Oleh: Dr.
Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Pembakaran
bendera tauhid yang dilakukan oleh para anggota Barisan Serbaguna Nahdhatul
Ulama (Banser NU) baru-baru ini di Garut (Senin, 21/10/2018) telah melukai hati
umat Islam seluruh Indonesia bahkan dunia. Perbuatan para anggota Banser ini telah
membuat keresahan dan kegaduhan umat Islam seluruh Indonesia dan dunia. Perbuatan
mereka dianggap sebagai penodaan agama karena telah melecehkan kalimat dan
bendera tauhid.
Parahnya,
perbuatan Banser NU itu justru mendapat pembelaan dan dukungan dari ketua umum
GP Ansor NU Yaqut Cholil Qaumas (www.detik.com, 22/11/2018) dan ketua umum
PBNU Prof. Dr. Said Agil Siraj (www.detik.com, 23/11/2018) serta orang-orang
yang sepaham dengan mereka. Mereka berdalih bahwa bendera yang dibakar itu
bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dengan dalih ini, mereka membolehkan membakar
kalimat dan bendera tauhid. Mereka juga beralasan untuk menyelamatkan kalimat
tauhid, agar tidak diinjak. Selain itu, perbuatan Banser dianggap sebagai
tindakan spontanitas karena emosi saja. Dengan kata lain, tidak sengaja
dilakukan dan tidak ada niat jahat. Dengan alasan-alasan inilah mereka membenarkan
perbuatan Banser dan menganggapnya bukan penodaan agama.
Pendapat GP
Ansor dan PBNU serta orang-orang yang sepaham dengan mereka itu terkesan ingin
menutupi kesalahan Banser NU dan membohongi publik. Oleh karena itu, penulis
perlu meluruskan syubhat-syubhat yang mereka kemukakan tersebut. Maka, tulisan
ini bertujuan untuk membantah pendapat mereka dan menegaskan bahwa perbuatan
Banser itu penodaan agama. Di samping itu, tulisan ini juga bertujuan untuk membela kalimat dan
bendera tauhid, melaksanakan kewajiban nahi
munkar dan menuntut tegaknya hukum dan keadilan di negara kita ini. Penulis adalah seorang muslim yang masih punya iman
dan tauhid yang terpanggil untuk membela tauhid dan agama Islam. Penulis tidak
rela tauhid dan agama Islam dilecehkan.
Membantah Pendapat GP Ansor dan PBNU
Menurut
penulis, pembakaran bendera yang bertuliskan kalimat laa ilaaha illa Allah
Muhammad Rasulullah yang dilakukan Banser NU merupakan tindakan penodaan
agama. Perbuatan ini telah melecehkan kalimat dan bendera tauhid. Ini berarti penghinaan
terhadap Allah Swt dan Rasulullah Saw. Maka, tindakan Banser ini telah
melanggar hukum di Indonesia yang dapat dikenakan sanksi pidana seperti yang diatur
dalam pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Pelakunya harus dihukum dengan aturan
pasal penodaan agama ini. Tidak boleh
dihukum dengan pasal lain yang lebih ringan hukumannya dari pasal penodaan
agama.
Selain itu,
perbuatan Banser juga melanggar hukum Islam yang mengharamkan perbuatan
menghina ajaran dan simbol Islam. Perbuatan ini bertentangan dengan iman dan
tauhid seorang muslim. Terhadap pelaku perbuatan penodaan agama, Islam memberi
sanksi tegas. Dalam hukum Islam, perbuatan penodaan agama Islam mengakibatkan
pelakunya murtad berdasarkan
kesepakatan (ijma’) para ulama. Selain mendapat azab di akhirat, hukuman
bagi orang murtad adalah dibunuh. Pelaksanaan hukuman ini dilakukan oleh pemimpin atau hakim.
Di antara
alasan GP Ansor NU dan PBNU serta pendukung mereka untuk membenarkan perbuatan
Banser NU yaitu bendera yang dibakar adalah bendera HTI, bukan bendera tauhid.
