Muzaris Masyhudi, S.Pd Sekjend Senat Mahasiswa PPS UINAR |
Lamurionline.com--Proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam di Indonesia pertama kali melewati bermacam-macam kontrak, diantaranya: kontrak jual beli, kontak perkawinan serta kontak dakwah secara langsung, baik secara individu maupun kolektif. Dari berbagai macam kontrak inilah proses pendidikan dan pengajaran Islam berlangsung meskipun dalam ruang lingkup yang sederhana. Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama dalam masyarakat muslim di Indonesia. Disamping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam sistem yang sederhana. Sebagai contohnya; sistem pengajaran yang mengggunakan konsep halaqah yang dilakukan ditempat-tempat peribadatan seperti masjid,mushalla bahkan di rumah-rumah para ulama.
Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi serta mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di jawa umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren yang bernuansa Islami; umat Islam di Minagkabau mengambil alih Surau sebagai peninggalan adat masyarakat Minangkabau menjadi lembaga pendidikan Islam; dan demikian halnya masyarakat Aceh mengubah fungsi Meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam. Sistem pendidikan di era penjajahan Belanda, sangat kontradiktif dengan sistem pendidikan tradisional Islam dalam berbagai aspek keagamaan. Sistem pendidikan di era penjajahan Belanda tidak memberikan tekanan sama sekali pada pengetahuan keagamaan, karena mereka lebih menitikberatkan pada kepentingan duniawi semata.
1. KEKUATAN
Seperti telah diungkap sebelumnya bahwa secara historis, kebijakan pendidikan Islam di Indonesia sudah menunjukan eksistensinya begitu lama dan sampai hari ini masih tetap eksis, bahkan dalam beberapa hal sudah memperlihatkan perkembangannya yang begitu pesat. Fenomena tersebut menunjukan terdapat beberapa aspek kekuatan, diantaranya:
a. Sumber dari nash (al-Qur’an dan Hadis)
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam tertinggi karena berasal dari Allah SWT dan tentu kebenarannya mutlak. Keberadaannya sangat dibutuhkan manusia, karena berfungsi sebagai petunjuk hidup manusia. Sementara Hadis atau sunah merupakan sumber ajaran Islam yang bersumber dari Rasulullah SAW (utusan Allah SWT) yang berfungsi untuk memperkuat atau memperjelas al-Quran. Dalam kebijakan pendidikan Islam Indonesia, kedua sumber tersebut dikombinasikan atau diperkuat pula dengan nalar. Ini dianggap ideal karena memadukan antara potensi akal yang dimiliki manusia dengan nash yang merupakan tuntunan qath’i ajaran Islam.
b. Mengajarkan pondasi atau prinsip-prinsip dasar (akhlak) yang bersifat universal
Pada prinsipnya Islam lahir membawa misi universal yaitu penyempurnaan akhlak manusia, seperti yang ditegaskan Nabi Muhammad SAW “Sesungguhnya aku diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak”. Misi tersebut tentu menjadi ruh dari tujuan pendidikan Islam. Dalam konteks kebijakan pendidikan Islam di Indonesia, penegasan tentang pentingnya penanaman akhlak atau moral dalam pendidikan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan akhlak mulia, dan kemudian diperkuat dengan pencanangan program pendidikan karakter yang masuk pada kurikulum di setiap satuan pendidikan.
c. Fleksibilitas ajaran Islam
Mahmud Syaltout dalam bukunya yang berjudul al-Islam Aqidah wa Syari’ah beliau mengelompokan pokok-pokok ajaran Islam menjadi tiga bagian, yaitu: Akidah, Akhlak dan Syariah. Kemudian beliau menyederhanakannya menjadi dua bagian, yaitu: Akidah dan Syariah. Akidah merupakan sistem ajaran Islam yang sifatnya prinsipil, tidak ada fleksibilitas, toleransi dan tawar menawar di dalamnya. Namun dalam hal syariah ada hal yang sifatnya fleksibel, tidak hanya untuk orang Islam saja tapi berlaku umum, seperti wilayah muamalah (relasi antar manusia atau dengan alam semesta). Urgensi terhadap pemeliharaan hubungan antar sesama tersebut ditegaskan dalam hadis Nabi yang berbunyi:
“Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (orang lain)”. Selain kewajiban menjaga relasi positif dengan sesama manusia, dalam wilayah muamalah tersebut manusia juga mempunyai kewajiban berbuat baik terhadap alam semesta, bahkan Allah SWT menitipkannya langsung kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi yang pada akhirnya akan diminta pertanggung-jawabannya.
