Oleh : Baihaqi
Indonesia masih belum terbebas dari ancaman terorisme mengingat banyaknya kasus mulai dari teror bom Bali, JW Marriot, pelatihan militer di Bukit Jalin Aceh, Bom Thamrin, Santoso, dan lain sebagainya. Sebagai Negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi magnet untuk menyebarkan paham radikalisme untuk kemudian melakukan tindakan teror melalui doktrin – doktrinnya.
Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi aksi yang ekstrem. Tentunya potensi radikalisme dan terorisme di suatu daerah, diyakini dapat dicegah melalui pendekatan sosial budaya berbasis kearifan lokal yang bijaksana dan bernilai luhur.
Aceh sendiri yang notabenenya daerah bekas konflik dan baru saja merayakan peringatan ulang tahun perdamaian antara GAM dan Pemerintah Republik Indonesia ke 17 juga tak luput dari sasaran penyebaran paham radikalisme. Mulai dari latihan militer teroris di bukit Jalin Aceh Besar, hingga ditangkapnya beberapa orang yang terlibat jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dari Aceh beberapa waktu lalu. Hal ini membuktikan bahwa Aceh yang masyarakatnya mayoritas muslim masih menjadi sasaran untuk penyebaran paham radikalisme ini.
Fatwa MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama - didaerah lain disebut MUI) Aceh nomor 2 tahun 2010 tentang terorisme menyebutkan bahwa hukum dari aksi teror / pelaku teror / terorisme adalah haram dan dosa besar karena berdampak merusak bagi aspek keamanan, ekonomi, keagamaan, edukasi,psikologis serta memperburuk citra agama dan pemeluknya. MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) dalam fatwa nomor 3 tahun 2004 tentang terorisme juga mengeluarkan hukum haram bagi pelaku teror.
Ada beberapa rekomendasi yang dikeluarkan oleh MPU Aceh diantaranya :
1. Menyarankan kepada pemerintah untuk dapat berlaku lebih tegas dalam penegakan hukum termasuk penindakan terhadap aliran-aliran yang menyimpang dari Syariat Islam.
2. Menyarankan kepada Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap aliran-aliran yang dapat menimbulkan kesalah pahaman dalam masyarakat tentang jihad tujuan dan sasarannya.
3. Manyarankan kepada pemangku kepentingan bidang pendidikan untuk dapat memasukkan materi anti terorisme ke dalam muatan kurikulum.
4. Mengimbau masyarakat untuk tidak terpancing terhadap isu-isu negatif yang berkembang sebelum berkonsultasi dengan ulama, tokoh masyarakat dan pihak terkait lainnya.
Aceh sendiri merupakan Provinsi ke 16 di Indonesia yang memiliki Duta Damai melalui seleksi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Duta Damai ini nantinya bertugas untuk menyebarkan konten-konten perdamaian, kebaikan, moderasi berbangsa, moderasi beragama serta melaksanakan kegiatan-kegiatan bersama stakeholder daerah dan rekan duta damai di provinsi lainnya untuk menyuarakan perdamaian dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masing – masing daerah.
Menurut pakar intelijen, Soleman B Ponto, menyebutkan bahwa unsur pembentuk teror ada Sembilan yaitu : Pemimpin, Tempat Latihan, Jaringan, Dukungan logistik, Dukungan Keuangan, Pelatihan, Komando dan Pengendalian, Rekrutmen, serta Daya Pemersatu. Pembentuk teror tersebut akan gagal jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka disinilah salah satu peran Duta Damai Aceh memutus mata rantai unsur tersebut guna pencegahan terbentuknya paham radikalisme baik melalui media sosial maupun aksi nyata.
Melalui fatwa MPU Aceh yang telah disebutkan diatas, hemat penulis bahwa Duta Damai Aceh mempunyai tugas mulia dalam rangka mencegah paham -paham radikal melalui literasi perdamaian, berkolaborasi dengan ulama/tengku/tokoh agama yang mempunyai pengaruh luar biasa di Aceh, sehingga kehadiran Duta Damai Aceh ini membawa sebuah “pendidikan perdamaian masyarakat berbasis kearifan lokal “ dalam rangka mencegah penyebaran paham radikalisme, _Insya Allah._
_(Dikutip dari berbagai sumber)_
0 facebook:
Post a Comment