![]() |
LAMURIONLINE.COM I BANDA ACEH - Program Studi Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry menyelenggaran Kuliah Umum secara daring, Kamis (18/06) dengan menggunakan media Zoom Cloud Meeting.
Kuliah umum perdana yang diselenggarakan di masa pandemi COVID-19 ini mengusung
tema ‘Dilema Unit Usaha Syariah (UUS): Konversi atau Spin-Off dan Pengaruhnya
terhadap Market Share Bank Syariah di Indonesia’.
Pemateri yang dihadirkan
adalah praktisi dari Lembaga Pendidikan Bank Aceh Syariah, Dr. Deddy Nofendy,
M.Ag, yang memiliki pengalaman selama belasan tahun di dunia perbankan syariah
di Aceh khususnya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Riza Aulia, M.Sc,
dosen dari Prodi Perbankan Syariah FEBI UIN Ar-Raniry, dibuka dengan
penyampaian kata sambutan yang secara langsung diberikan oleh Dekan FEBI UIN
Ar-Raniry, Dr. Zaki Fuad, M.Ag.
Dalam sambutannya, beliau menekankan pada usaha
yang telah diinisiasi oleh Pemerintah Aceh dengan mengeluarkan Qanun no. 11
tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, sebagai salah satu langkah
strategis untuk mendongkrak pangsa pasar (market share) Bank Syariah
pada khususnya, baik di Aceh dan di Indonesia. Dengan diberlakukannya Qanun
ini, nantinya seluruh Lembaga Keuangan yang melakukan aktifitas dan transaksi
keuangan di Aceh haruslah mengkonversi sistem dan aktifitasnya bisnisnya sesuai
dengan aturan-aturan syariah. Hal ini juga akan berdampak bagi Bank
Konvensional yang ada di Aceh, untuk memilih antara konversi atau melakukan spin-off
agar tetap dapat beroperasi di Aceh.
Selanjutnya, Kuliah Umum yang disampaikan oleh
Dr. Deddy mengungkap data dan fakta di lapangan mengenai perkembangan Keuanga
Syariah Indonesia secara global.
“Secara perkembangan kuantitatif dan
ketersediaan regulasi mengenai keuangan syariah, Indonesia bahkan tidak masuk
ke dalam 5 besar negara-negara di Dunia. Tetapi, di tingkat literasi keuangan
syariah, kita berada di posisi 2 setelah Malaysia. Ini menunjukkan rata-rata
masyarakat kita sudah sedikit banyak paham dengan Keuangan Syariah, diwakili
oleh para akademisi, praktisi dan mahasiswa yang fokusnya belajar di
institusi-institusi yang menyediakan kurikulum mengenai Ekonomi dan Keuangan
Syariah”, ujarnya.
Selain data tersebut, posisi Indonesia untuk
negara dengan aset perbankan syariah terbesar di Dunia berada di posisi 9,
setelah negara-negara di Timur Tengah, dan negara tetangga Malaysia yang
lagi-lagi unggul di posisi 3 besar.
“Ini seharusnya menjadi pertanyaan dan
motivasi bagi industri perbankan syariah di Indonesia, untuk terus berinovasi
dan memperbaiki diri setelah berdiri selama lebih kurang 28 tahun”, tambahnya.
Jika kita fokus melihat pada perkembangan
perbankan syariah, per maret 2020, aset bank syariah berada di posisi 5.99%
dari keseluruhan aset perbankan di Indonesia. Posisi ini bisa diraih setelah
dikonversinya 2 bank daerah di Indonesia, yaitu Bank Aceh menjadi Bank Aceh
Syariah pada tahun 2015, dan disusul satu tahun setelahnya oleh Bank NTB yang
dikonversi menjadi Bank NTB Syariah. Hai ini (red: konversi atau spin-off)
diharapkan akan terus terjadi sebagai bentuk pengamalan terhadap Undang-undang
No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang salah satu pasalnya (Pasal 69
ayat 1) mengharuskan setiap UUS yang telah memiliki aset lebih dari 50% dari
Induk Konvensionalnya untuk memisahkan diri menjadi Bank Umum Syariah (BUS),
yang harus ditempuh dengan cara konversi ataupun spin-off.
“Jika UUS memilih untuk spin-off, otomatis
market share perbankan syariah akan bertambah, tetapi tidak akan
mengurangi market share perbankan konvensional secara signifikan, karena
induk konvensionalnya tetap ada. Lain halnya, jika mereka (red: UUS) melakukan
konversi. Ini akan menyebabkan berpindahnya aset secara total dari perbankan
konvensional menjadi aset perbankan syariah, karena bank yang tadinya
beroperasi dengan sistem konvensional, secara total menjadi bank syariah.
Dampaknya, market share perbankan konvensional akan berkurang, dan dalam
waktu yang bersamaan, market share perbankan syariah akan terdongkrak
naik”, lanjut Dr. Deddy.
Tren konversi dan spin-off ini berpotensi
untuk diteruskan oleh lebih kurang 20 UUS yang ada di Indonesia, yang sebagian
besar diantaranya adalah bank daerah di masing-masing provinsi. Terkini, ada 2
bank daerah, yaitu Bank Nagari dan Bank Riau yang sedang berproses untuk
melakukan konversi aktifitas perbankannya, dari konvensional ke syariah.
“Kita harapkan, dengan semakin banyaknya Bank
Daerah dan UUS yang melakukan konversi dan spin-off akan menaikkan
pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia hingga ke level 10 atau 20%. Dan di
saat yang sama, kita juga berharap bank syariah terus memperbaiki diri dengan
melakukan peningkatan kualitas pelayanan baik dari segi teknologi perbankan,
Sumber Daya Insani (SDI), kepatutan syariah (sharia compliance), sehingga
perbankan syariah lebih dipercaya oleh masyarakat untuk melakukan aktifitas
perekonomian mereka dan ini akan menaikkan pangsa pasar perbankan syariah
secara organik”, tutupnya.
Sebagai penutup, Dr. Hafas Furqani, selaku Wakil Dekan I FEBI UIN Ar-Raniry
menyimpulkan bahwa dari 2 pilihan yang ada, konversi dan spin-off, akan
lebih mengarahkan UUS dan Bank Konvensional untuk melakukan konversi,
dikarenakan persyaratannya yang lebih realistis untuk dicapai, dan akan lebih
menguntungkan raihan market share perbankan syariah secara agrerat.
Beliau yakin bahwa dengan semakin banyaknya pilihan Bank Syariah yang ada
nantinya, masyarakat akan lebih terbuka untuk mempercayakan aktifitas
keuangannya di Bank Syariah. (smh/rel)