d. Indonesia mayoritas penduduk muslim
Peran sentral pendidikan dalam kebijakan pendidikan Islam di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari aspek sosiologis di mana penduduk muslim jumlahnya mayoritas. Tingginya prosentase penduduk muslim di Indonesia tersebut menjadi faktor paling kuat eksistensi pendidikan Islam. Dinamika penduduk muslim yang begitu besar tersebut menuntut dunia pendidikan Islam agar bisa mengakomodasi tiap segmen masyarakat yang ada di dalamnya, konsekuensinya adalah lahirnya beragam lembaga yang berusaha menyajikan pendidikan ke-Islaman dengan berbagai nuansa yang berbeda. Setidaknya ada empat jenis praktek kebijakan pendidikan Islam di Indonesia secara kelembagaan, yaitu:
1) Pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran al-Qur’an dan Hadits, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan Islam sebagai way of life, (cara hidup) kepada para siswa.
2) Pendidikan madrasah, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan model Barat, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup dalam diri siswa
3) Pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum
4) Pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
Selanjutnya kesederajatan antara madrasah dengan sekolah dengan pengakuan legalitas formal ditandai dengan lahirnya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi cikal bakal perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, dengan undang-undang tersebut Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan ditetapkan sebagai bagian integral dari Sisdiknas. Dalam tataran teknisnya kemudian ditetapkanlah beberapa Peraturan Pemerintah, antaralain PP No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 13 tahun 1991 tentang pembatalan PP No. 33 tahun 1985. Berdasarkan UU. No. 2 tahun 1989 dan beberapa PP tersebut dapat diketahui antaralain ketetapan-ketetapan sebagai berikut:
1) Pendidikan Agama wajib termuat dalam kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
2) Pendidikan Keagamaan Islam pada jalur sekolah berbentuk Madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam.
3) Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) adalah Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP, sekarang SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU, sekarang SMA) yang berciri khas Islam dan dikelola oleh Departemen Agama. Di samping ciri khas Islam, MA mempunyai jurusan Agama Islam selain jurusan-jurusan lain yang dimiliki SMA. MI dan MTs di luar ciri khas Islam, sepenuhnya sama dengan SD dan SMP.
4) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah Lembaga Pendidikan Tinggi di bidang Agama Islam yang dikelola oleh Departemen Agama. Institut Agama Islam Swasta dan Fakultas Agama Islam pada Universitas Swasta adalah Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta yang dibina oleh Departemen Agama.
Kurikulum madrasahpun diperbaharui dengan kurikulum 1994 dengan perbandingan alokasi waktu antara 16-18% untuk mata pelajaran agama dan antara 82-86% mata pelajaran umum, dengan catatan bahwa alokasi waktu mata pelajaran umum muatan nasional diberlakukan 100%, sama sekolah umum setingkat. Pada perkembangan berikutnya konsep kesederajatan madrasah melalui peningkatan kualitas yang tertera dalam Undang-undang tersebut dikuatkan dengan lahirnya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. KELEMAHAN
Beberapa hal yang merupakan kelemahan dan harus segera dibenahi dalam kebijakan pendidikan Islam di Indonesia diantaranya:
a. Aspek pendidik dan tenaga kependidikan
1) Rendahnya kualifikasi akademik guru
Secara sederhana profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang dilakukan seseorang sesuai dengan keahliannya (expertise), seperti halnya juga profesi guru yaitu kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan memiliki pengetahuan spesialisasi dan pengetahuan praktis untuk menunjang proses belajar mengajar.
