Oleh: Syahrati, S. HI., M. Si

Penyuluh Agama Islam Fungsional Bireuen

Islam merupakan salah satu agama yang paripurna. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam diyakini berisi informasi lengkap dengan petunjuk untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya politik. Berbeda dengan persoalan ibadah yang di dalam Al-Qur’an dijelaskan dengan terperinci, lain halnya dengan aspek kemasyarakatan dan ketatanegaaraan dalam konsep politik dijelaskan hanya secara garis besar dan bersifat umum.  Hal ini dimaksudkan agar ajaran Islam selalu selaras dengan perkembangan zaman, artinya Islam up to date dengan arus politik mutakhir.

Istilah politik dalam bahasa Arab dikenal dengan siyasah, yang secara bahasa  artinya mengatur. Kata ini diambil dari akar kata “sasa-yasusu”, yang berarti mengemudikan, mengendalikan,  dan mengatur.  Pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari mafsadat, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah saw. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian politik sebagai sarana dalam mendorong kemaslahatan makhluk dengan memberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.  Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah, politik harus sesuai dengan syariat Islam, yaitu setiap upaya, sikap, dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syariat.

Al Qaradhawy dalam bukunya Al Siyasah al Sya’iyyah menyebutkan dua makna siasah menurut ulama, yaitu arti umum dan arti khusus. Secara umum siasah berarti pengaturan berbagai urusan manusia dengan syariat Islam. Secara khusus siasah bermakna kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh penguasa guna mengatasi suatu mafsadat yang timbul atau sebagai solusi bagi suatu keadaan tertentu. Sementara Ahmad Fathi Bahansi mendefinisikan siyasah syar’iyyah dengan pengaturan kemaslahatan manusia berdasarkan syara’.

Untuk mencapai tujuan umum prinsip syariat, kehidupan manusia tidak terlepas dari yang namanya perpolitikan. Manusia juga tidak dapat menghindari politik, karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. Sejatinya antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan, karena politik bagian dari risalah Islam yang sempura. Orang yang ingin mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Kebijakan yang baik lahir dari perpolitikan, begitupun dengan kebijakan buruk juga akan lahir dari pelaku politik tidak beradab. Bagaimana jadinya sebuah negara apabila kekuasaan politik dikuasai oleh politikus yang bermental buruk.

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali, bahwa dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).

Mengutip ungkapan Iman Al-Ghazali dalam buku Yusuf Qadrhawi yang bertajuk Fatwa-Fatwa Kontemporer menyebutkan, “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”.

Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda -- memelihara agama sekaligus mengatur dunia -- dengan sasaran pencapaian kemaslahatan umum. Hal ini menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Politik dalam Islam bukan sekadar mencari dan mempertahankan jabatan, bukan hanya simbol dan semboyan. Politik dalam Islam sesungguhnya adalah bagaimana menjadi konsisten dalam memperjuangkan nilai kebaikan agama dan komitmen mengikuti jejak Rasulullah dan merujuk kepada pola politik para khulafaurrasyidin.

Menurut Ibni Taimiyah,  kepemimpinan merupakan bagian dari menunaikan amanat. Terdapat beberapa karakter kepemimpinan yang amanah sebagaimana yang disebutkan oleh Ustaz Adi Hidayat. Karakter pertama adalah memberikan ketenangan bagi masyarakat yang dipimpin. Kedua, amanah berlatih dengan ibadah melahirkan kedamaian dan refleksi dalam nilai-nilai kepemimpinannya. Kemudian karakter yang ketiga,  mendapatkan bimbingan langsung dari Allah Swt untuk menata seluruh aktifitasnya. Karakter keempat yaitu mampu membawa perubahan yang berkemajuan dan yang terakhir yaitu membawa nilai-nilai keadilan.  

Prilaku Politik

Politik oleh sebagian masyarakat dikonotasikan sebagai aktifitas yang buruk. Mungkin tidak berlebihan atas anggapan tersebut dengan segala realitas yang terjadi dalam aktifitas politik. Aktifitas politik cenderung kepada kebohongan atas narasi janji-janji tak ditepati. Politik digunakan hanya untuk meraup kekayaan pribadi dan memanipulasi orang lain, akal-akalan kebijakan, lelucon dalam penganggaran, perampasan hak-hak rakyat dan aktifitas negatif lainnya yang melekat pada politik menjadikan banyak masyarakat alergi mendekati dunia perpolitikan yang akan menjatuhkan harga diri.. 

Memandang politik hanya dari sisi buruknya saja itu bukanlah suatu hal yang bijak, karena bagaimanapun juga dalam hidup berbangsa dan bernegara ini tidak akan bisa terlepas dari aktifitas politik. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Aristoteles bahwa politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari oleh manusia. 

Sebagai hamba Allah di muka bumi dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah untuk mencapai rida Allah dan menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya. Menjadi kewajiban setiap muslim untuk menetapkan kepemimpinan yang dapat mendorong pada pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, taat pada Allah dan Rasul-Nya. 

Semoga Allah membimbing kita untuk dapat melihat karakter kepemimpinan baru dan membawa pada pilihan tepat, sehingga selalu menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat. Wallahu’alam bishawab. 

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top