Mereka mengganggap HTI sebagai organisasi terlarang di Indonesia, karena
pemerintah telah membubarkannya. Oleh karena itu, mereka tidak menyalahkan
Banser, bahkan membela dan mendukung perbuatan Banser. Menurut mereka, bendera
HTI harus dibakar, meskipun di bendera tersebut ada kalimat tauhid laa
ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Mereka berasumsi bahwa semua
bendera yang bertuliskan kalimat tauhid adalah bendera HTI.
Tentu saja
alasan ini tidak benar dan terlalu mengada-ada. Justru, fakta di lapangan
membuktikan bahwa bendera yang dibakar adalah bendera tauhid yang bertuliskan laa
ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah, bukan bendera HTI. Hal ini cukup
jelas kita saksikan di video yang sudah viral di medsos. Tidak ada tulisan HTI
di bendera tersebut. Yang ada hanya tulisan kalimat tauhid laa ilaaha illa
Allah, Muhammad Rasulullah. Adapun bendera HTI bertuliskan “Hizbut Tahrir
Indonesia”. Tentu saja bendera HTI berbeda dengan bendera tauhid. Dengan
demikian jelaslah alasan mereka itu terkesan mengada-ada dan membohongi publik.
Klaim
bendera HTI yang dijadikan alasan pembenaran oleh pihak GP Ansor dan PBNU telah
dibantah oleh MUI seperti yang diberitakan oleh berbagai media. Menurut MUI,
bendera yang dibakar itu bendera tauhid, bukan bendera HTI. Alasan MUI, tidak
ada simbol HTI di bendera tersebut seperti yang terlihat di video. Pandangan MUI
ini disampaikan secara resmi kepada publik setelah melakukan kajian dalam
persoalan ini. (www. republika.co.id, 23/10/2018)
Hal senada
juga disampaikan oleh pakar hukum dan perundang-undangan sekaligus Kuasa Hukum
HTI Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, bendera yang dibakar itu bukan
bendera HTI, namun bendera tauhid. Yusril sependapat dengan pernyataan MUI dan
mendukung keputusan MUI tersebut. Selain itu, Yusril juga menegaskan bahwa HTI
bukan organisasi terlarang. Menurutnya, Menteri Hukum dan HAM hanya mencabut
status badan hukum HTI yang sekaligus bermakna pembubaran pada tanggal 19 Juli
2017 melalui SK Menkumham Nomor AHU-30. AHU-30.AH.01.08. Namun SK menteri
tersebut tidak menyebutkan HTI sebagai organisasi terlarang. (www.hidayatullah.com, 2/11/2018)
Demikian
pula apa yang dituduh oleh GP Ansor dan PBNU telah dibantah oleh mantan Juru
bicara HTI Ismail Yusanto seperti yang diberitakan hidayatullah.com
(22/10/2018). Ia menegaskan bahwa HTI tidak memiliki bendera. Menurutnya,
bendera yang dibakar dalam video yang beredar luas itu Ar-Royah (bendera
Rasulullah saw), bendera berwarna hitam yang bertuliskan tauhid. (www.hidayatullah.com, 22/10/2018)
Pendapat
mereka diatas sama dengan pendapat mayoritas umat Islam di Indonesia, bahkan
dunia. Berbagai aksi kecaman di berbagai media maupun aksi demo damai dilakukan
oleh umat Islam seluruh Indonesia dan dunia. Terlepas polemik bendera HTI atau
bukan, yang jelas bendera yang dibakar itu bertuliskan kalimat tauhid.
Faktanya, bendera yang dibakar itu bukan bendera HTI, namun bendera tauhid
seperti terlihat jelas di video dan disampaikan oleh MUI, HTI dan seluruh ormas
dan elemen umat Islam.
