Oleh: Juariah Anzib, S.Ag
Koordinator Kesiswaan MIN 11 Aceh Besar
Pemahaman ayat diatas menurut Pro. Dr. K. H. Nasaruddin Umar, MA dalam buku karangannya "Shalat Sufistik" bahwa hakikat atsar sujud dapat dipahami secara sosiologis dan juga spiritual. Secara sosiologis, bekas sujud (atsar) harus dapat melahirkan kesalihan paralel antara kesalihan individu dan kesalihan sosial. Kesalihan individu dapat diukur seberapa besar kemampuan seseorang untuk melakukan amar makruf nahi munkar melalui sujudnya.
Orang yang mengerjakan ibadah shalat secara baik dan benar yang sesuai tuntunan, tentu dapat menghindari seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Sujud yang dapat menghantarkannya ke derajat yang tinggi dan kemuliaan. Sebagaimana firman Allah Swt, "Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar." (Surat Al-Ankabut ayat 45).
Prof. Nasar menyebutkan, sujud dapat menjadikan seseorang menjadi pribadi yang istiqamah dengan menegakkan kebenaran dan memproteksi kebatilan. Akan tetapi jika sujudnya tidak dapat mencapai ke tingkat tersebut, sesungguhnya ia tidak berhasil memiliki atsar sujud secara batiniah. Ia tidak sampai kepada menemukan suatu kekuatan yang dapat melahirkan pribadi yang konsisten, tegas, berpegang teguh dalam menegakkan kebaikan dan kebenaran.
Dalam Al-Quran surat Al-Maun ayat 1 sd 7 Allah menyebutkan, "Taukan kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan fakir miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna."
Ayat tersebut menjelaskan tentang betapa tidak berartinya kesalihan individu tanpa diiringi kesalihan sosial yang dicapai melalui keterlibatan dan berinteraksi dengan orang lain. Karena antara kesalihan individu dengan sosial memiliki keterkaitan yang erat dan saling mendukung. Memperhatikan sesama merupakan bagian dari iman. Maka dari itu kita dianjurkan untuk saling menyayangi dengan sesama, agar dapat hidup harmonis dan bahagia.
Menurut Prof Nasar, makna hakekat yang sebenarnya dari spiritual sujud bertujuan untuk mencapai puncak kedekatan dirinya dengan Allah Swt. Berserah diri kepadaNya yang meliputi jiwa, raga, qalbu, akal, ruh dan sirr. Disaat seseorang sedang bersujud, ia berusaha memutuskan seluruh mata rantai kehidupan dunia. Lalu memusatkan perhatian sepenuhnya kepada Sang Khalik. Jika perhatiannya terpecah, maka tidak akan mendapatkan atsar sujud yang sesungguhnya.
Bagi para Salikin, sujud merupakan puncak dari segala pendekatan diri. Pendekatan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pendekatan qalbu(hati), ia selalu menggantungkan diri hanya kepada Allah Swt. Kedua, pendekatan dengan ruh, yaitu kefanaan terhadap diri sendiri. Dan yang ketiga pendekatan sirr, yaitu kefanaan terhadap segala kefanaan. Pendekatan ini merupakan tingkat kepasrahan kepada Allah Swt seperti yang dilukiskan di dalam kitab suci Al-Qur'an.
Para ulama sufi berpendapat bahwa bekas sujud (atsar sujud) yang dimaksud tidak harus berbentuk fisik yang nampak hitam di bagian dahi, akan tetapi atsar yang dimaksud merupakan pengaruh ahli sujud dalam komunitas masyarakat. Seberapa banyak seseorang dapat memberi manfaat kepada orang sekitarnya. Sebagai contoh, ada diantara kedua kita yang berprilaku angkuh dan sombong, riya, takabur, dengki, khianat. Akan tetapi setelah melakukan sujud dalam shalatnya, maka ia segera berubah menjadi orang yang tawadhuk, santun, rendah hati dan menghormati sesama. Perubahan itulah yang dimaksud dengan atsar sujud atau bekas sujud. Jadi tidak perlu menghitamkan dahi karena bukan itu yang menjadi hakikat dan makna bekas sujud yang sebenarnya.
Mari kita menjadi bagian dari orang-orang yang mendapatkan atsar sujud dengan ketulusan beribadah semata-mata karena Allah. Bukan disebabkan riya, sombong dan takabur. Semoga kita tergolong orang yang bermanfaat kepada diri sendiri dan masyarakat sekitar. Barakallah.
0 facebook:
Post a Comment