Oleh:
Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Tak terasa kita berada di penghujung
tahun 2018. Sebentar lagi kita memasuki tahun baru 2019. Sudah menjadi tradisi pada
setiap pergantian tahun baru Masehi banyak orang di Indonesia bahkan di
berbagai belahan dunia sibuk mengucapkan selamat tahun baru, menyambut dan
merayakannya. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang menganut berbagai macam
agama dan kepercayaan, tak terkecuali orang Islam. Hal ini terlihat dari
perilaku sebahagian umat Islam yang mengenakan atribut tahun baru dan bersiap-siap
menyambut dan merayakan tahun baru dengan berbagai cara, baik dengan berkumpul
di suatu tempat, meniup terompet,
membakar mercon, kembang api dan lilin, dan sebagainya. Menyambut dan merayakan tahun baru Masehi
sudah menjadi rutinitas dan tradisi dari berbagai agama dan kepercayaan.
Parahnya, sebahagian umat Islam ikut-ikutan
merayakan tahun baru Masehi setiap tahunnya seperti yang dilakukan oleh orang kafir.
Padahal, tradisi atau budaya merayakan tahun baru bukan berasal dari Islam dan
bukan pula budaya umat Islam. Merayakan tahun baru merupakan bagian ritual atau
ibadah agama Romawi kuno penyembah dewa-dewa (paganis) dan budaya orang-orang
kafir. Bahkan ada juga yang berpendapat perayaan tahun baru itu untuk merayakan
hari kelahiran Yesus yang diyakini oleh sebagian orang pada tanggal 1 Januari.
Selain pengagungan terhadap dewa
Janus (Tuhan agama Romawi Kuno) dan Yesus, dalam perayaan tahun baru umat Islam
mengamalkan ritual tiga agama kafir sekaligus. Nasrani menggunakan lonceng
untuk memanggil jama’ahnya ketika beribadah. Yahudi menggunakan terompet untuk
memanggil jama’ahnya ketika beribadah. Majusi menggunakan api untuk memanggil
jama’ahnya ketika beribadah. Oleh karena itu, perayaan tahun baru itu dilakukan
dengan meniup terompet, membunyikan lonceng, dan membakar mercon dan kembang
api, membakar lilin dan sebagainya. Ini semua merupakan ritual tiga agama kafir.
Inilah bahaya merayakan tahun baru bagi keimanan dan aqidah seorang muslim.
Budaya impor dari agama-agama kafir
ini ini bagaikan penyakit yang telah mewabah dalam diri umat Islam yang ikut-ikutan
mengikutinya tanpa memahami persoalan ini. Maka tulisan ini bertujuan untuk
mengkritisi dan menjelaskan hukum mengucapkan selamat, menyambut dan merayakan
tahun baru Masehi dalam tinjauan syariat Islam.
Sejarah Lahirnya Perayaan Tahun Baru
Sejarah perayaan tahun baru Masehi
bermula dari ritual masyarakat Romawi Kuno yang mengkultuskan Dewa Janus.
Dalam tradisi Romawi kuno, dewa Janus
diyakini memiliki dua wajah, satu wajah menghadap ke depan dan yang satunya
lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya
moment pergantian tahun. Penamaan bulan Januari sendiri diambil dari nama dewa
Janus.
Berikut kutipan lengkap dari the World
Book Encyclopedia tahun 1984, volume 14, halaman 237: “The roman ruler
Julius Caisar established January 1 as New Year’s Day in 46 BC. The Romans
dedicated this day to Janus, the god of gates, doors, and beginnings. The month
of January was named after Janus, who had two faces – one looking forward and
the other looking backward.” (Penguasa Romawi Julius Caisar menetapkan 1
Januari sebagai permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 Sebelum Masehi (SM). Orang
Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang,
pintu-pintu dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus
sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah, sebuah wajahnya menghadap ke
(masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu).
