Oleh: Ahmad
Faizuddin
Islam mempunyai konsep
pendidikan (tarbiyah) yang menyeluruh
(syumul) dan sempurna (kaffah). Berbeda dengan falsafah
pendidikan kapitalis yang berdiri di atas kebebasan individu dan falsafah
pendidikan komunis yang menekankan kepada kecenderungan sosial, falsafah
pendidikan Islam memberikan perhatian kepada kedua aspek individu dan
masyarakat secara seimbang (tawazun).
Masyarakat kapitalis memberikan kebebasan kepada individu untuk berbuat
semaunya, sementara masyarakat komunis membelenggu kebebasan individu sehingga
kedua faham tersebut mempersulit perkembangan dan kehidupan manusia secara
utuh. Maka, konsep pendidikan yang terbaik harus dilandaskan kepada aturan yang
mengatur hubungan individu dengan penciptanya (hablum minallah) dan hubungan individu dengan lingkungan sekitarnya
(hablum minannas).
Untuk mencari ilmu
pengetahuan, Allah SWT membekali manusia dengan beberapa perlengkapan yaitu
berupa pendengaran, penglihatan dan hati. Firman-Nya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengerti sesuatu pun dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur (Q.S. An-Nahl: 78)
Oleh karena itu, ummat Islam
harus mempunyai cita-cita (himmah)
yang tinggi untuk mengkaji ilmu pengetahuan dan menyebarkan kebudayaan (tsaqafah) untuk kepentingan manusia
seluruhnya. Namun seiring dengan gencarnya perang pemikiran (ghazwul fikri) dari luar Islam, kiblat
falsafah pendidikan ummat hanyut dan terombang-ambing dalam alam pemikiran
Barat yang kafir dan Timur yang atheis. Atas nama modernitas, metode pendidikan
Islam yang berasaskan Al-Qur’an dan Sunnah seolah dianggap sudah kuno dan
ketinggalan zaman.
Namun demikian, Allah SWT dan
Rasul-Nya telah menjamin keutuhan agama Islam melalui tangan-tangan hamba-Nya
yang shalih. Rasulullah SAW bersabda:
Akan ada dalam setiap generasi ummat ini
orang-orang yang adil, yang selalu rela membawa bendera ilmu. Mereka menghapus
semua penyelewengan orang-orang yang melampaui batas (ghuluw), menghapus semua
pendangkalan orang-orang yang sesat dan semua takwil orang-orang yang bodoh” (H.R. Ad-Dailami)
Mengomentari Hadits ini, Ibnu
Qayyim berkata bahwa ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW akan selalu
diemban oleh orang-orang yang adil dari ummatnya dalam setiap generasi sehingga
ilmu tersebut tidak akan hilang dan musnah. Inilah tarbiyah Islamiyyah yang bersandar kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah SAW.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
(lahir 691 H dan wafat 751 H di Damaskus) adalah salah satu ulama yang banyak
membahas tentang tarbiyah Islamiyyah.
Beliau merupakan seorang pakar dan ahli Qira’at, Fiqh (Mazhab Hanbali), Ushul
Fiqh, Tafsir dan Nahwu. Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abi Bakr bin
Ayyub bin Sa’ad bin Haris Az-Zar’i Ad- Dimasqy. Beliau banyak menimba ilmu dari
Taqiuddin Ibnu Taimiyyah. Dengan keluasan ilmunya, Ibnu Qayyim telah menuliskan
ratusan karya. Diantaranya adalah kitab-kitab Madaarijus Saalikin, Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, Nuzhatul Mustaqim
wa Raudhatul Muhibbin, Ad-Daau’ wad Dawa’, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud,
Al-Kabair, Ar-Ruh, At-Thibbun Nabawy, Al-Fatawa, Al-Fawaaid, dan masih
banyak lagi yang lainnya dalam berbagai macam bidang keilmuan. Diantara
murid-muridnya yang paling terkenal adalah Ibnu Katsir (pengarang kitab Al-Bidayah wan Nihayah) dan Ibnu Rajab
(pengarang kitab Ad-Dhail Al-Madzahibil
Hanabilah).
Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy
merangkum pendapat-pendapat Ibnu Qayyim dalam disertasinya yang berjudul Al-Fikru At-Tarbawy ‘Inda Ibni Qayyim.
Karangan beliau diterbitkan oleh Darul Hafidh Lin Nasyr Wa Tauzi’. Menurut Ibnu
Qayyim, para orang tua dan pendidik (murabbi)
haruslah memfokuskan pendidikan anak-anaknya dalam: (1) menanamkan cinta Allah
(mahabbatullah) dan cinta Rasul (mahabbatur Rasul) pada jiwa anak; (2)
memperhatikan pendidikan akal (tarbiyah
‘aqliyyah) yang jauh dari sifat menakut-nakuti sehingga mempengaruhi si
anak; (3) menanamkan pendidikan moral (tarbiyah
khuluqiyyah) dan membiasakan anak dengan kalimat yang baik dan akhlak
terpuji, mencintai kebaikan dan membenci keburukan; dan (4) menjaga dan
mengembangkan kemampuan (skills),
kecerdasan dan jiwa anak.
