Oleh: Afrizal Sofyan, SPdI, MAg
Anggota MPU Aceh Besar
Arti kata
Kata A’thaina terambil dari ‘atha’ yang bermakna memberi, biasa digunakan untuk pemberian yang menjadi milik seseorang dan digunakan juga untuk menggambarkan pemberian yang sedikit. Namun digandeng dengan kata al Kautsar yang berarti banyak yang mengesankan bahwa anugerah Allah sangat banyak yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw, namun masih sedikit dengan apa yang Allah miliki dan juga masih sedikit jika dibandingkan dengan apa yang akan beliau terima nanti kelat di akhirat. Huruf كَ yang artinya kamu dikhususkan kepada Nabi Muhammad saw.
Kata al Kautsar yang terambil dari kata kasiirun yang berarti banyak. Kata ini, digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang banyak bilangannya atau yang sangat tinggi mutunya/kualitasnya, sehingga orang yang banyak berjasa dinamai dengan kausar.
Tafsir ayat
Al Kuatsar dalam ayat ini sering diterjemahkan dengan nikmat yang banyak. Apa yang dimaksud dengan nikmat yang banyak itu? Tafsir Al Jami’ liahkamil Qur’an, imam Qurtubi memberikan arti yang beragam, seperti kenabian, Al Qur’an, syafaat Rasulullah, agama Islam, syariat Islam, mukjizat, adzuriah (keturanan), atau sungai/telaga di Akhirat.
Diantara mufassirian Abu Hayyan, Al Alusi, dan Thabathaba’i mengartikan الْكَوْثَرَ dengan keturanan Nabi Muhammad saw anak cucu dari as Sayyidah Fatimah binti Rasulullah, dengan sayyina Al Hasan bin Abi Thalib KW memiliki anak laki-laki sebanyak 11 orang dan sayyidina Husain adik al Hasan mempunyai 9 orang anak 6 laki dan 3 perempuan.
Pendapat ini berdasarkan kepada, pertama, konteks sebab turun ayat dimana surat ini turun setelah wafatnya Ibrahim bin Muhammad, orang Qurasy membicarakan bahwa Rasulullah terputus keturunanya sambil menceritakan juga anak2 dari Sayyidah Khadijah yang banyak sudah meninggal. Kedua, kata yang ada dalam surat ini الْأَبْتَرُ yang bermakna orang yang terputus keturunannya. Ketiga, kata anhar yang dipahami sebagai perintah menyembelih binatang dalam konteks kelahiran yang disebut aqiqah.
Namun banyak juga tafsir diantaranya tafsir Al Qur’anul Karim (Ibnu Katsir), Jalalain (Imam As Suyuti), Jamiul Bayan Fi tafsir al Qur’an (Imam Thabari), Fathul Qadir (Imam Syaukani), Anwar At tanzil wa Asrari At Ta’wil (Imam Baidawi) yang memaknai kata الْكَوْثَرَ dengan sebuah telaga di akhirat yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad dan didukung oleh banyak hadits. Seorang sahabat Anas Bin Malik ra, menceritakan bahwa Rasulullah memejamkan mata beliau sejenak kemudian beliau terseyum, lantas sahabat bertanya, kenapa engkau tersenyum ya Rasulallah? Rasulullah menjawab, baru saja diturunkan kepada saya sebuah surat lantas Rasulullah membacakan surat al Kautsar dan beliau bertanya, apakah kalian tahu apa itu al Kautsar?
Para sahabat menjawab, Allah dan RasulNya lebih tahu, lantas Rasulullah menjelaskan al Kautsar adalah sebuah telaga atau sungai yang Allah Swt berikan kepada saya nanti di akhirat. Telaga itu memiliki kebaikan yang banyak yang akan diberikan kepada umatku nanti di hari kiamat dan Rasulullah menjelaskan karakteristik dari telaga itu:
Diskripsi telaga al Kautsar
Hadist Nabi SAW dalam riwayat Abdullah bin Umar: Artinya: “Telagaku seluas perjalanan selama satu bulan dan panjang tepi-tepinya sama dengannya. Air telaga itu lebih putih dari susu, wanginya lebih wangi dari minyak misk, cangkirnya sejumlah bintang-bintang yang ada di langit. Maka barangsiapa yang telah meminum air telaga tersebut, niscaya dia tidak akan merasakan haus selama-lamanya.” (HR Bukhari)
Fungsi al-Haudh dalam kehidupan akhirat adalah pertama, al-Haudh satu diantara tempat-tempat nabi Muhammad saw menunggu umatnya untuk diberi syafaat. Kedua, sebagai pos penyegaran orang-orang mukmin yang mengalami kedahsyatan dan kelelahan-kelelahan hari akhirat. Ketiga, sebagai telaga pembersih, pencuci dan sebagai nikmat awal sebelum seseorang memasuki surga. Keberadaan telaga ini menjadi sebuah impian setiap umat mukmin untuk mendatangi dan merasakan kesegarannya.
Letak telaga al Kautsar
Para ulama berbeda pendapat tentang letaknya di hari kiamat, setidaknya ada 3 pendapat:
Pertama, telaga Al Kautsar terletak di dalam surga berdasarkan hadits dari beberapa orang dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab shahih mereka melalui hadits Syaiban Ibnu Abdur Rahman, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa setelah Nabi Saw. dibawa naik ke langit, beliau menceritakan:
Artinya: Aku datang ke sebuah sungai yang kedua tepinya dipenuhi oleh kemah-kemah dari mutiara yang dilubangi, lalu aku bertanya, "Apakah ini, hai Jibril?” Jibril berkata, "Ini adalah Sungai Al-Kautsar.”