2) Kualitas guru yang masih rendah
Harus diakui bahwa kelahiran lembaga-lembaga pendidikan Islam kebanyakan dibidani oleh inisiatif masyarakat, hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa mayoritas lembaga pendidikan Islam seperti madrasah berstatus swasta, kalaupun madrasah tersebut berstatus negeri, maka tidak sedikit pula yang status ke-negerian-nya tersebut bermula dari swasta juga. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan lembaga pendidikan umum yang mayoritas berstatus negeri dan hampir semuanya dilahirkan oleh pemerintah. Hal tersebut tentu berimplikasi pada sumber daya manusia pada lembaga pendidikan tersebut, implikasi tersebut diantaranya:
a) Masih banyaknya guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik yaitu minimal lulusan S1.
b) Dalam sistem rekruitment banyak lembaga pendidikan Islam yang masih mengedepankan akomodasi kekeluargaan dibanding kompetensi.
c) Masih banyaknya guru yang mismatch (mengajar tidak sesuai dengan kualifikasi akademiknya), misalnya lulusan Fakultas Tarbiyah jurusan PAI mengajar matematika.
d) Karena rendahnya kesejahteraan, maka banyak guru yang masih merangkap kerjanya di sekolah/madrasah lain atau bahkan pada profesi yang lain.
Jika dilihat data guru saat ini, hampir 20% guru madrasah termasuk kategori tidak layak karena unqualified atau mismatch. Melihat kondisi tersebut pemerintah melakukan beberapa upaya peningkatan kualitas guru seperti dengan program sertifikasi, bahkan Kementerian Agama melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga keuangan luar negeri seperti Asian Development Bank (ADB) dengan programnya Junior Secondary Education Project (JSEP) untuk membantu peningkatan mutu MTs tahun 1994 dan berlanjut dengan program Basic Education Project (BEP) dan Development of Madrasah Aliyah Project (DMAP) tahun 1996. Dengan program-program tersebut ribuan guru unqualified diikut sertakan dalam berbagai program pendidikan dan latihan seperti pelatihan guru bina (master teacher), serta pendidikan S2, S3 diberbagai perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Begitu pula melalui Islamic Development Bank (IDB) telah dilakukan pula pelatihan berbagai program keterampilan bagi guru-guru yang mengajar di MA yang memiliki program keterampilan.
3) Kualitas Kepala Madrasah yang masih rendah
Data EMIS tahun 2003 menyebutkan bahwa pada tingkat MI terdapat 62% kepala madrasah belum memenuhi kualifikasi akademik, pada tingkat MTs sebesar 25,42%, dan 6,6% pada tingkat MA. Dari sudut kepemimpinan manajerial mereka masih banyak yang lemah bahkan banyak kepala madrasah yang berasal dari mantan pejabat administratif pada kandepag atau kanwil yang memperpanjang dinas aktifnya dengan mutasi menjadi pejabat fungsional kepala madrasah. Akibatnya banyak madarasah yang dikelola dengan penekanan aspek administratif dari pada dimensi akademisnya, yang terjadi adalah madrasah dikelola secara amatiran dan bernuansa birokratis. Untuk melahirkan lembaga pendidikan yang bermutu dibutuhkan pemimpin yang memiliki kompetensi manajerial yang baik, beberapa indikatornya diantaranya adalah:
- Visioner (memiliki visi yang jelas, terarah dan rasional untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dia pimpin)
- Memahami seluk-beluk dunia pendidikan
- Paham tentang strategi pemasaran lembaga kependidikan yang dia pimpin
- Memahami kebutuhan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan
- Cerdik dalam mengelola pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien
Walaupun beberapa point tersebut merupakan indikator minimal, tapi perlu diakui bahwa masih banyak lembaga pendidikan Islam yang pemimpinnya belum memenuhi kualifikasi tersebut.
4) Kualitas Pengawas Madrasah yang masih rendah
Sebagian besar pengawas berasal dari tenaga administratif seperti mantan kepala seksi atau kepala madrasah yang bermutasi menjadi tenaga pengawas dalam rangka memperpanjang usia dinas aktif. Bisa dibayangkan kualitas kepengawasannya, dengan keterbatasan pengetahuan tentang seluk beluk proses belajar mengajar ditambah dengan keterbatasan pengetahuan di bidang administrasi dan supervisi pendidikan. Dalam kenyataannya para tenaga pengawas tersebut tidak lebih hanya memainkan peran dan fungsinya sebagai ‘inspektur adminitratif’ dan tidak sempat mensupervisi masalah substansi dan proses KBM yang berlangsung di madrasah, bahkan banyak diantara pengawas yang berkunjung ke madrasah hanya pada saat ujian nasional saja. Ke depan, mestinya pengawas tidak dijabat oleh sembarang orang, mereka harus tenaga profesional dengan kualifikasi yang jelas, baik secara administratif, akademis, maupun moral keagamaan.
