Keuchik
Ramli, begitu akrab disapa, pria paruh baya ini hampir saban minggu mengisi
kegiatan Seumapa (suatu adat istiadat
di Aceh saat penyambutan antar Linto) di pesta-pesta walimatul ursy di kawasan
Aceh Besar dan Banda Aceh. Panggilan lakap Keuchik untuknya karena ia pernah
menjabat sebagai keuchik (Kepala Desa-red)
Gampong Lamtui, Kuta Cot Glie, Aceh Besar tahun 2006 hingga 2012. Hari-harinya
dihabiskan dengan kegiatan berkebun dan bertani yang berjarak beberapa ratus
meter dari kediamannya. Redaksi Lamuri sempat berkunjung ke kebun lelaki kelahiran Lamtui, 28 Juli 1960 ini beberapa
waktu lalu sekedar bercengkrama dan melihat-lihat hasil kebunnya yang dipenuhi
dengan bak bakong (tembakau), bunga kol, sayur-sayuran hijau dan umbi-umbian.
Di samping itu, saban sore hari, Keuchik Ramli berganti kostum sekedar memotong
rumput untuk beberapa ekor sapi yang dipeliharanya di kandang kebun.
Rutinitas
sebagaimana kehidupan desanya terus ia lakoni. Namun jangan salah, ia punya
segudang prestasi dan penghargaan di bidang sastra dan seni tradisi Aceh yang
telah lama ia geluti dan lestarikan.
Selain
itu, Keuchik Ramli pernah menjabat sebagai sekretaris termuda di usianya pada
tahun 1986 hingga 2004. Pria yang enggan dipanggil “Syeh” ini mulai menempuh
pendidikan di MIN Lampaku dan tamat tahun 1974. Pendidikan ia lanjutkan ke SMP
Indrapuri, selesai tahun 1977 dan masuk SMA Indrapuri dan tamat tahun 1982
jurusan IPS. Masa SMA Kelas 2 ia dipercaya menjadi Ketua Kelas yang membuktikan
kemampuannya untuk memimpin.
Tahun
1977, Keuchik Ramli masuk ke Pesantren Ruhul Islam Lamkareung untuk
medalami ilmu agama. Sebagai orang yang dituakan saat ini menjabat sebagai Tuha
Peut Gampong Lamtui serta Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kecamatan Kuta Cot
Glie. Di bidang pendidikan ia juga bertindak selaku Komite MAS Kuta Cot Glie.
Sementara di bidang seni ia dipercayakan sebagai Wakil Ketua Senitari di Dewan
Kesenian Aceh (DKA) Kabupaten Aceh Besar. Lelaki sederhana ini juga pernah
menjadi Sekretaris P3A Blang Lamkareung dan memperoleh sertifikat PU Provinsi
Aceh tahun 1995 serta menjadi Wakil Ketua Pantarlih Desa pada tahun 1997.
Mengenai
hobinya dalam bidang seni sastra Aceh, lelaki yang kesehariannya memakai kopiah
hitam khas Aceh dan baju batik ini dimulai sejak kecil. Ia dan beberapa
rekannya sering mendendangkan Dalael Khairat dan Dike Aceh di gampong-gampong
yang ada di Kuta Cot Glie. Setelah berjumpa dengan Seniman Tradisi Aceh, Medya
Hus, ia terus mengasah kemampuan dalam syair spontan atau yang biasa dikenal
Ca’e Aceh.
Dok. Septiawan |
Kecintaannya
di bidang seni tutur tradisi terus berlanjut hingga sekarang. Di setiap
perhelatan budaya ia selalu ikut serta, terutama seni Seumapa yang akhir-akhir ini kembali hidup di masyarakat saat
tradisi antar linto berlangsung bersama rekan se profesinya, Septiawan yang
berasal dari kecamatan yang sama.
Seni
tradisi Aceh, menurutnya merupakan bagian yang harus dilestarikan secara
berkesinambungan, dari generasi ke generasi agar tidak hilang dikikis zaman. (red)