Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA
Kemunkaran
adalah segala bentuk kemaksiatan terhadap Allah Swt baik berupa
meninggalkan suatu kewajiban syariat, atau melakukan segala yang dilarang oleh
syariat seperti korupsi, khalwat, berjudi, minum
minuman keras, menipu, menfitnah, menampakkan
aurat,
pergaulan bebas seperti ikhtilath, pacaran/khalwat, berboncengan
antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, joget/goyang, musik dan lagu, zina, LGBT, dan sebagainya,
maupun melakukan penyimpangan aqidah, ibadah dan tauhid seperti perbuatan bid’ah, ajaran sesat, syirik, perdukunan, khurafat dan sebagainya.
Selama ini
berbagai kemunkaran terjadi di sekitar kita, namun kita tidak mencegah atau
melarangnya. Kemunkaran pergaulan bebas seperti pacaran,
joget/goyang dengan musik/lagu, dan berboncengan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram sudah merajalela.
Namun,
tidak ada seorangpun yang melarangnya. Begitu pula tidak ada aturan yang
memberi sanksi atas pelanggaran syariat ini. Padahal perbuatan itu maksiat dan
pelanggaran syariat secara terang-terangan. Bahkan menjadi sumber maksiat.
Maksiat ini jalan menuju maksiat lain seperti zina dan khalwat. Pacaran,
joget/goyang dengan musik atau lagu dan berboncengan antara laki-laki dan
wanita yang bukan mahram menjadi suatu trend dan ramai diminati.
Hal ini dikarenakan kemunkaran tersebut tidak dilarang dan tidak pula dihukum
pelakunya sehingga menjadi hal biasa.
Selain itu, kemunkaran berupa
keyakinan/perbuatan syirik, bid’ah, khurafat perdukunan, dan sebagainya banyak
terjadi di mana-mana. Bahkan kemunkaran ini sudah menjadi tradisi. Begitu pula
kemunkaran berupa paham/aliran sesat seperti Syi’ah, Sekulerisme, Liberalisme,
Pluralisme, Gender dan sebagainya. Semua kemunkaran ini merajalela dalam
masyarakat tanpa ada upaya dari pemimpin dan masyarakat dalam mencegah dan
memberantasnya. Kalaupun ada, hanya sedikit orang yang peduli persoalan ini
dengan cara melarang dan memberantas kemunkaran tersebut.
Kewajiban
Mencegah Kemunkaran
Setiap
muslim wajib melaksanakan amar ma’ruf (menyeru berbuat kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemunkaran)
sesuai kemampuannya. Allah Swt berfirman: “Dan
hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyeru
(berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah daripada yang munkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104). Imam Al-Hafiz
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Maksud ayat ini yaitu harus ada
sekelompok dari umat ini yang melakukan tugas dakwah, meskipun sebenarnya dakwah
itu merupakan kewajiban bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya.” (Tafsir
Ibnu Katsir: 1/361).
Rasulullah
Saw bersabda:“Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika
tidak sanggup, maka ubah dengan lisan. Jika tidak sanggup, maka dengan hati.
Yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Hadits
ini menjelaskan bahwa setiap muslim wajib mencegah kemunkaran
sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik dengan tangan, lisan ataupun
hatinya.
Rasulullah saw juga bersabda, “Demi
jiwaku dalam genggaman Allah, kalian benar-benar mau melaksanakan amar ma’ruf
dan nahi munkar atau (kalau tidak) Allah akan menimpakan kepada kalian siksa
dari-Nya, lalu kalian memohon doa kepada Allah maka Dia tidak akan
menerimanya.” (HR. At-Tirmizi dan Ibnu Majah).
Berdasarkan Al-Quran dan Hadits
di atas, maka para ulama sepakat mengatakan bahwa melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi nunkar hukumnya wajib kifayah sesuai kemampuannya. Maknanya,
kewajiban ini terbebas jika telah dilakukan oleh sekelompok orang dari umat
Islam. Meskipun demikian, kewajiban ini bisa menjadi wajib
a’in bila tidak ada orang yang melaksanakannya di suatu masyarakat atau
kampung. Maknanya,
setiap individu berdosa jika dia melihat kemunkaran, namun tidak mencegah atau
melarangnya.
Melaksanakan
amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu sifat orang
mukmin.
Allah Swt berfirman: “Orang-orang
yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah.”(At-Taubah:
71).
Imam Ibnu
Katsir menjelaskan ayat ini dengan perkataannya, “Ketika Allah swt menyebutkan
sifat-sifat orang-orang munafik yang tercela (pada ayat-ayat sebelumnya), maka
Allah swt mengiringinya dengan menyebutkan sifat-sifat orang-orang mukmin yang
terpuji (dengan ayat ini).” (Tafsir Ibnu katsir: 2/345). Di sini Imam
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah Swt telah menjadikan amar ma’ruf dan
nahi munkar sebagai pembeda antara orang mukmin dan munafik. Dengan
demikian, hal ini menunjukkan bahwa di antara ciri-ciri orang-orang yang
beriman adalah amar ma’ruf dan nahi munkar.