Mengklaim
bendera tauhid sebagai bendera HTI merupakan suatu kesalahan fatal. Bendera
tauhid berbeda dengan bendera HTI. Bendera tauhid hanya bertuliskan kalimat
tauhid laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Adapun bendera HTI
bertuliskan kalimat tauhid dan tulisan “Hizbut Tahrir Indonesia”. Bendera
tauhid bukanlah milik organisasi tertentu seperti HTI dan lainnya, namun
bendera tauhid itu milik seluruh umat Islam dari dulu sejak masa Nabi saw
sampai hari ini dan hari Kiamat. Bendera tauhid merupakan simbol Islam dan
bendera Rasul Saw. Bendera ini dipakai oleh Rasulullah saw dalam segala
kondisi, baik dalam waktu damai maupun perang. Hal ini berdasarkan hadits: “Rayah
(panji) Rasul Saw berwarna hitam, sedangkan liwa’ (bendera) Rasul saw
berwarna putih” (HR. Ath-Tabrani, Hakim, dan Ibnu Majah). Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan At-Tirmizi, melalui jalur Ibnu Abbas
meriwayatkan: “Rasulullah telah menyerahkan kepada Ali sebuah liwa’
(bendera) yang berwarna putih, yang ukurannya sehasta. Pada liwa’ (bendera)
dan rayah (panji) terdapat tulisan laa ilaaha illa Allah, Muhammad
Rasulullah. Pada liwa’ yang berwarna dasar putih, tulisan itu
berwarna hitam. Sedangkan pada rayah yang berwarna dasar hitam,
tulisannya berwarna putih.” (HR. Ahmad dan At-Tirmizi)
Seandainya
bendera yang diklaim itu memang benar bendera milik HTI (namun faktanya bukan
bendera HTI), maka bendera tersebut tetap saja tidak boleh dibakar. Bendera HTI
itu juga bertuliskan kalimat tauhid. Tulisan tauhid merupakan simbol dan ajaran
Islam yang wajib dihormati dan
dimuliakan. Kalimat tauhid tidak boleh dibakar dengan sengaja, apalagi
dipertontonkan dengan bangga sambil melagukan lagu tertentu. Kita bukan
menghormati dan memuliakan bendera HTI, namun yang kita hormati dan muliakan
adalah tulisan tauhid yang ada pada bendera. Di manapun ditulis, kalimat tauhid
tetap harus dijaga dan dimuliakan.
Alasan
lainnya yang dikemukakan oleh para pelaku pembakaran bendera tauhid dan para pembela
mereka dari GP Ansor, PBNU dan lainnya bahwa pembakaran itu dilakukan
spontanitas karena emosi Banser ketika menemukan bendera yang diklaim sebagai
bendera HTI. Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan bahwa mereka tidak
sengaja membakar bendera tersebut dan tidak ada maksud untuk melecehkan kalimat
tauhid yang ada padanya.
Tentu saja
alasan ini tidak bisa diterima secara akal sehat dan agama. Secara logika,
tidak mungkin para anggota Banser berani melakukan pembakaran bendera yang
diklaim sebagai bendera HTI ini tanpa ada instruksi atau persetujuan dari
pimpinan organisasi mereka. Tentu ada instruksi kepada mereka secara sistematis
dan struktural. Jadi ini bukan sebuah insiden tanpa perencanaan. Sangat tidak
masuk masuk akal kejadian seperti ini spontanitas. Apalagi terjadi pada saat
acara formal peringatan Hari Santri Nasional (HSN) yang dihadiri oleh banyak
pihak.
Jika kita
cermati cara mereka membakar bendera yang bertuliskan kalimat tauhid ini, maka
jelas sekali perbuatan mereka ini merupakan penodaan agama. Hal ini karena
dilakukan dengan sengaja dan terang-terangan. Aksi pembakaran ini dilakukan di
hadapan khalayak orang ramai dengan menyanyikan lagu dan sorakan kegembiraan.
Mereka telah mempertontonkannya dengan bangga dan senang. Bahkan direkam dengan
video dan disebarkan ke medsos. Mereka menampakkan dan menebarkan kebencian dan
permusuhan mereka terhadap HTI. Tidak ada sedikitpun rasa bersalah dan berdosa.
