Oleh Sri Suyanta Harsa
sumber ilustrasi: mim.or.id |
Muhasabah Yaumul Bidh Ke-2, 14 Syawal 1441
Saudaraku, sebagai tuntutan kemanusiaan, tuntunan kemuliaan dan tatanan peradaban, maka silaturahim dan silaturahmi sarat nilai edukatif. Di samping mempererat persaudaraan, melapangkan rezeki, memanjangkan umur, juga menjadi instrumen untuk menormalisasi relasi yang sudah terjalin. Nah inilah yang menjadi tema muhasabah kali ini.
Keharmonisan dalam keluarga baik secara internal maupun antar keluarga eksternal lainnya menjadi di antara sarana untuk meraih bahagia, keluarga yang sakinah ma waddah warahmah dan masyarakat yang bahagia sejahtera. Keharmonisan hubungan antar orang dalam ragam kepentingan terjadi di antaranya karena adanya kesamaan senadisib sepenanggungan, kesamaan kepentingan, juga ide, gerakan, dan tujuannya. Oleh karenanya kebersamaan antar pihak menjadi sangat signifikan. Tetapi dalam praktiknya, sering tidak mudah mempertahkan kelestariannya, bahkan acapkali terdapat gesekan juga gosokan yang pada akhirnya menyebabkan keretakan hubungan, sehingga relasi dan komunikasi mulai longgar atau bahkan terputus jadinya.
Nah silaturahim dan silahturahmi, di antaranya menjadi instrumen sangat penting untuk merehabilitasi relasi, sehingga harnonis kembali. Mungkin yang ada yang merasa begitu berat untuk menyambung silaturahim kembali, tetapi momen-momen pertemuan masal dapat dimanfaatkan untuk membuka komunikasi dan relasi, misalnya moment idul fitri, syawalan, menghadiri walimatul ''ursy, menghadiri takziah, atau syukuran lainnya. Bila komunikasi sudah terbuka, maka tinggal meneruskan jalinan silaturahimnya dengan lebih intensif.
Ketika intensitas silaturahim terjadi maka segala persoalan yang dialami dapat dikemukakan, segala keinginan dapat disampaikan dan diselesaikan secara bermartabat. Silaturahim menciptakan suasana kekeluargaan, persaudaraan, kebersamaan, keakraban, dan perasaan senasib sepenanggungan.
Dengan silaturahim, maka kesalahan dan dosa horisontal dapat diminimalisir atau bahkan dipupus dengan saling memaafkan. Ketika kemaafan telah diperoleh dari antar sesama, maka ampunan Allah segera bersamanya. Jadi ketersambungan silaturahim juga mendatangkan ampunan Allah. Dalam konteks ini Nabi saw bersabda:
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمُ الاثْنَيْنِ وَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لا يُشْرِكُ بِالله شَيْئًا إِلا رَجُلا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ ، فَيُقَالُ : أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
Telah dibukakan pintu-pintu surga setiap hari Senin dan Kamis. Maka seluruh hamba yang tidak berbuat syirik kepada Allāh sama sekali akan diberi ampunan oleh Allāh, kecuali seseorang yang punya permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan kepada para malaikat, “Tangguhkanlah (dari ampunan Allāh) dua orang ini sampai mereka berdua damai.” (HR. Muslim No. 2565)
Jalinan kekeluargaan dan persaudaraan yang diikat oleh nilai-nilai religiusitas melahirkan tatanan masyarakat yang sejahtera betada ridha Allah ta'ala. Maka silaturahmi menjadi ciri kehidupan surgawi. Allah berfirman yang maknanya, Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.(Qs. Al-Ra'du 19-24). Aamiin.