Oleh Sri Suyanta Harsa
ilustrasi |
Muhasabah 20 Rabiul Awal 1441
Saudaraku, terhadap orang yang barusaja meninggal dunia terdapat dua kata yang sering dirasakan oleh orang-orang yang masih hidup, tetapi maknanya berlawanan satu dengan lainnya, yakni wafatnya ditangisi oleh banyak orang yang merasa kehilangan karena kebaikannya versus kematiannya "disyukuri" lantaran kejahatannya.
Mengapa ada orang-orang yang kematiannya (baca juga kepergiaannya, kepensiunannya, kelengserannya dari suatu jabatan) ditangisi dan ada yang sebaliknya yakni justru disyukuri?
"Kepergian" orang ditangisi, dikarenakan dirinya penuh pesona. Pesona diri merupakan apresiasi akumulatif atas ketrampilan, ilmu pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki seseorang yang mewujud dalam karya nyata, kerja cerdas, amal ikhlas, perilaku mulia dan ragam prestasinya, sehingga menjadi penanda akan keunggulan dirinya dan capaian masanya.
Dalam praktiknya kita bisa merasakan sendiri, mengapa ada seseorang yang ditangisi oleh banyak koleganya setelah yang bersangkutan berpamitan mengundurkan diri atau dipindahtugaskan dari amanah jabatan yang selama ini diembannya?
Mengapa ada seseorang (baca, orangtua kita, anak, saudara, guru, tokoh tertentu dll) yang kepergiannya menghadap Allah ta'ala ditangisi oleh keluarga atau bahkan oleh banyak orang di sekitar kehidupannya? Saat mendengar kabar duka kepulangannya ke haribaan Ilahi, bukan saja ucapan belasungkawa yang sangat banyak, tetapi juga mendatangi kediamannya tempat jenazahnya disemayamkan, setelah dimandikan dan dikafani oleh keluarganya lalu turut menshalatkannya, mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya sembari terus berdoa untuk keampunan dirinya dan keikhlasan keluarganya.
Jawaban atas semua pertanyaan di atas dan pertanyaan sejenis adalah karena merasa kehilangan. Kini ada sesuatu yang kurang, rasanya. Kalau yang pergi (selamanya) adalah orang baik, maka orang-orang masih hidup sibuk dan harus mencari penggantinya yang tidak mudah. Karena rasa kehilangan inilah, maka bersedih hati. Dan ekspresi kesedihan ditumpahkan melalui air mata tangisan yang tulus. Lalu mengapa rasa kehilangan itu muncul dan bisa dialami oleh pada umumnya orang? Seseorang ditangisi kepergiannya dan dirindunantikan kehadirannya, tentu memiliki alasan, baik alasan yang sifatnya personal maupun alasan komunal, common sense.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa seseorang yang ditangisi dan dirindunantikan itu karena ia telah meninggalkan nama baik (baca, jasa, prestasi, kesan kebaikan, kesalihan, keramahan, kenyamanan, kesejahteraan, kepemurahan, kerupawanan dan seterusnya). Maka selama ini kita lazim mendengar ujaran hikmah bahwa gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati atau pergi atau dipindahtugaskan meninggalkan nama.
Nama baik seseorang mengakomodir totalitas kepribadiannya yang menarik, baik fisik, akal pikiran, perasaan, dan hatinya. Fisik lahiriyahnya tampak sehat, bugar, rupawan, tampan/cantik, semampai, menawan, menarik, rapi, pakaiannya islami juga serasi dan terampil. Secara intelektual tampil sebagai pribadi yang cakap, pintar, genius, intelek, dan memiliki kemandirian dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perasaannya mewujud pada halusnya budi pekerti, care, peduli, sensitif, apresiatif, berjiwa sosial yang senantiasa bisa merasakan apa yang dialami oleh sesamanya. Berinteraksi berkomunikasi dengan sesamanya dan memahami keadaannya, berinteraksi sosial yang bermartabat, dan bermasyarakat yang berkeadaban. Hatinya baik tampil menjadi tekadan, figur uswatun hasanah, beriman kepada Allah, beramal shalih, bertakwa, sabar, qanaah, 'iffah, wara' dan memeluk akhlaqul karimah lainnya.
Adapun sebaliknya ada orang yang hidupnya di dunia ini membahayakan sesamanya dan membahayakan alam sekitarnya. Inilah orang yang berperilaku buruk karena menuruti hawa nafsunya dan mengikuti langkah-langkah setan. Orang seperti ini, selagi masih hidup sudah didoakan keinsyafan dan pertaubatannya. Bila tidak dilakukannya jua, maka nanti matinya akan lebih disyukuri adanya. Disyukuri karena kepergiannya atau meninggalnya berarti berkurang orang jahat, dan berkurang orang yang berbuat maksiat. Dengan meninggalnya orang jahat, maka orang-orang yang masih hidup bisa istirahat dengan lega, karena tidak khawatir lagi ada yang merecokinya. Maka ketika mendengar berita seperti gembong narkoba tewas tertembak, pencuri mati tersentrum aliran listrik, penjahat mati tertabrak, germo tutup usia dan kematian orang-orang jahat lainnya justru membuat hati sedikit. "lega" atas kematian kejahatan mereka.
Okeh karena itu ketika berhasil mengukuhkan akhlaqul karimah berinteraksi dengan sesama secara baik, bekerja keras, berkarya cerdas, beramal ikhlas seraya bisa menjauhi sikap atau perilaku buruk, semestinya kita mensyukurinya, baik di hati, lisan maupun perbuatan nyata.
Pertama, mensyukuri di hati dengan meyakini bahwa perasaan kehilangan hanya muncul ketika seseorang memiliki kesan yang baik. Dan kesan yang baik tentu tidak instan tetapi alamiyah sesuai dengan wujud praktik dalam kesehariannya. Wujud rasa kehilangan biasanya diekspresikan melalui tangisan.
Kedua, mensyukuri di lisan dengan memperbanyak mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamin. Dengan terus memuji Allah dan atas kemahamurahanNya, semoga hari demi hari kita menjadi lebih baik dalam bergaul berinteraksi dengan sesama kita, sehingga bukan hanya memberikan kesan baik, tetapi bisa lebih baik.
Ketiga, mensyukuri dengan langkah konkret, yaitu berusaha dan berdoa agar kita memperoleh keberkahan dalam hidup sehingga membawa kemanfaatan bagi diri, keluarga dan sesamanya.
Sehubungan dengan tema muhasabah hari ini, maka dzikir pengkodisian hati penyejuk kalbu gunaĆ menjemput hidayahNya adalah membasahi lisan dengan lafal ya Allah ya 'Muhyi ya Allah ya Mumitu ....dan seterusnya. Ya Allah, zat yang hidup, zat yang maha menghidupkan dan maha mematikan, tunjukilah kami agar menjadi orang-orang yang pandai mensyukuri karuniaMu.
0 facebook:
Post a Comment