5) Rasio Siswa dan Guru
Berdasarkan data dari Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, rasio siswa dan guru untuk madrasah ibtidaiyah lebih besar daripada rasio siswa dan guru untuk madrasah tsanawiyah dan aliyah. Rata-rata rasio siswa dan guru untuk MI adalah sebesar 16 yang dapat diartikan bahwa 1 guru mengajar 16 siswa. Rasio siswa dan guru terbesar di MI terjadi pada tahun 1999/2000 yaitu sebesar 20. Sementara itu, rasio siswa dan guru pada MTs dan MA relatif hampir sama. Hal ini menandakan bahwa jumlah guru untuk MTs dan MA secara relatif lebih banyak daripada guru untuk MI dalam hal keterbandingannya dengan jumlah siswa.
6) Lemahnya penguasaan teknologi informasi
Perkembangan zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan mudahnya akses informasi menjadikan dunia tanpa sekat. Ruang dan waktu menjadi nisbi adanya. Di satu sisi hal tersebut menjadi kendala bagi dunia pendidikan Islam yang masih lemah dalam SDM dan sarana prasarana, harus diakui bahwa keterbatasan dana menyebabkan lembaga pendidikan Islam masih banyak yang belum bisa memfasilitasi derasnya perkembangan teknologi tersebut, ditambah lagi dengan kekhawatiaran yang begitu besar atas akses negatif dari perkembangan teknologi tersebut yang berakibat banyaknya lembaga pendidikan Islam yang cenderung membatasi bahkan menjauhkan diri dari perkembangan teknologi tersebut.
b. Aspek Kurikulum
1. Kurikulum yang masih berorientasi pada kognisi
Pada dasarnya pendidikan keagamaan bertujuan untuk mengarahkan anak didik pada perilaku yang lebih baik, taat menjalankan ajaran serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dianggap negatif, kesimpulannya pendidikan agama lebih berorientasi afektif dan psikomotor yang sudah pasti harus didahului oleh aspek kognitifnya. Pada kenyataannya, pembelajaran materi-materi keagamaan tersebut dianggap tuntas pada aspek teoritis, siswa dianggap tuntas mempelajari agama ketika dia mengetahui materi yang disampaikan oleh gurunya, tidak perduli dia melakukan kebaikan (ajaran agama) atau tidak. Saya berpendapat bahwa hal tersebut tidak semuanya merupakan kesalahan guru semata karena pada dasarnya guru dituntut untuk mengikuti kurikulum serta sistem evaluasi yang diinginkan pemerintah. Azas desentralisasi yang memunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) masih dianggap sebagai sebuah jargon karena berbenturan dengan egoisme pemerintah yang memaksakan sistem evaluasi yang berorientasi kognisi.
2. Terjebak pada orientasi ritualisme formalistik
Salah satu substasi pengajaran agama adalah mempelajari bagaimana seharusnya relasi antara manusia dengan Tuhannya dalam bentuk ibadah, di dalamnya berisi ritual-ritual yang penuh dengan aturan sebagai bentuk penghambaan. Setiap ritual tersebut sesungguhnya memiliki makna atau hakikat yang terkandung di dalamnya, shalat misalnya, di dalamnya terkandung makna kedisiplinan, kebersihan, keteraturan, penghargaan terhadap sesama dan masih banyak yang lainnya. Dalam pengajarannya, guru sering kali hanya sebatas mengajarkan bagaimana anak benar shalatnya dalam hal gerakan dan bacaannya saja, tanpa mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya, padahal perlu juga anak memahami arti-arti dari bacaan shalat tersebut untuk menyatukan ucapan, hati, pikiran dan gerakannya pada saat melaksanakan ibadah tersebut.