Maka perbuatan mereka ini telah memenuhi unsur pidana berupa penodaan agama
yang di atur dalam pasal 156a KUHP dan hukum Islam.
Selanjutnya, alasan yang dijadikan
pembenaran oleh GP Ansor dan PBNU serta pendukung mereka yaitu pembakaran kalimat tauhid itu
bertujuan
untuk menghormati
dan menjaga kalimat tauhid. Menurut mereka, mereka ingin menyelamatkan kalimat
tauhid agar tidak terinjak. Mereka menyamakan seperti Alquran yang tercecer kertas atau
bagian sobekan darinya sehingga dibolehkan oleh para ulama untuk membakarkannya
demi menyelamatkannya.
Alasan ini tidak bisa diterima secara
akal sehat maupun agama dan tidak bisa dijadikan sebagai pembenaran atas tindakan
pembakaran bendera tauhid secara hukum
sehingga tidak menjadi alasan memaafkan tindakan pelecehan mereka. Perbuatan tersebut
menunjukkan kebencian dan permusuhan mereka terhadap HTI. Hal ini terlihat dari
cara mereka membakar bendera. Padahal, bendera itu ada kalimat Tauhid, namun
secara sengaja mereka membakarnya. Bahkan menyamakan bendera Tauhid dengan
bendera HTI. Tentu perbuatan mereka ini justru melecehkan kalimat tauhid, bukan
menjaga dan menyelamatkannya sperti klaim mereka.
Alasan
mereka ini juga bertentangan dengan apa yang mereka katakan, bahwa Banser tidak
sengaja melakukannnya atau tidak ada maksud melakukannya. Menurut mereka kejadian
ini bersifat spontanitas karena emosi. Bagaimana mungkin dikatakan spontanitas
atau tidak sengaja, sedangkan mereka bermaksud membakarnya untuk menyelamatkan
kalimat tauhid agar tidak terinjak. Bahkan pembakaran ini dipertontonkan kepada
publik dengan sorakan bangga dan senang. Ini menunjukkan bahwa mereka sengaja
melakukannnya, bukan spontanitas.
Menyamakan
bendera tauhid dengan alquran yang tercecer tidaklah tepat. Seandainya mereka
ingin menyelamatkan kalimat tauhid agar tidak terinjak, maka tidak perlu dengan
membakarnya. Seharusnya, cukup melipat dan menyimpannya di tempat yang aman. Pembakaran
bendera tauhid dengan sengaja dihadapan khalayak ramai, apalagi dengan bangga
dan gembira, menunjukkan kebencian dan permusuhan Banser terhadap HTI. Tentu
saja perbuatan para anggota Banser tersebut bukan menjaga dan menghormati
kalimat tauhid, namun perbuatan mereka ini justru melecehkan kalimat dan
bendera tauhid.
Bagaimanapun
juga, bendera yang bertuliskan kalimat tauhid wajib dijaga dan dimuliakan.
Dengan kalimat tauhid inilah seseorang diakui sebagai muslim. Maka, menjaga dan
memuliakan kalimat tauhid merupakan kewajiban seorang muslim dan bukti
keislamannya. Selain itu, kalimat tauhid merupakan ruh bagi seorang muslim. Ia
hidup dan mati dengannya. Karena itu, membakar bendera tauhid sama saja
melecehkan kalimat tauhid dan bendera Rasulullah Saw. Inilah penodaan agama
yang sebenarnya.
Pendapat
Para Pakar Hukum Pidana
Ketua
Umum Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI), Chandra Purna Irawan seperti yang diberitakan arrahmah.com
(23/10/2018) menyatakan bahwa pembakaran bendera
tauhid oleh anggota Banser Garut telah memenuhi unsur tindak pidana penodaan
agama. Menurutnya, ketentuan
Pasal 156a KUHP terdapat dua jenis tindak pidana penodaan agama. Yaitu Pasal
156a huruf a KUHP dan Pasal 156a huruf b KUHP, apabila terpenuhi salah satu
bentuk unsur dari huruf a maupun huruf b saja, maka pelakunya sudah dapat
dipidana.