Fakta ini menyimpulkan bahwa
perayaaan tahun baru bukan berasal dari ajaran Islam dan bukan pula budaya kaum
muslimin. Perayaan tahun baru pertama kali dirayakan oleh orang-orang kafir Romawi
atau kaum paganis Romawi. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa perayaan tahun
baru merupakan ritual/peribadatan agama kafir Romawi kuno dalam mengangungkan
dewa Janus. Penamaan Januari sendiri diambil dari nama Janus.
Ada juga yang berpendapat bahwa
hari kelahiran Yesus itu tanggal 1 Januari, bukan tanggal 25 Desember seperti
yang diperingati oleh sebahagian besar orang Kristen saat ini. Oleh karena itu,
tahun penanggalan tersebut disebut Masehi, atau masehiah atau al-Masih. Merayakan
tahun baru Masehi berarti merayakan hari kelahiran Yesus yang diyakini sebagai
anak tuhan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
perayaan tahun baru Masehi bukan ajaran Islam. Perayaan malam tahun baru pada
hakikatnya adalah ritual para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang
nasrani ataupun agama lainnya. Sejak masuknya agama Nasrani ke Eropa, beragam
budaya paganis (keberhalaan) masuk dalam ajaran tersebut. Salah satunya adalah
perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal
25 Desember yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir
Nabi Isa as.
Oleh karena itu, penulis sangat
menyanyangkan fenomena perayaan tahun baru Masehi yang dilakukan oleh
sebahagian umat Islam di Indonesia maupun di berbagai negara Islam lainnya. Merayakan
tahun baru Masehi sama saja meniru dan mengikuti hari perbuatan orang-orang
kafir dalam merayakan hari raya atau ritual agama mereka. Perbuatan ini
bertentangan dengan ajaran Islam. Terlebih lagi persoalan ini menyangkut
persoalan aqidah yang tidak boleh dicampur adukkan antara kebenaran agama Islam
dengan kesyirikan dan kebatilan agama kafir.
Hukum Merayakan Tahun Baru
Merayakan tahun baru Masehi sama
saja merayakan hari raya orang kafir. Maka hukumnya haram. Inilah fatwa para
ulama sedunia sejak dulu sampai hari ini. Alasannya yaitu:
Pertama; Allah Swt melarang kita meniru dan mengikuti hari
raya dan ritual agama selain Islam. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang melarang
dan mengecam tersebut. Allah Swt berfirman: “Janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati
nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 36). Allah
Swt juga berfirman: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela
kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka…” (Al-Baqarah:
120). Allah Swt juga berfirman: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”.
(Al-Kafirun: 6)
Kedua;mengikuti hari raya
orang kafir termasuk loyalitas dan menampakkan rasa kasih sayang kepada mereka.
Padahal Allah Swt melarang umat Islam untuk memberikan loyalitas kepada
orang-orang kafir dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah Swt
berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanah: 1) Allah Swt juga
berfirman: “Kamu tidak mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadalah: 22).
Ketiga; Rasulullah saw
melarang umat Islam untuk meniru dan mengikuti hari raya atau ritual agama selain
Islam. Beliau mengancam bagi pelakunya dengan ancaman dikeluarkannya dari
golongan Nabi saw. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”. (HR. Ahmad dan Abu
Daud). Rasulullah saw juga bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang
yang menyerupai diri dengan selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi dan
Nasrani..” (HR. At-Tirimizi).
Abdullah bin Amr bin Ash berkata:
“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mahrajan
(keduanya hari raya Majusi), dan meniru kebiasaan mereka sampai mati, maka dia
menjadi orang yang rugi pada hari Kiamat.
Keempat; Memperingati dan merayakan
tahun baru dengan ibadah-ibadah tertentu merupakan perbuatan bid’ah yang
dilarang dalam agama Islam. Rasulullah saw mengancam amalan pelaku bid’ah
ditolak. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu
dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang tidak ada dasar daripadanya, maka
amalannya tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat imam Muslim,
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (agama) yang
bukan berasal dari petunjuk kami maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim).
