah.
Jika pun bermaksud membawakan bagi mereka logistik, bawakan saja ikan
kaleng, mie instant sekedar sebagai selingan makan rusa dan binatang
buruan. Jangan bayangkan santapan yang enak. Berbagai binatang buruan
itu mereka makan ala kadarnya. Bersyukur jika bertabur garam dan bumbu.
Sungguh, jangan bayangkan lezatnya daging rusa seperti rendang Padang
yang penuh bumbu.
Maka kehadiran seorang istri amatlah berharga. Selain sebagai teman
berjuang, juga untuk menjadikan perjuangan dakwah lebih berwarna.
Kehadiran istri dapat menjadikan binatang buruan tak hanya direbus,
dipanggang di atas batu atau dibakar langsung, tapi dibumbui. Bahkan
istri yang tak dapat memasak pun dapat menegakkan punggung mereka untuk
tetap gigih berdakwah asalkan siap berjuang di kesunyian.
Mereka bukanlah orang-orang lemah seperti saya. Mereka meninggalkan
kemudahan kota secara sengaja demi meraih surga-Nya. Salah seorang dari
mereka, yang masing-masing tinggal sangat berjauhan di wilayah dakwah
berbeda, amat tegap badannya, gagah, tampan, berkulit amat putih dan
cerdas. Tapi bukan itu yang membuat saya merasa malu. Kesungguhannya
untuk mengantar hidayah yang bikin haru.
Salah seorang da’i berkata:
“Kalau sampai ada orang yang mati dalam keadaan belum pernah
mendengar tentang Islam, sementara kita ada sini, boleh jadi kita yang
ikut memiliki saham dosa atas kekafiran mereka. Maka, apa jawab kita
nanti kalau bukan berusaha keras sekarang?”
“Kami tak perlu kehadiran Ustadz terkenal yang tidak bisa melayani
dirinya sendiri. Yang kami perlukan, orang yang siap mengotori tangannya
untuk mengusap mereka dan mengikhlaskan badannya untuk berpelukan
dengan dekil tubuh mereka yang gembira menyambut kita.”
Jika mau sungguh-sungguh berdakwah, jangan khawatir kekurangan makan
di sini. Pertolongan Allah tetap berlaku di belahan bumi manapun.
Orang-orang di pedalaman tak memerlukan curriculum vitae yang panjang
dan serangkaian prestasi yang bikin tercengang. Mereka hanya memerlukan
orang yg tulus menyapa; yang menyediakan airmatanya untuk mendo’akan
mereka. Bukan menangisi terbatasnya fasilitas.
Sempat saya diajak ke sebuah tempat dan ditunjukkan, “Dubes Vatikan
sudah dua kali ke sini.” Saya terdiam mendengar penuturannya.
Teringat firman Allah Ta’ala yang sudah sangat sering kita ucapkan:
ثم لتسألن يومئذ عن النعيم
“Kemudian sungguh kelak kamu akan ditanyai pada hari itu (tentang nikmat yang Allah berikan kepadamu).” (QS. At-Takaatsur: 8)
Merupakan kehormatan jika seorang ustadz besar berkenan datang
menyapa mereka. Jangan khawatir, mereka akan menyambut dengan penuh
kehangatan.
Mereka dengan senang hati memberikan apa yang mereka punya, jika kita
tidak (punya rasa) malu menerimanya. Bahkan gaharu pun mereka tak berat
melepaskan. Semoga di tahun ini, tak lama, saya dapat mendatangi
sebagian pos dakwah mereka. Semoga Allah mampukan saya membawakan
sesuatu yang berharga. Bersyukur saya sempat pula bertemu seorang da’i
yang tinggal berdua dengan isterinya di tengah hutan. Saya tertegun.
Saya termangu melihat wajahnya yang menyiratkan sebagai pribadi
bahagia dan tenang. Bukan sekedar kebetulan sedang bahagia. Betapa
ringan ia mnghadapi dunia, meski HP-nya sudah tak bertutup di bagian
belakang. Pengen bawakan ia HP tahan banting, awet baterai.
Masih amat banyak hal yang patut direnungi. Tapi izinkan saya menata
hati. Betapa kecilnya diri ini di hadapan mereka. Nasehati saya,
nasehati saya dan do’akan saya.*
~