Oleh Saifuddin A. Rasyid

Kepala Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama (PKMB) UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Keputusan Kepala BPIP, Prof. Yudian Wahyudi, baru-baru ini adalah sebuah langkah yang tidak patut dan memalukan. Keputusan ini tidak hanya merugikan lembaga yang dipimpinnya, tetapi juga mencoreng misi utama BPIP meskipun permintaan maaf telah diajukan.

Permintaan maaf saja tidak cukup. BPIP tetap terkena dampaknya. Seperti sudah menjadi tren, kesalahan dilakukan—entah disengaja atau karena kurang pertimbangan—kemudian diikuti dengan permintaan maaf. Meskipun karakter masyarakat Indonesia yang permisif dan pemaaf sering kali mengedepankan pemaafan, langkah keliru ini tetap meninggalkan bekas.

Keputusan untuk melarang jilbab bagi anggota paskibraka perempuan yang muncul menjelang peringatan kemerdekaan RI ke-79 ini jelas merugikan. Tidak hanya BPIP yang dirugikan, tetapi keputusan tersebut juga mengusik harmoni kehidupan berbangsa yang dibangun dengan darah dan air mata oleh para pejuang dan pendiri bangsa.

Keberagaman adalah ciri khas bangsa Indonesia sekaligus kekuatannya. Sejak lama, konsep kebhinekaan telah menjadi fondasi bagi kehidupan berbangsa. Dari usia dini, anak-anak sudah diajarkan untuk menghargai dan menghormati perbedaan. Secara bertahap, guru-guru membangun pemahaman dan semangat saling menghargai agar tumbuh dalam diri setiap warga negara. Namun, seperti petir yang datang tiba-tiba, semangat kebhinekaan ini dirusak dengan kehendak untuk memaksakan “keseragaman.”

Sungguh ironis bahwa BPIP, lembaga negara yang dibentuk untuk merawat harmoni berbangsa dan menyatukan semangat di tengah perbedaan, justru membuat kesalahan yang bertentangan dengan misinya sendiri.

Kita tentu masih ingat, pada awal masa jabatannya sebagai Kepala BPIP tahun 2020, Prof. Yudian sudah membuat blunder dengan pernyataannya bahwa "musuh terbesar Pancasila adalah agama." Pernyataan ini langsung memicu reaksi keras dari tokoh-tokoh agama di Indonesia, baik Islam maupun agama lainnya. Pernyataan ini dianggap aneh dan sangat berisiko. Bagaimana bisa agama dianggap sebagai musuh Pancasila, sementara Pancasila sendiri adalah hasil konsensus dari nilai-nilai lokal dan norma yang hidup dalam akar budaya bangsa?

Pernyataan Prof. Yudian ini tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak sejalan dengan falsafah negara, karena setiap warga negara Indonesia wajib memeluk agama yang diakui oleh konstitusi. Pancasila bukanlah agama, melainkan hasil dari pemikiran dan konsensus tokoh-tokoh bangsa yang menggali nilai-nilai agama dan budaya lokal. Jika seorang warga negara menjalankan ajaran agamanya dengan baik, maka dia sejatinya telah mengamalkan Pancasila.

Blunder ini kemudian diikuti dengan permintaan maaf, namun efeknya tetap membekas. Kini, beliau kembali mengulangi kesalahan serupa. Melalui BPIP, aturan yang mengharuskan seluruh anggota paskibraka menandatangani pernyataan di atas materai, termasuk soal pakaian yang dikenakan saat upacara peringatan kemerdekaan, telah mengundang kritik. Apakah anggota paskibraka perempuan punya pilihan lain jika ingin tetap bergabung? Publik menilai ini sebagai bentuk pemaksaan.

Apakah salah jika perhatian dan kecaman publik tertuju pada Prof. Yudian? Orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, pimpinan ormas, pimpinan partai politik, bahkan lembaga tinggi negara seperti DPR RI dan Istana Negara, serta MUI, secara serentak mengecam keputusan tersebut. Banyak yang meminta Prof. Yudian diganti. Namun, pola yang sama kembali terulang: membuat kesalahan lalu meminta maaf, dan kesalahan itu boleh diulangi.

Kekerasan Spiritual

Menyampaikan pendapat atau mengambil keputusan yang menyebabkan ketidaknyamanan bagi umat beragama, menurut prinsip moderasi beragama, adalah bentuk kekerasan spiritual. Kekerasan spiritual ini dapat diukur dari perilaku atau tindakan ekstrem yang memaksa tanpa memberikan pilihan, sehingga pihak tertentu merasa terganggu dan tidak nyaman menjalankan hak-haknya sesuai perintah agama.

Lukman Hakim Saifuddin (LHS), Menag RI 2014-2017 dan penulis konsep moderasi beragama, dalam cuitannya pada 14 Agustus 2024 menyebut bahwa "larangan berjilbab bagi perempuan paskibraka 2024 adalah kebijakan yang berlebihan dan melampaui batas." Dari sudut pandang moderasi beragama, sikap atau kebijakan yang ekstrem adalah radikal. Jika sikap dan kebijakan Prof. Yudian dibiarkan, maka ini bisa disebut sebagai bentuk radikalisme negara terhadap rakyatnya.

Di sisi lain, Kementerian Agama telah lama menjadikan moderasi beragama sebagai program prioritas, bahkan diangkat menjadi Peraturan Presiden nomor 58 tahun 2023. Program ini bertujuan mempromosikan harmoni dalam kehidupan berbangsa dengan menghargai keberagaman dan perbedaan. Energi besar yang dikucurkan untuk cita-cita agung ini tiba-tiba dirusak oleh kecerobohan pihak tertentu.

Apa yang harus kita lakukan? Jalankan ajaran agama dengan baik karena dengan demikian kita telah mengisi dimensi terbuka dari Pancasila. Standar kita, umat Islam, adalah Rasulullah SAW. Kita harus terus membela merah putih sebagai wujud spirit kebangsaan kita di rumah besar bersama ini, Indonesia. Waspadalah terhadap pihak yang mencoba merusak harmoni karena kekurangan ilmu atau untuk kepentingan tertentu. Dirgahayu Republik Indonesia. Wallahu a’lam.

saifuddin.rasyid@gmail.com

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top