Bahkan Rasulullah saw mengancam
perbuatan bid’ah sebagai bentuk kesesatan. Rasulullah saw bersabda: “Wajib
atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin
yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah erat sunnah tersebut. Gigit dengan
gigi geraham. Dan hendaklah kalian menjauhi hal-hal baru (dalam agama), karena
sesungguhnya setiap hal baru itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.”
(HR. Ahmad,
Abu Daud, Ibnu
Majah dan At-Tirmizi). Rasulullah saw juga
bersabda, “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan itu adalah kitab Allah
(Al-Quran). Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara(dalam
agama) adalah perkara yang diada-adakan
(bid’ah), dan setiap
bid’ah itu adalah
kesesatan.” (HR. Muslim).
Kelima; Selain melakukan maksiat berupa meniru atau mengikuti
ritual agama kafir yang membahayakan aqidah seorang muslim, baik dengan meniup
terompet, membakar mercon dan lilin dan lainnya, perayaan tahun baru juga
biasanya diiringi dengan berbagai maksiat lainnya. Di
antara maksiat yang dilakukan pada malam tahun baru yaitu mabuk-mabukkan, ikhtilath
(percampuaran laki-laki dan perempuan tanpa batasan), pergaulan bebas sampai
perzinaan.
Pendapat Ulama
Para ulama telah berijma’
(sepakat) mengatakan bahwa mengucapkan selamat terhadap hari raya atau ritual
orang kafir hukumnya haram. Terlebih lagi, ikut mendukung, membantu atau
merayakannya maka hukumnya haram.
Imam Ibnu Al-Qayyim (wafat 751
H), salah seorang ulama mazhab Ahmad bin hambal, mengatakan: “Adapun
mengucapkan selamat terhadap simbol-simbol kekafiran yang merupakan ciri
khususnya, maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti
seseorang mengucapkan selamat terhadap hari raya orang kafir dan puasa mereka,
misalnya ia mengatakan semoga hari raya ini berkah bagimu, atau semoga engkau
bahagia dengan hari raya ini, dan yang semisalnya. Maka dengan ucapannya ini,
andai ia selamat dari kekafiran maka ia tidak akan lepas dari perbuatan yang
haram.” (Ahkaam Ahli Dzimmah: 1/441).
Beliau juga berkata: “Sebagaimana
tidak boleh bagi kaum musyrikin untuk menampakkan perayaan mereka, demikian
pula tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mendukung, membantu dan ikut hadir
dalam perayaan mereka berdasarkan kesepakatan ahlul ilmi (ulama) yang
benar-benar ahli. Dan para ahli Fiqh telah menegaskan haramnya dalam buku-buku
mereka.” (Ahkaam Ahli Dzimmah: 2/1245).
Imam Al-Buhuti dalam kitabnya Kasyful Qina’
‘an Matnil Iqna’ mengatakan: “Haram
mengucapkan selamat, takziah (mengunjungi orang mati), iyadah (menjenguk
orang sakit) kepada kepada orang-orang kafir, karena itu berarti mengangungkan
mereka meneyerupai (mengucapkan) salam. Boleh menjenguk orang sakit dari orang
kafir apabila diharapkan Islamnya dan hendaknya mengajaknya masuk Islam. Karena
dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi pernah menjenguk seorang Yahudi masuk
Islam dan mengajaknya masuk Islam, lalu si Yahudi masuk Islam, lalu ia berkata:
“Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan akau dari neraka.” Dan karena
menjenguk orang sakit itu termasuk akhlak mulia. Dan haram hukumnya menghadiri
hari raya orang Yahudi, Nasrani dan hari raya orang-orang kafir lainnya dan
haram menjual (kebutuhan mereka) pada hari itu, karena hal itu termasuk
mengagungkan mereka sehingga hal ini menyerupai memulai uacapan salam.”
(Kasyful Qina’: 3/131)
Imam Asy-Syarbaini (wafat 977
H), salah seorang ulama mazhab Syafi’i, mengatakan: “Dan diberi hukuman ta’zir
seorang yang mengikuti orang-orang kafir dalam merayakan hari raya mereka.