Oleh karena itu, Allah Swt memuji umat Islam sebagai umat yang terbaik karena mereka melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Inilah
karakterestik umat Islam dan keutamaan umat Islam atas
umat lainnya. Allah swt berfirman: “Kamu (umat Islam)
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh
(berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar”. (Ali Imran: 110).
Dalam kitab
tafsirnya “Taisir Karim Ar-Rahman fii Tafsir Kalam Al-Mannan” Syaikh
As-Sa’di menjelaskan ayat ini, “Allah Swt memuji umat ini dan memberitahukan
bahwa umat ini merupakan umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Hal
ini dikarenakan mereka telah memenuhi kebutuhan untuk diri mereka dengan iman
yang mewajibkan mereka menjalankan segala perintah Allah dan memenuhi kebutuhan
untuk selain mereka dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar yang mencakup
dakwah manusia kepada Allah dan jihad mereka atas dakwah tersebut dan usaha
gigih mereka dalam menolak kesesatan dan kemaksiatan mereka. Maka dengan
inilah mereka menjadi umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Ketika ayat sebelumnya “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang
menyeru kepada kebaikan, menyeru (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah daripada
yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104) merupakan perintah Allah Swt kepada umat
ini untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan perintah itu
bisa jadi dilaksanakan oleh orang yang diperintah dan bisa jadi tidak
dilaksanakan, maka Allah Swt mengabarkan dalam ayat ini bahwa umat ini telah
melakukan apa yang telah Allah Swt perintahkan untuk dilakukan, dan umat ini
telah mematuhi perintah Tuhan-Nya dan berhak mendapat keutamaan dari semua umat
manusia.” (Taisir Karim Ar-Rahman fii Tafsir Kalam Al-Mannan: 172).
Setiap pemimpin wajib menegakkan syariat Islam dan
melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Inilah tugas seorang
pemimpin. Allah berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang jika kami beri
kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali
segala urusan.” (Al-Hajj: 41). Syaikh Dr. Ali Abdul Halim Mahmud berkata:
“Mencegah dari kemunkaran dalam ayat tersebut adalah salah satu dari empat amal
perbuatan yang wajib dilakukan oleh mereka yang diberikan kekuasaan dan
kepemimpinan di muka bumi, dengan agama, manhaj, dan sistem Allah Swt.”
(Fikih Responsibilitas, hal. 123).
Allah Swt
melaknat orang-orang yang tidak mau melakukan amar ma’ruf dan nahi
munkar sebagaimana yang pernah menimpa bani Israil. Allah Swt berfirman, “Orang-orang
kafir dari Bani Israil telah dilaknat dengan lisan (ucapan) Daud dan Isa putra
Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Mereka tidak saling mencegah perbuatan munkar yang selalu mereka perbuat.
Sungguh, sangat buruk apa yang selalu mereka perbuat. (Al-Maidah: 78-80).
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan ayat ini, “Laknat adalah
tercegah dan dijauhkan dari rahmat Allah, wal ‘iyaz billah (semoga Allah
Swt menjauhkannya dari kita), dan tidak ada yang berhak mendapat laknat Allah
melainkan orang yang melakukan dosa besar. Ayat ini merupakan dalil kewajiban mencegah
kemungkaran (nahi munkar). Meninggalkan nahi munkar merupakan
sebab dilaknat dan dijauhi dari rahmat Allah. (Syarah Riyadhus Shalihin:
2: 412-413)
Mencegah
Kemunkaran Sesuai Kemampuan
Setiap
muslim wajib mencegah kemunkaran sesuai dengan kemampuannya masing-masing, baik dengan tangan, lisan ataupun hatinya seperti yang
disebutkan dalam hadits Nabi saw dalam hadits di atas.
Seorang pemimpin wajib mencegah kemunkaran dengan
kekuasaannya. Seorang ulama, cendikiawan, ustaz dan
da’i wajib mencegah kemunkaran lewat khutbah, ceramah dan pengajian/pengajaran. Begitu pula lewat tulisan, baik artikel dan maupun
buku. Bila tidak mampu mencegah kemunkaran dengan dengan tangan dan lisan, maka kewajiban
seorang muslim mencegahnya dengan hati. Maknanya, membenci kemunkaran tersebut. Ini tingkatan
paling rendah dari iman seseorang.
Setiap muslim tentu saja mampu untuk
mencegah kemunkaran sesuai dengan kondisi dan kemampuannya masing-masing.
