Oleh: Prof. Dr. Al Yasa` Abubakar
Penasihat PW Muhammadiyah Aceh
sumber foto: KBAone.com |
Kehadiran wabah COVID-19 yang sangat tiba-tiba menjadikan dunia gamang menghadapinya. Penyakit ini dianggap sangat berbahaya karena menyebar secara sangat mudah dan sangat cepat. Sekarang ini hampir semua negara sudah didatangi virus ini.
Memang, sekiranya dibandingkan, orang yang meninggal karena terpapar virus ini, berada di bawah kisaran 10% bahkan di bawah 5%, relatif sangat sedikit. Kalau begitu kenapa manusia/para pemimpin dunia sangat takut?
Jawaban sementaranya, kalau yang tertular itu banyak bahkan sangat banyak (lebih separuh penduduk misalnya), maka angka yang meninggal tentu akan banyak sekali, walaupun persentasenya kecil.
Kedua, banyak orang yang sembuh tersebut setelah mendapat perawatan intensive di rumah sakit. Sedang yang meninggal merupakan orang yang tidak sempat dirawat, atau sedang mengidap penyakit lain, sehingga bertambah parah karena COVID-19 dan tidak dapat dibantu.
Untuk menghadapi pandemic ini dan mencegah penularannya, Cina membangun rumah sakit khusus di kota Hubei (ibukota provinsi Wuhan), daerah yang pertama terpapar. Konon untuk menjalankan RS ini didatangkan ratusan bahkan ribuan tenaga medis dari berbagai wilayah di Cina, dan semua peralatan yang diperlukan diproduksi secara tergesa-gesa.
Dengan cara inilah menurut kabar yang kita dengar, Cina mengaku menang, dapat menghentikan penyebaran virus COVID-19 setelah sekitar empat bulan berjibaku “mengeroyoknya”.
Belajar dari pengalaman Cina dan negara lain yang terpapar lebih awal, terlihat beban yang sangat berat bagi negara/pemerintah sekiranya mesti menyediakan rumah sakit, peralatan dan tenaga medis untuk melayani banyak orang pada waktu bersamaaan.
Karena itu pilihan yang dianggap tepat untuk mengatasi COVID-19 adalah lock down (menutup diri secara total) atau social distancing (menutup diri secara terbatas), di samping memakai masker dan menjaga kebersihan dengan baik. Harapannya, orang yang terpapar dan memerlukan perawatan tidak datang sekali gus ke rumah sakit, tetapi sedikit demi sedikit sehingga cukup tempat, cukup peralatan dan cukup tenaga medis untuk merawatnya.
Bahkan kalau mungkin pilihan kebijakan di atas, bukan hanya mengurangi tetapi mampu memutus mata rantai penyebaran COVID-19 secara total.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang berusaha memanfatkan hasil pengetahuan ilmiah dalam membuat kebijakan, menjalankan amal usaha dan pengembangan Faham keagamaan, kelihatannya memahami keadaan di atas dan menganalisisnya dengan baik. Hal ini terlihat misalnya dalam Surat Edaran PP menghadapi dampak COVID-19 (dan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sebagai lampirannya), sebagai pedoman untuk seluruh warga persyarikatan.
Sebagai sebuah kebijakan tentu ada plus minus yang dapat kita pertanyakan, apalagi ketika menyangkut faham keagamaan yang bersemangat tajdid dan pembaharuan, pasti banyak kritikannya.
Penulis merasa terharu karena PP Muhammadiyah (MTT PPM) dengan tegas dan bahasa yang jernih menyampaikan tuntunan, menghentikan sementara shalat fardhu berjamaah dan shalat Jumat di lingkungan amal usaha Muhammadiyah. PPM menganjurkan wargannya untuk sementara, menunaikan shalat fardhu berjamaah di rumah masing-masing.
MTT PPM menganggap keadaan sekarang sedang sangat tidak normal, walaupun mungkin belum sampai ke tingkat darurat. Ada ayat dan hadis yang memberi izin bahkan menyuruh kita untuk beribadah tidak secara biasa ketika keadaan sedang tidak normal.
Hal yang menggembirakan dan membanggakan, MTT PPM berani mengangkat dalil tentang adanya keringanan cara beribadah dalam keadaan tidak normal, untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19.
Penulis yakin, MTT PPM karena rasa tanggug jawab atas keselamatan penduduklah, berani menganjurkan warganya menggunakan kemudahan yang diberikan Al-qur’an dan hadis untuk mengantisipasi keadaan buruk yang mungkin akan terjadi (bukan yang sudah betul-betul terjadi), sekiranya kita salah langkah dalam mengantisipasi penyebaran COVID-19.
MTT PPM kelihatannya percaya penuh kepada hasil pengetahuan ilmiah (yang juga digunakan Pemerintah), bahwa penyebaran COVID-19 dapat diperlambat bahkan dihentikan sekiranya penduduk berhenti berkerumun dan sanggup menjaga jarak aman antar warga dalam interaksi kehidupan sehari-hari (melakukan social distancing dan bahkan lock down, sekiranya diperlukan).
Capaian pengetahuan ilmiah tentang cara mengantispasi/ mencegah penyebaran virus ini, oleh MTT PPM digunakan sebagai fakta untuk menafsirkan ayat dan hadis yang membolehkan penduduk meninggalkan shalat berjamaah di masjid dan shalat Jumat untuk sementara waktu, sampai wabah ini berhenti menyebar.
Sebagai anggota dan simpatisan persyarikatan, ada satu hal yang perlu selalu kita ingat. Muhammadiyah sudah berkali-kali mengeluarkan fatwa mengenai faham keagamaan yang dianggap kontroversial pada zamannya (karena menggunakan pengetahuan ilmiah sebagai salah satu sumber tafsir), namun diakui kebenarannya pada masa belakangan.
Bahkan ada paham keagamaan Muhammadiyah yang dikeluarkan puluhan tahun yang lalu, tapi sampai sekarang pun belum dapat dicerna dengan baik, kecuali oleh mereka yang memahami perkembangan pengetahuan ilmiah dan bersedia menggunakannya.
Wallahu a`lam bishshawab.