Oleh:Juariah Anzib, S.Ag
Penulis Buku Menapaki Jejak Rasulullah Dan Sahabat
Suatu hari saya bersama senior PII, Raihannas, S.Pdi berkunjung ke Masjid Hj.Teungku Fakinah. Bangunan tua yang sangat berkesan dan mempesona ini, memiliki atap berbentuk piramida dengan luas masjid sekitar 10×10 meter persegi. Di sisi bagian kiblat terdapat mimbar tempat khutbah Jumat dan hari raya. Lingkungan yang asri, menyejukkan, dan teduh.
Keaslian bangunan masih sangat utuh. Dihiasi indahnya sumur tua yang alami, airnya bersih dan jernih. Berdampingan dengan sebuah kolam yang dahulu digunakan sebagai tempat mengambil air wudhuk ketika akan menunaikan ibadah shalat. Masjid indah nan mungil ini dikelilingi beberapa pohon sawo yang selalu berbuah lebat dan rindang.
Raihannas menceritakan, masjid ini penuh berkah dan kenangan di masa lalu. Ketika masih kanak-kanak, Raihan bersama orang tuanya selalu mengerjakan shalat tarawih di masjid ini. Ia sering berdiri di pojok paling belakang, karena masih kecil. Sedangkan jamaah dewasa memenuhi ruang masjid sampai bulan suci Ramadhan berakhir.
Menurut Raihannas, masjid tua ini sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Masjid ini dibangun atas gagasan perempuan hebat, salihah, dan alim. Dialah pembela kaum perempuan dan pemberani, Hj.Teungku Fakinah. Pahlawan Aceh yang sangat harum namanya di kalangan rakyat Aceh.
Bersama rakyat, Hj. Teungku Fakinah bekerja sama mendirikan masjid mulia ini. Ia berkomitmen, meskipun di tengah-tengah perjuangan dan peperangan mengusir penjajah di bumi tercinta ini, agenda agama juga harus diprioritaskan. Karena, dengan kekuatan agama negara ini dapat terselamatkan dari kaum penjajah. Masjid dibangun sebagai tempat beribadah dan bermusyawarah menyelesaikan maslah-masalah umat. Bahkan, masjid sebagai tempat menyusun kekuatan mengusir penjajah demi meraih kemerdekaan bangsa.
Konon cerita, Masjid Hj.Teungku Fakinah dibangun dengan menggunakan bahan pelekat bangunan yang alami, yaitu telur ayam dan telur bebek. Karena, pada masa tersebut belum ada semen. Warga setempat ketika itu bekerja sama mengambil pasir dari dalam sungai Limpah yang ada di Gampong Luthu Sibreh, Aceh Besar. Mereka bergotong-royong bersama mengangkut pasir dengan menggunakan empang duek, sejenis wadah yang dianyam dari daun iboh.
Masyarakat menyumbangkan telur secara suka rela yang digunakan sebagai perekat bangunan masjid. Pasir halus dicampur dengan telur kemudian dicor. Dengan kekuatan persatuan dan kesatuan masjid Hj.Teungku Fakinah dapat berdiri dengan kokoh. Berkat idenya yang cemerlang, masjid berdiri megah hingga sekarang. Tempat ibadah tersebut masih dapat dimanfaatkan dengan tiang-tiang penyanggah yang kuat. Terdiri dari kayu-kayu rimba raya dan sangat kuat. Oleh karenanya, untuk mengenang jasa sang Srikandi Aceh yang pemberani ini, maka masjid tersebut diberi nama Masjid Hajjah Teungku Fakinah.
Pepatah Aceh mengungkapkan, matee aneuk meupat jeurat, gadoh adat ho tamita. Cagar budaya yang sudah dibiayai pemerintah ini kita jaga dengan lebih baik, agar bukti sejarah tidak hilang begitu saja ditelan masa. Aceh banyak menyimpan sejarah dan kenangan yang mengesankan. Sudah menjadi tugas kita selaku warga Aceh untuk melestarikannya. Memelihara budaya dan peninggalan sejarah Aceh hebat sebagai warisan leluhur para indatu kita untuk generasi yang akan datang. Aceh bersyariat selalu memprioritaskan masjid sebagai rumah ibadah bagi umat Islam.
Editor: Sayed M. Husen
0 facebook:
Post a Comment