Ia
memaparkan, unsur pertama yang terpenuhi adalah unsur dengan sengaja. Dalam hal
ini, unsurnya cukup ungkapan perasaan yang dapat kita lihat, diikuti dengan
perbuatan pembakaran sebagai ungkapan perbuatan dengan sengaja, maka perbuatan
pembakaran bendera tauhid telah memenuhi unsur ini. Unsur kedua yang terpenuhi
adalah unsur dimuka umum. Perbuatan oknum anggota ormas Banser yang melakukan
pembakaran di alun-alun/lapangan, kata dia, sudah memenuhi unsur di muka umum.
Karena yang dimaksud muka umum adalah cukup perbuatan itu dapat dilihat atau di
dengar oleh pihak ketiga, meskipun hanya satu orang saja atau perbuatannya
(diketahui publik) atau tempat itu dapat didatangi orang lain atau
diketahui/didengar publik. (www.arrahmah.com,
23/10/2018)
Hal yang sama disampaikan oleh ahli hukum pidana
Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Dr. Mudzakkir, SH dalam tulisannya di hidayatullah.com
(7/11/2018) berjudul “Membakar Bendera Tauhid Bukan Penodaan Agama?”.
Ia menegaskan, bahwa pembakaran bendera tauhid ini telah memenuhi tindakan
pidana penodaan agama. Unsur-unsur tindak pidana penodaan agama terhadap
perbuatan pembakaran bendera tauhid yaitu a)dengan sengaja di muka umum; b) mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan; c)yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Menurutnya, analisis unsur-unsur terhadap perbuatan
pembakaran bendera tauhid jelas dilakukan secara sengaja yang intinya pelaku
pembakar mengetahui bahwa membakar bendera yang bertuliskan tauhid adalah tidak
dibolehkan dan perbuatan mengambil korek api dan menyulutkannya pada bendera
yang bertuliskan kalimat tauhid dan bahan yang mudah terbakar lainnya adalah
perbuatan sengaja membakar bendera tauhid. Perbuatan tersebut dilakukan di
lapangan yang dihadiri banyak orang. Melakukan perbuatan membakar bendera
bertuliskan kalimat tauhid tersebut sebagai simbol yang saat itu dikibarkan
dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional, dan tulisan tauhid pada bendera
tersebut adalah memuat inti dari atau pokok dalam ajaran Islam. (www.hidayatullah.com, 7/11/2018)
Demikian
pula yang disampaikan oleh ahli hukum pidana dan sekaligus anggota Komisi Hukum
dan Perundang-undangan MUI Pusat, Dr. Abdul Chair Ramadhan seperti yang dikutip
hidayatullah.com (25/10/2118). Ia
menilai, pembakaran bendera bertuliskan tauhid oleh oknum Banser NU merupakan
tindakan melanggar hukum dan berdampak kepada kebencian. Pembakaran tersebut
merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP yang
berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa
yang sengaja di muka umum mengeluarkan perasaaan atau melakukan perbuatan yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama di Indonesia.” (www.hidayatullah.com,
25/10/2018)
Demikianlah
bantahan penulis dan para pakar hukum pidana Indonesia terhadap syubhat-syubhat
yang dikemukakan oleh GP Ansor NU dan PBNU serta pendukungnya dalam membenarkan
pembakaran bendera tauhid. Apapun alasan mereka, tidak bisa diterima secara
akal sehat maupun agama. Dengan demikian, jelaslah bahwa perbuatan pembakaran
bendera tauhid oleh Banser adalah penodaan agama. Maka, para pelaku harus
dihukum dengan pasal 156a KHUP tentang penodaan agama. Tidak boleh dihukum
dengan pasal lain yang lebih ringan sanksinya dari pasal penodaan agama !.
Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh,
Pengurus Dewan Dakwah Aceh dan
Anggota Ikatan Ulama & Da’i Asia Tenggara. Doktor bidang Fiqh dan Ushul Fiqh pada International
Islamic University Malaysia (IIUM).