Begitu pula orang yang memberikan ucapan selamat kepada seorang kafir dzimmi di
hari rayanya.” (Mughni Muhtaj: 5/526).
Bahkan lebih tegas lagi lagi Imam
Ibnu hajar Al-Haitsami (wafat 982 H), salah seorang ulama mazhab Syafi’i, mengatakan:
“Kemudian aku melihat sebahagian ulama mu’taakkhirin menuturkan pendapat yang
sama denganku, lalu ia berkata: termasuk bid’ah terburuk adalah persetujuan
muslim pada nasrani pada hari raya mereka dengan menyerupai dengan makanan
mereka dan hadiah dan menerima hadiah pada hari itu. Kebanyakan orang yang melakukan
itu adalah kalangan orang Mesir. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.” Bahkan Ibnu Al-Hajj
mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang nasrani
apapun termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, lauk atau baju. Dan mereka
tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan
tunggangan, karena itu menolong kekufuran mereka. Dan bagi pemerintah hendaknya
mencegah umat Islam atas hal itu, salah satunya adalah hari raya Nairuz (hari
raya majusi), dan wajib menampakkan diri pada hari raya mereka.” (Al-Fatawa
al-Fiqhiyyah: 4/238-239)
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin berkata: “Memberikan selamat kepada orang-orang kafir dalam
perayaan natal atau perayaan agama merek ayang lainnya adalah haram menurut
kesepakatan ulama.” (Majmu’ Al-Fatawa wa Rasaail: 3/45)
Demikian di antara pendapat atau
fatwa para ulama sejak dulu sampai hari ini yang mengharamkan mengucapkan
selamat hari raya agama kafir dan merayakannya. Dalam masalah ini para ulama
dulu tidak ada khilafiah (perbedaan pendapat).
Umat Islam sebaiknya tidak membuat acara apapun pada malam
pergantian tahun baru, kegiatan keagamaan seperti yasinan, pengajian, zikir
akbar dan sejenisnya pada malam tahun baru Masehi. Meskipun
acara tersebut baik, namun perlu dihindari pada bersamaan malam tahun baru,
agar tidak terkesan perbuatan tersebut merayakan tahun baru Masehi. Hal ini
sesuai dengan pengamalan kaidah Fiqh: “Dar’u al-mafaasid muqaddam min jalbi
al-mashaalih” (meninggalkan keburukan lebih diutamakan daripada
mendatangkan kemaslahatan). Dalam hal ini, merayakan tahun baru merupakan mafasid
(keburukan) yang mesti ditinggalkan, meskipun diisi dengan acara keagamaan
atau ibadah. Hal ini termasuk perbuatan merayakan tahun baru.
Terlebih lagi mengkhususkan
ibadah atau meyakini keutamaan ibadah tertentu pada waktu malam tahun baru
tanpa dalil yang shahih adalah perbuatan bid’ah yang dilarang dalam agama. Selain
itu juga agar perbuatan tersebut terkesan mencampuradukkan antara kebenaran dan
kebatilan. Hal ini dilarang dalam Islam. Ibadah memang baik untuk
dikerjakan, namun dengan tujuan memperingati atau merayakan tahun baru itu
kebatilan. Karena merayakan tahun baru itu sendiri kebatilan. Allah Swt juga
berfirman: “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan
(janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.”
(Al-Baqarah: 42). Allah Swt juga berfirman: “Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang
yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82).
Akhirnya, penulis menghimbau agar
umat Islam tidak menyambut dan merayakan tahun baru dengan cara apapun, baik
dengan meniup terompet, membakar mercon, kembang api dan lilin, dan sebagainya,
maupun dengan melakukan kegiatan keagamaan dan ibadah khusus pada malam tahun
baru.
Karena semua ini termasuk perayaan tahun baru. Semoga kita selalu diberi petunjuk
dan dijaga oleh Allah Swt dari segala bentuk kesesatan dan kebatilan. Amin..!
Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda
Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Anggota Rabithah Ulama dan Da’i
Asia Tenggara, Dosen Fakultas
Syari’ah UIN Ar-Raniry.