Dalam perspektif lain, tindakan ritual dan segi-segi formal itu dianggap baru mempunyai makna hakiki jika mampu mengantarkan seseorang kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT sehingga memiliki kesiapan emosional dan spiritual dalam menjalani hidup di dunia serta dalam mencapai pengalaman transendental. Wujud kedekatan kepada Tuhan itulah yang akan termanifestasikan dalam berbagai sikap dan perilaku yang terpuji (akhlakul karimah) sehingga bisa memberi manfaat dan kebaikan kepada sesama manusia, yang kemudian melahirkan pribadi-pribadi yang tidak hanya shaleh secara individual tapi juga shaleh secara sosial.
Dengan demikian dari beberapa aspek yang menjadi kelemahan dalam kebijakan pendidikan Islam di Indonesia secara umum dapat disimpulkan bahwa: 1) kurikulum pendidikan agama lebih menekankan aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek pengamalan ajaran agama dalam pembentukan akhlak dan karakter, 2) jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang bermutu belum mencukupi, 3) sarana dan prasarana terbatas, (4) fasilitas lainnya belum memadai, dan 5) adanya efek negatif globalisasi yang mempengaruhi peserta didik yang tidak sejalan dengan agama, namun hal ini menurut saya tidak selamanya menjadi penyebab kelemahan pendidikan Islam tapi harus dilihat sebagai sebuah tantangan agar semua stakeholder dalam menyikapi arus tersebut, yang pada akhirnya bukan pendidikan yang tergerus globalisasi tapi justru diharapkan pendidikan bisa memanfaatkan dampak globalisasi tersebut.
3. PELUANG
Terdapat beberapa aspek yang menjadi peluang dalam kebijakan pendidikan Islam di Indonesia antaralain seperti:
a. Penduduk Indonesia Mayoritas Muslim
Selain sebagai sebuah kekuatan, tingginya jumlah penduduk Muslim (muslim majority) di Indonesia, juga sekaligus merupakan peluang besar bagi perkembangan pendidikan Islam. Munculnya paradigma “pendidikan berbasis masyarakat” (community-based education) memberikan peluang besar kepada masyarakat Muslim untuk memberikan kontribusinya pada perkembangan pendidikan Islam. Hanya saja tingginya peluang tersebut harus diimbangi dengan perbaikan dan pengembangan kualitas pendidikan tersebut.
Pengembangan kualitas pendidikan tersebut tentu bukan hal mudah bagi lembaga-lembaga pendidikan Muslim, kecenderungan orientasi masyarakat yang lebih pragmatis harus direspon oleh dunia pendidikan Islam dengan melakukan “re-negosiasi” antara “sosial expectations” dengan “academic expectations”. Dengan demikian peluang perkembangan pendidikan Islam akan semakin besar dan lebih dinamis, dan masyarakat pun tidak sungkan menjatuhkan pilihannya bagi lembaga pendidikan Islam tersebut.
Selanjutnya Azyumardi Azra setidaknya mencatat ada empat macam lembaga pendidikan Islam yang bisa dipilih oleh masyarakat, yaitu: pertama: pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din seperti pesantren, kedua, madrasah dengan kurikulum Kemdiknas dan Kemenag, tiga, sekolah Islam “plus” atau “unggulan”, dan empat, pendidikan keterampilan (vocational training) seperti madrasah keterampilan yang mengikuti model “STM”.
b. Terbukanya lembaga pendidikan umum berbasis Islam
Seperti yang diungkapkan Azyumardi di atas, dari keempat pilihan yang menjadi peluang bagi perkembangan pendidikan Islam, pilihan yang ketiga yaitu Sekolah Umum Berbasis Islam merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional, seperti TK, SD, SMP, atau SMA Islam, atau dengan beberapa tambahan label seperti “plus”, “unggulan”, atau “terpadu” dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut biasanya lahir atas inisiatif tokoh-tokoh Muslim atau organisasi kemasyarakatan yang mengakomodasi modernitas tanpa menghilangkan prinsip tafaqquh fi al-din-nya.
