Oleh: Juariah Anzib, S.Ag Penulis Buku Menapaki Jejak Rasulullah Dan Sahabat |
lamurionline.com -- Kesederhanaan selalu mengundang keberkahan yang datangnya dari ketulusan dan keikhlasan. Sedangkan kemewahan terkadang membawa kemalangan yang bersumber dari kesombongan, keangkuhan, keserakahan, riya, takabur, serta sifat-sifat tercela lainnya.
Seorang sahabat Rasulullah saw yang taqwa dan zuhud, hidup dalam kesederhanaan. Padahal ia tidak tergolong miskin, karena kebutuhannya berkecukupan. Ia tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari tanah dan batu kasar. Tidak ada kemewahan di dalamnya, melainkan sekedar makanan untuk makan sehari-hari. Rumah siapakah itu? Mari kita menguak kisah tentang pemilik rumah keberkahan ini.
Khalil Muhammad Khalil dalam bukunya Biografi 60 Sahabat Nabi Saw mengisahkan, ketika Rasulullah saw memasuki kota Madinah mengakhiri perjalanan hijrahnya, beliau berjalan di tengah keramaian dengan mengendarai unta tunggangannya. Baginda nabi berjalan sampai ke perkampungan Bani Salim bin Auf, lalu melewati pemukiman Bani Bayadhah, terus ke kampung Bani Sai'dah, terus melaju ke kampung Bani Harits bin Khazraj, kemudian sampai ke kampung Bani Adi bin Najjar di Madinah.
Sepanjang perjalanan yang dilewati Rasulullah saw, tidak sedikit diantara warga yang berusaha mencoba menghentikan langkah untanya. Mereka berkeinginan agar Rasulullah berhenti dan menetap di kampung mereka. Namun Rasulullah saw menjawab tawaran mereka dengan ramah. Akan tetapi, beliau terus saja berjalan dengan menyerahkan pilihan tempat tinggalnya kepada takdir. Beliau membiarkan untanya terus berjalan tanpa menghentikan langkahnya, seraya menyerahkan semua urusan kepada Allah Swt sambil berdoa, "Ya Allah, tunjukkan tempat tinggalku dan pilihkanlah untukku."
Dalam bukunya Khalil Muhammad Khalil menulis, ketika tiba di depan rumah Bani Malik bin Najjar, unta tunggangan Rasulullah saw menderum. Ia berputar-putar di sekitar itu, lalu kembali lagi. Ia bangkit dan menderum lagi, kemudian tidak beranjak dari tempatnya. Rasulullah saw turun lalu masuk ke rumah seseorang. Rumah siapakah yang mendapat kebahagian tersebut? Itulah rumah seorang zuhud dan sederhana, sehingga Rasulullah saw menjadi tamu kehormatan baginya. Dia adalah Abu Ayyub Al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar.
Sungguh keberuntungan telah dilimpahkan Allah kepada Abu Ayyub. Kini Rasulullah saw tinggal di rumahnya, tempat yang nantinya akan muncul satu masjid dan beberapa bilik di sekitarnya. Kaharuan menyelimuti Abu Ayyub yang menyebabkan orang lain iri dengan keberuntungannya. Namun semua sudah menjadi ketentuan Allah Swt. Allah akan memberi kemuliaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Sejak saat itu Rasulullah saw menetap di Madinah dan menjadikan kota tersebut sebagai ibu kota bagi agama Islam.
Ketika menempati rumah Abu Ayyub, Rasulullah saw telah memilih tempat di lantai satu. Namun saat Abu Ayyub harus menempati lantai dua yang posisinya di atas, sungguh membuatnya tidak nyaman. Dia tidak dapat membayangkan jika ia harus berada di tempat yang lebih tinggi, sementara Rasulullah saw di bawahnya. Maka Abu Ayyub memohon kepada Rasulullah saw agar beliau naik ke lantai dua dan dia di lantai bawah. Rasulullah saw menyetujui permintaannya. Begitu mulia dan rendahnya hati sang pahlawan mulia ini. Baginda nabi tinggal di rumah Abu Ayyub sampai pembangunan masjid dan rumahnya selesai dibangun.
Menurut Khalil Muhammad Khalil, Abu Ayyub seorang pejuang yang berjihad di perang Badar, Uhud, Khandak, serta perang-perang lainnya. Hingga Rasulullah saw wafat ia terus saja berjihad. Sepanjang kisah hidupnya hanya satu perang yang tidak diikutinya. Hal tersebut karena tampuk pimpinan diserahkan kepada seorang muslim muda, sedangkan dia tidak menyetujuinya. Namun akhirnya ia menyesali hal tersebut. Selain itu tidak ada satu perang yang dilewatinya.
Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, ia berpilihak kepada Ali. Saat Ali terbunuh dan kekhalifahan berpindah kepada Muawiyah, dalam kezuhudannya ia tetap bertawakal kepada Allah. Dia berharap akan tersedia lowongan berjuang di barisan mujahidin. Ternyata hal tersebut terkabul. Ketika mendengar tentara Islam bergerak ke arah Konstantinopel, ia bergegas berangkat mencari kesyahidan yang didambakan.
Dalam pertempuran itu ia mengalami luka parah yang membawanya kepada kematian. Menjelang kamatiannya, panglima pasukan Yazid bin Muawiyah datang dan bertanya, apa yang engkau inginkan, maka ia menjawab, "Jika ajalku telah datang, bawalah jasadku jauh-jauh sampai ke negeri Rumawi tempat kemenangan umat Islam nantinya, untuk mengikuti gerakan tentara Islam, kibaran bendera, bunyi telapak kuda dan gemerincing pedang-pedangnya." Ia ingin menyaksikan hal tersebut dari bawah tanah kematiannya.
Kini jasadnya masih terkubur di negara Rumawi, namun bunyi gemerincing pedang dan derap telapak kuda tidak terdengar lagi, karena sudah berganti dengan suara azan yang berkumandang di menara-menara yang menjulang tinggi di angkasa.
Kuburannya dianggap sebagai salah satu tempat keberkahan, sehingga banyak orang mengunjunginya. Bahkan, mereka menjadikannya sebagai tempat berdoa dan meminta hujan dikala musim kemarau. Begitu mulia pahlawan Islam ini. Meskipun sudah tiada, ia tetap diberkahi oleh Yang Maha Memberi Berkah. Semoga Allah meridhainya.
0 facebook:
Post a Comment