Peserta FGD lainnya hadir Badan Wakaf Indonesia (BWI), Kemenag, OJK, ACT, Rumah Zakat, Badan Pertanahan Nasional, Bappeda Aceh, DDII, Ikadi, Dewan Syariah Aceh, MES Aceh, perwakilan IAEI se Aceh, 13 BWI Kabupaten Kota, Muhammadyah, Nahdlatul Ulama, Mahkamah Syariah Aceh, FEBI UIN Ar-Raniry, FEB USK dan Yayasan Haroen Aly Aceh.
FGD ini dilakukan dengan blended system di mana sebagian peserta (32 orang perwakilan tamu) mengikutinya secara langsung di Hotel Permata Hati, sementara secara online diikuti 130 peserta dari berbagai daerah di Indonesia.
Sekretaris IAIE Aceh, Prof Dr M Shabri Abd Majid MEc mengatakan, FGD berupaya menemukan solusi atas pengelolaan wakaf di Aceh yang masih dilakukan secara terpisah oleh tiga lembaga, yaitu BMA, BWI Perwakilan Aceh, dan Kemenag Aceh yang masing-masing berjalan berdasarkan regulasi yang berbeda.
Shabri menambahkan, potensi wakaf yang besar di Aceh, jika mampu dioptimalkan pemanfatannya, akan berkontribusi besar terhadap penguatan ekonomi umat. “Ibarat dunia sepak bola, perlu adanya kapten yang memimpin anggotanya demi mencapai tujuan, demikian juga wakaf,” katanya.
Dimoderatori Dr Israk Ahmadsyah Mec MSc, dosen FEBI UIN Ar-Raniry, FGD menghadirkan nara sumber utama Hendri Tanjung PhD (BWI Pusat), Drs H Tarmizi Tohor MA (Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag Pusat), Prof Dr Nazaruddin A Wahid MA (Kepala Baitul Mal Aceh) dan Ir Arief Rohman Yulianto MM (Pusat Kajian dan Transformasi Digital BWI Jakarta).
Dari berbagai masukan narasumber dan peserta, telah merumuskan rekomendasi di antaranya, pertama, perlu sinergisitas ketiga lembaga pengelola wakaf di Aceh demi mengefektifkan manajemen pengelolaan wakaf, agar manfaat wakaf bisa dirasakan secara optimal.
Kedua, direkomendasikan, agar tiga lembaga pengelolaan wakaf di Aceh, BMA, BWI dan Kemenag Aceh segera duduk bersama memperjelas tugas dan peran masing-masing, sehingga tidak melemahkan upaya optimalisasi pengelolaan wakaf akibat tumpah tindih peran dan klaim.
Ketiga, perlu adanya leading player, dalam hal ini BMA, yang diharapkan memainkan peran utama dalam pengembangan wakaf di Aceh sesuai dengan amanah Qanun Nomor 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal.
Keempat, perlu adanya penguatan kerjasama BMA, BWI Aceh dan lembaga terkait lainnya untuk mewujudkan nazir yang memiliki kompetensi dan tersertifikasi, sehingga mampu mengelola wakaf di Aceh, yang saat ini masih berstatus idle (tidak termanfaatkan).
Kelima, perlu upaya peningkatan edukasi wakaf, peningkatan literasi wakaf, termasuk pengelolaan wakaf secara digital demi optimalisasi kemaslahatan umat di Aceh.
Keenam, perlu dukungan Pemerintah Aceh secara kontinu dalam membantu upaya-upaya pemaksimalan pengelolaan harta wakaf dengan regulasi, qanun atau peraturan gubernur yang memberikan dukungan positif bagi para pengelolanya.
Ketujuh, jika diperlukan, mengubah BWI Aceh menjadi BWA (Badan Wakaf Aceh) atau Badan Kenaziran Aceh. Hal ini disebabkan BWI mempunyai tugas pokok dan fungsi yang besar, namun memiliki anggaran yang terbatas. Sementara BMA memiliki dana infak dengan jumlah yang besar, yang bisa disinergikan dalam pengoptimalan pengelolaan wakaf.
Menurut Ketua Panitia FGD, Jalaluddin ST MA, FGD ini terselenggara dengan baik karena adanya dukungan berbagai stakeholker, khususnya BMA, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh. (rel/smh)
0 facebook:
Post a Comment