Paling tidak, dengan membenci dan mengingkari kemunkaran dengan hatinya. Sikap ini bisa dilakukan oleh setiap muslim, karena tidak ada kesulitan dan resiko sedikitpun. Oleh karena itu,
mengingkari kemunkaran dengan hati itu hukumnya fardhu‘ain. Itu sebabnya Rasulullah menyebutkan tingkatan mengingkari
kemunkaran dengan hati itu merupakan tingkatan iman yang paling lemah. Dengan demikian,
mencegah kemungkaran dengan tangan, lisan dan hati merupakan bukti keimanan
seseorang. Bila tidak, berarti imannya sudah mati karena terkena virus ajaran
sesat atau syirik yang mematikan imannya atau sakit karena maksiat yang
dilakukan sehingga tidak ada rasa peduli dan respon terhadap maksiat di sekitarnya.
Syaikh Dr.
Mushthafa Dieb Al-Bugha berkata: “Mampu mengetahui hal-hal yang ma’ruf dan
mengingkari hal-hal yang munkar melalui hati merupakan fardhu ‘ain bagi
setiap individu muslim, dalam kondisi apapun. Adapun yang dikatakan lemah atau
tidak mampu adalah kondisi di mana dimungkinkan jika ia mengingkari kemunkaran
dengan tangan atau lisan adanya suatu bahaya yang akan menimpa dirinya atau
hartanya, dan ia tidak mampu menanggung itu semua. Jika kemungkinan
ini tidak ada, maka tetap diwajibkan untuk memberantas kemunkaran dengan tangan
atau lisan. (Al-Wafi, hal. 291).
Mengingkari
kemungkaran dengan hati hanya bisa dilakukan jika seseorang tidak mampu memberantas kemunkaran dengan tangan
atau lisan. Namun jika dia mampu mengingkari kemungkaran dengan tangan dan
lisannya, maka itulah yang terbaik sebagaimana perintah Rasulullah saw dalam
hadits di atas. Ibnu Mas’ud r.a berkata: “Mungkin di antara kalian ada
mengetahui kemunkaran, tapi ia tidak mampu memberantasnya. Ia hanya bisa
mengadu kepada Allah
Swt bahwa ia benci kemunkaran itu.” (al-Wafi,
hal. 291).
Meridhai perbuatan kemunkaran hukumnya
dosa besar sama seperti melakukan kemunkaran tersebut. Diriwayatkan dari Al-Urs
bin ‘Umair ia berkata, Nabi Saw bersabda: “Jika satu kemaksiatan dilakukan
di muka bumi, maka orang yang melihatnya tapi membencinya, seperti orang yang
tidak mengetahuinya. Sedangkan orang yang mendengar dan merestuinya, ia seperti
orang yang melihatnya.” (HR. Abu Daud).
Syaikh Mushthafa al-Bugha berkata,
“Barangsiapa yang mengetahui perbuatan kemunkaran, dan ia ridha terhadap kemunkaran
tersebut, maka dia telah melakukan dosa besar, baik dia melihat secara langsung
atau mendengar , sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Ini tidak lain
karena ia telah ridha terhadap suatu kemunkaran berarti tidak mengingkari kemunkaran
tersebut, meskipun dengan hati. Padahal mengingkari kemunkaran dengan hati
hukumnya fardhu ‘ain, sedangkan meninggalkan
fardhu ‘ain itu termasuk dosa besar. (al-Wafi, hal. 292).
Mengingat amar
ma’ruf dan nahi munkar merupakan kewajiban bagi setiap muslim sesuai
dengan kemampuan, maka tidak ada alasan bagi kita meninggalkan kewajiban ini. Terlebih lagi meninggalkan amar ma’ruf dan nahi
munkar bisa berdampak buruk terhadap individu, masyarakat, bahkan negara
dengan turunnya azab atau bencana dari Allah Swt. Selama ini berbagai bencana
yang menimpa bangsa kita datang silih berganti bagaikan siang dan malam. Mulai
bencana kebakaran, banjir, longsor, gunung meletus sampai bencana tsunami yang
sangat dasyat. Berbagai bencana yang menimpa bangsa kita ini akibat kita meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar
sehingga maksiat merajalela. Maksiat yang merajalela inilah yang mengundang
datangnya bencana atau azab dari Allah Swt sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Quran dan Hadits.
Akhirnya,
mari kita ambil pelajaran dan hikmah dari bencana alam
yang selalu menimpa bangsa kita dengan selalu bertaubat dan beristighfar serta bertakwa kepada Allah Swt. Berbagai bencana yang selama ini menimpa
bangsa kita mesti dipahami sebagai peringatan dan azab dari Allah Swt, agar kembali
kepada jalan yang benar (Islam), meninggalkan maksiat dan senantiasa
melaksanakan syariat Allah Swt. Kita mesti takut dan waspada terhadap azab
Allah Swt yang datang secara tiba-tiba akibat maksiat yang kita lakukan yang
bisa menimpa semua orang, baik pelaku maksiat maupun orang baik. Semoga kita bisa
mengambil pelajaran dan selalu berkomitmen dalam mengamalkan syariat, khususnya melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual dan
Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, pengurus Dewan Dakwah Aceh & anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.