c. Adanya kewajiban memasukan pelajaran agama di lembaga pendidikan umum
Pada masa penjajahan pendidikan agama tidak masuk ke dalam kurikulum sehingga hukumnya tidak wajib dilakukan oleh lembaga pendidikan (ekstrakurikuler dan non-compulsary), kemudian pasca kemerdekaan (1946) pendidikan agama di sekolah menjadi bersifat fakultatif, sudah menjadi bagian kurikulum (intrakurikuler) tapi masih bersifat non-compulsary (tidak wajib) sehingga orang tua boleh meminta agar anaknya tidak diberi pendidikan agama. Pendidikan agama tersebut dipertegas dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tepatnya pada pada pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyatakan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”
Pemberlakuan pendidikan agama pada semua jenjang (dari mulai pendidikan dasar sampai perguruan tinggi) ditegaskan pada pasal 37 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal (1): kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan agama, b. Pendidikan kewarganegaraan, c. Bahasa, d. Matematika, e. IPA, f. IPS, g. Seni dan Budaya, h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga, i. Keterampilan/kejuruan, dan j. Muatan lokal. Pasal (2): Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan agama, b. Pendidikan Kewarganegaraan, d. Bahasa.
4. TANTANGAN
Adapun aspek-aspek yang menjadi tantangan adalah:
a. Derasnya pengaruh negatif globalisasi
Saat ini kita benar-benar merasakan dahsyatnya efek globalisasi yang masuk pada setiap lini kehidupan sampai-sampai ada yang menghawatirkannya dan menyebutnya globaphobia. Kedahsyatan globalisasi tersebut misalnya bisa dirasakan pada perubahan pola hidup manusia dalam hal food (makanan), fashion (pakaian) dan fun (kesenangan).
Globalisasi yang pada dasarnya memberikan peluang bagi bersatunya berbagai komunitas di belahan dunia pada satu entitas kehidupan akan menjadi tantangan luar biasa bagi eksistensi pendidikan Islam. Pendidikan Islam dituntut untuk bisa menunjukan jati dirinya sebagai pemelihara ajaran Islam yang shalihun likulli zaman wa makaan. Untuk mewujudkannya diperlukan persamaan persepsi sehingga yang terjadi bukanlah pendidikan Islam mengikuti globalisasi tapi justru pendidikan Islam mengakomodasi globalisasi tersebut.
b. Kecenderungan hidup materialitik hedonis
Pergeseran pola hidup ke arah materialistik hedonis memberikan peluang tergerusnya norma, etika bahkan moralitas yang menjadi target utama pendidikan agama termasuk pendidikan Islam, orang kemudian lebih terpacu untuk mengikuti perkembangan zaman tanpa berkaca pada aturan agama, akhirnya ajaran agama bisa jadi hanya dijadikan sebagai lipstik belaka. Pergeseran pola hidup tersebut tentu juga berpengaruh lembaga pendidikan Islam, orientasi hidup yang materialistik akan menggiring para penguna jasa pendidikan tersebut untuk mencari lembaga pendidikan yang bisa mengantarkan anaknya pada kehidupan yang materialistik pula, sudah barang tentu hal tersebut menjadi tantangan bagi dunia pendidikan Islam.
c. Tumbuhnya paham sekularisme
Sekularisme diartikan sebagai paham yang memberikan kebebasan seluas-luasnya termasuk dalam hal keyakinan dan agama. Pada dasarnya Islam memberikan ruang kepada manusia untuk menetapkan pilihannya dalam hal keyakinan dan beragama tersebut termasuk konsekuensi dari pilihannya itu, dalam hal ini tidak ada paksaan dalam beragama, tapi Islam sudah menjelaskan secara gamblang akan kebenaran dan keabsahan Islam itu sendiri, bahwa hanya Islam-lah yang diridhai. Semakin tumbuhnya sekularisme tersebut tentu sangat berimplikasi pada dunia pendidikan Islam, pengajaran agama Islam akan semakin ditantang untuk bisa menjawab argumentasi-argumentasi rasional menyangkut keberagaman akidah, pada titik inilah prinsip-prinsip ajaran Islam akan dipertaruhkan.
Muzaris Masyhudi, S.Pd.,
Sekjend Senat Mahasiswa PPS UINAR