Secara umum, tujuan
pendidikan (tarbiyah) menurut Ibnu
Qayyim dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok yaitu: (1) tujuan yang
berkaitan dengan badan (ahdaf jismiyyah),
(2) tujuan yang berkaitan dengan akhlak (ahdaf
akhlaqiyyah), (3) tujuan yang berkaitan dengan akal (ahdaf fikriyyah), dan (4) tujuan yang berkaitan dengan skills (ahdaf maslakiyyah). Dalam hal tarbiyah badan dan kesehatan anak, Ibnu
Qayyim berpesan untuk menjaga makanan mulai dari memberikan susu ibu kepada
bayi yang baru lahir sampai tumbuh giginya serta menjaga keseimbangan konsumsi
makanan dan minuman untuk mengurangi penyakit akibat timbunan sisa-sisa
makanan.
Selanjutnya, anak juga perlu
dijaga perkembangan akhlaq dan perilakunya. Ibnu Qayyim menyarankan agar para
murabbi menjaga anak didiknya supaya tidak bicara berlebihan – apalagi sampai
berbohong, dan tidak bergaul dengan orang-orang yang buruk perangainya. Adapun
pembinaan akal adalah dengan cara menghindarkan anak didik dari sesuatu yang
dapat merusak jiwa mereka seperti minum-minuman keras dan mengkonsumsi narkoba.
Tarbiyah juga harus membina bakat dan keahlian seorang anak untuk mewujudkan
kemashlahatan dirinya dan umat manusia seluruhnya. Menurut Ibnu Qayyim, seorang
pendidik harus mampu melihat kecenderungan dan ketertarikan si anak terhadap
suatu ilmu atau perkara sehingga bisa dibina sesuai dengan bakat dan
keahliannya.
Adapun tantangan dari
terwujudnya tarbiyah yang baik itu
ada berbagai macam. Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa yang paling utama adalah
hilangnya keteladanan yang baik (qudwah
hasanah) terutama dari para pendidik (murabbi).
Alangkah besar bahayanya jalan tarbiyah apabila para pendidik mempunyai akhlaq
yang buruk apalagi menyimpang dari syari’at yang benar karena anak akan mengikuti
tingkah laku dari orang-orang di sekitarnya. Ibnu Qayyim berkata, “Berapa
banyak orang tua yang menghalangi anaknya dari mendapatkan kebaikan di dunia
dan akhirat. Semua itu merupakan akibat dari tindakan para orang tua yang suka
menyia-nyiakan hak Allah, juga karena berpalingnya mereka dari
kewajiban-kewajiban yang dibebankan” (Tuhfatul
Maudud fi Ahkamil Maulud, h. 242). Termasuk dalam hal ini adalah lalai
dalam mendidik akhlaq kepada anak-anak. Menurut Ibnu Qayyim, kerusakan akhlaq
anak berbanding lurus dengan kelalaian orang tua dan murabbi dalam mendidik
mereka. Artinya, jika akhlaq seorang anak itu rusak, maka dapat dipastikan akhlaq
bapaknya lebih rusak lagi.
Tantangan selanjutnya adalah
sifat malas, senang menganggur, santai dan tidak serius dalam pekerjaan.
Bergaul dengan teman yang buruk perangai dan akhlaqnya juga dapat merusak
proses tarbiyah anak. Diantara tantangan terbesar tarbiyah juga apabila murabbi
membiarkan anak didiknya menuruti gejolak nafsunya, terutama syahwat perut dan
kemaluan. Hal ini dapat menghancurkan kemaslahatan tarbiyah dan merusak jiwa si
anak. Tantangan yang terakhir adalah kurangnya pengarahan dalam pembentukan
keterampilan dan bakat anak. Ibnu Qayyim berpesan khususnya kepada para orang
tua agar memperhatikan bakat, kemampuan dan kesiapan anak dalam melakukan
sesuatu. Apabila anak dipaksa untuk menguasai sesuatu yang dia tidak siap,
tidak memiliki bakat dan tidak punya kemampuan padanya, maka dia akan terhalang
dari kesuksesan bahkan hilang bakat dan kemampuannya.
Oleh karena itu, tarbiyah
dalam Islam mempunyai rambu-rambu yang jelas sebagaimana tertera dalam
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW. Tujuan (ghayah) utamanya adalah menjadikan manusia sebagai hamba-hamba
Allah SWT yang bertanggungjawab untuk memakmurkan bumi. Firman Allah: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Dalam ayat yang
lain Allah juga menekankan: “Dialah Dzat
yang telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi” (Q.S.
Al-An’am: 165). Untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, Allah SWT
menciptakan apa-apa yang ada di langit dan di bumi untuk kepentingan manusia
semuanya. “Dan Dia menundukkan untukmu
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari
pada-Nya)” (Q.S. Al-Jatsiyah: 13).
Akhirnya, sebagai seorang
guru (mu’allim), Rasulullah SAW senantiasa
mengajarkan ummatnya dengan teladan terbaik (qudwah hasanah). Manusia sebagai makhluk yang diberi kepercayaan (amanah) untuk memakmurkan bumi (khalifah fil ardhi) diharapkan agar
dapat beramal untuk kebaikan dunia dan akhirat serta menjauhi kerusakan. Allah
SWT berfirman:
Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain,
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan” (Q.S.
Al-Qashash: 77).
Kuala Lumpur: October 14,
2018
Penulis merupakan Pembina Buletin Lamuri