Oleh Sri Suyanta Harsa
Ilustrasi: dara.co.id |
Muhasabah 21 Rabiul Akhir 1441
Saudaraku, tuntutan penting dalam mengarungi hidup dan kehidupan bagi seorang muslim adalah belajar mengajar. Belajar dari guru, baik dari pribadi-pribadi teladan (seperti dari orangtua, guru, dosen, ustad, teungku, kyai atau dari pendidik lainnya), belajar dari al-Qur'an hadis dan karya-karya kaum cendekia maupun belajar dari pengalaman hidup diri sendiri dan orang lain. Mengajar (baca mendidik) anak, anak didik dan sesamanya. Dengan demikian, setiap diri kita kapanpun, di manapun, dengan siapapun dan dalam kondisi apapun senantiasa mengemban tugas belajar sekaligus mengajar.
Dalam iman Islam, belajar adalah proses perubahan perilaku dari satu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik, lebih santun, dan lebih takwa. Oleh karenanya belajar harus meliputi olah pikir, olah raga, olah rasa dan olah qalbu. Konsep ini justru dijadikan slogan UNESCO dengan soko gurunya yang gencar disosialisasikan kemudian, yakni learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar melakukan sesuatu), learning to live together (belajar merasa dalam hidup bersama) dan learning to Be (belajar menjadi lebih baik).
Dengan belajar simulthan tersebut akan dapat melahiran generasi yang memiliki kecerdasan holistik. Memiliki kecerdasan holistik merupakan prasyarat bagi manusia untuk melahirkan sebuah peradaban.
Dalam hal belajar, Imam Ghazali berpesan Duhai Anakku, banyak sekali waktu malam yang engkau hidupkan untuk mengulangkaji ilmu dan kiab-kitab bahkan engkau telah mengharamkan dirimu untuk tidur. Semua itu tanpa aku ketahui motifnya. Apabila motifnya untuk memperoleh kehormatan, rongsokan jabatan-jabatan keduniawian, atau untuk kesombongan diri atas sesamanya, maka sungguh celaka dirimu. Namun, ketika motif tujuanmu belajar adalah menghidupkan ajaran Nabi Muhammad saw, memperbaiki akhlakmu, menundukkan nafsumu yang tidak diridhai Allah yang mengajak berbuat keburukan, maka sungguh beruntung dirimu. Seperti tepat sekali orang bersenandung, terjaganya mata untuk selainMu adalah sia-sia dan jerit-tangisannya bukan karena kehilanganMu adalah adalah palsu.
Nasihat ini sudah cukup menyadarkan kita betapa pentingnya belajar harus dilandasi niat yang benar. Sesiapapun orangnya yang belajar, menuntut ilmu, atau menempuh jenjang studi tertentu yang diniatkan untuk memperoleh gelar kehormatan diri atau untuk bisa duduk pada jabatan-jabatan keduniawian, atau untuk kesombongan diri atas sesamanya, maka sungguhnya yang bersangkutan telah mencelakakan dirinya sendiri. Mengapa? Karena sudah menyalahi peruntukan ilmu itu sendiri, yang seharusnya hanya untuk menambah kedekatannya pada Allah semata.
Ketika belajar, menuntut ilmu, atau menempuh jenjang studi tertentu dengan niat lillahi ta'ala, di antaranya ditujukan untuk menghidupkan ajaran Nabi Muhammad saw, atau memperbaiki akhlak dirinya, atau menundukkan nafsunya yang tidak diridhai Allah, maka akan memperoleh keberuntungan, yaitu merasakan kebahagiaan. Di antaranya bisa jadi akan memperoleh derajat kehormatan yang tinggi, diberi amanah menduduki tahta tertentu, dan merasakan kehidupan yang sejahtera. Mengapa? Karena sudah menempatkan tujuan penguasaan ilmu sesuai peruntukannya, yaitu ketaatannya pada Allah.
Adapun mengajar (baca mendidik) merupakan inti rusalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw kepada umatnya, yakni mengajarkan kebaikan atau mengeluarkan manusia dari kegelapan karena kebodohan atau kejahiliyahannya kepada cahaya Islam yang terang benderang karena ilmu dan peradabannya.
Mengajarkan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi kepada putra putri, anak didik dan sesamanya merupakan keniscayaan bagi orang-orang beriman sehingga bersama-sama memperoleh surga (baca hidup bahagia) dunia akhiratnya. Maka dalam Islam mengajar (baca mendidik) itu sejatinya merupakan proses mewariskan "surga". Sehingga karenanya seberapapun amanah ilmu yang dititipkan oleh Allah kepada masing-masing kita, harus kita tunaikan dengan jalan mengajarkannya kepada putra putri, anak didik dan sesamanya. Jadi mengajakarkan sedikit ilmu itu amanah kehidupan bukan merasa lebih dari orang lain. "Ajarkanlah walau satu huruf" merupakan tuntutan umum yang mesti ditunaikan. Di sinilah belajar mengajar itu menjadi niscaya.
Mengajarkan nilai-nilai luhur berarti upaya memanusiakan manusia dengan memposisikannya sebagai subyek yang harus disayangi, dicintai sehingga bisa saling asih asah dan asuh satu sama lainnya. Begitulah, betapa signifikannya tugas mengajar.
Ketika telah dapat belajar sekaligus mengajar anak-anak kita dan peserta didik lainnya dengan baik, maka sudah selayaknya kita mengembangkan sikap bersyukur kepada Allah, baik bersyukur di hati, lisan maupun melalui perbuatan konkret.
Pertama, mensyukuri di hati dengan meyakini sepenuhnya bahwa belajar mengajar adalah amanah kehidupan yang mesti ditunaikan oleh antar generasi.
Kedua, mensyukuri di lisan dengan memperbanyak mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamin. Dengan terus memujiNya semoga Allah menganugrahi hidayah dan inayahNya kepada kita sehingga senatiasa istiqamah dalam menunaikan tugas belajar mengajar dengan sebaik-bainya.
Ketiga, mensyukuri dengan perbuatan nyata, yaitu memenuhi kewajiban belajar dan mengajar. Belajar dari para guru teladan, belajar dar al-Qur'an hadis, belajar dari kitab dan karya tulis para cendekia, belajar dari pengalaman hidup oramg lain, belajar dari orngskajsn hifup yang telah dilaluinya agar bisa hidup lebih baik, lebih cerdas, lebih bertakwa. Dengan sedikit amanah ilmu yang dititipkan Allah kepada kita, maka kita pun berkewajiban menyampaikan amanah itu dengan cara mengajarkannya pada putra putri kita, anak didik kira, dan sesamanya.
Sehubungan dengan tema muhasabah hari ini, maka zikir pengkodisian hati penyejuk kalbu guna menjemput hidayahNya adalah membasahi lisan dengan lafal ya Allah ya 'Alim ya Rabb.Ya Allah zat yang maha mdngetahui dengan oengetshuan yang senourna, zat yang maha mendidik dengan didikan yang sempurna, maka bimbing dan tunjuki kami jalan untuk meraih keridhaanMu ya Rabb. Aamiin.
0 facebook:
Post a Comment