Kedua, telaga Al Kautsar terletak sebelum naik jembatan Shiratal Mustaqim berdasarkan pendapat hadits dari Saidah ‘Aisya ra dan Abi Jazim ra bahwa ada banyak orang yang tidak dapat memimum dari telaga tersebut.
Artinya: “Aku lebih dahulu dibanding kalian (sampai) di telaga. Ditunjukkan kepadaku (tentang telaga itu) beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan minuman untuk mereka dari telaga, mereka dijauhkan dariku. Lantas aku bertanya kepada Tuhanku: ini adalah umatku (mengapa dijauhkan?). Lalu Allah berfirman: engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu, sampai Rasulullahpun berkata, jauhkan, jauhkan mereka dari telagaku karena sudah mengganti sunnahku dengan yang lain ” (HR Muslim)
Ketuga, telaga terletak di luar dan di dalam surga, karena luasnya sehingga memanjang dari surga sampai keluar surga.
Kelompok yang tidak mendapat meminum dari al Haudh
Berdasarkan kepada hadits dari Aisyah ra yang diriwayatkan oleh imam Muslim di atas, ada orang-orang yang tidak dapat meminum air di telaga al Kautsar, sebagaimana Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan makna hadits bahwa para ulama saling berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan orang-orang yang disebut dalam hadits tersebut, yakni yang dikategorikan mereka adalah:
Pertama, orang yang meninggalkan sunnah Rasulullah. Kedua, orang yang beribadah dengan ibadah yang tidak sesuai sunnah Rasulullah. Ketiga, orang munafik dan orang yang murtad. Keempat, para pelaku maksiat, pembohong-pembohong, penipu, pelaku zalim yang perbuatannya itu menghambat mereka masuk ke dalam al Haudh.
Dapat disimpulkan dari keterangan imam an Nawawi, bahwa merekalah orang yang tidak mendapatkan syafaat telaga al Kautsar milik Rasulullah saw. Lantas munculah pertanyaan dalam benak kita, siapakah orang-orang yang mendapatkan syafaat tersebut.
Kelompok yang dapat minum dari al Haudh al Kautsar
Mukmin yang mendapatkan keistimewaan dari al Haudh adalah umat Rasulullah yang sanantiasa mengikuti tuntunan dan sunnah Rasulullah, maka seyoqyanya kita tekun untuk menjalankan petunjuk Rasulullah baik dalam bidang ibadah, aqidah, muamalah dan kehidupan sehari-hari, baik sunnah yang besar maupun yang kecil.
Selain mendapatkan syafaat Rasulullah saw, dengan kita mengamalkan sunnah Rasulullah saw, maka kita akan mendapatkan keutamaan lainya:
Pertama, kecintaan Allâh. Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. ”Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta’atilah Allâh dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS Ali Imran/3:31-32).
Kedua, kecintaan Kepada Nabi Muhammad saw. Seseorang tidak menjadi orang beriman yang sempurna hingga ia mencintai Nabi Muhammad SAW lebih daripada seluruh manusia. Rasûlullâh saw bersabda: Artinya, “Tidaklah beriman --dengan keimanan yang sempurna-- salah seorang dari kamu sehingga aku menjadi yang paling ia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. (HR Bukhâri, no 15; Muslim, no 44, dari Anas bin Malik).
Ketiga, ibadah yang kita lakukan menjadi amalan yang diterima. Karena diantara syarat diterimanya amal ibadah selain (iman dan ikhlas adalah ittiba’). Mengikuti tuntunan/sunnah Nabi Muhammad yaitu beribadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah).
Keempat, akan terhindar dari kesesatan hanya dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw. Artinya, “Katakanlah: Ta’atlah kepada Allâh dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban Rasul hanya menyampaikan (amanat Allâh) dengan terang”. (QS an-Nuur/24:54).
Kelima, menjaga keselamatan diri dari perselisihan dan perpecahan. Nabi saw berwasiat untuk berpegang pada sunnahnya dan sunnah Khulafaurrasyidin sebagai solusi jika terjadi perselisihan. Beliau saw bersabda:
Artinya, “Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allâh; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum Muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak; maka wajib kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. (HR Abu Dawud, no 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Keenam, menjadi faktor yang memasukkan ke dalam surga. Mentaati Rasul merupakan jalan ke surga. Nabi saw bersabda: “Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan!” Para sahabat bertanya: “Wahai, Rasûlullâh! Siapakah yang enggan?” Beliau menjawab: “Siapa saja mentaatiku, ia masuk surga, dan siapa saja bermaksiat kepadaku, maka ia benar-benar enggan (masuk surga)”. (HR Bukhari, no 7280, dari Abu Hurairah0.
Singkatnya, dengan kita mengamalkan sunnah Rasullah saw kita akan mendapatkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat yang Allah janjikan.
Semoga kita semua menjadi hamba Allah dan umat Rasulullah yang selalu mengamalkan sunnah beliau di setiap sendi-sendi kehidupan. Aamin ya Rabbal Alamin.
Disampaikan pada Khutbah Jumat, Masjid Jami' Al Mukarramah, Kemukiman Jruek, Indrapuri, Aceh Besar, tanggal 17 Juni 2022/17 Zulkaidah 1443 H
0 facebook:
Post a Comment