Oleh: Supiati, S. Ag., M. Sos

Sekretaris PD IPARI Kota Banda Aceh


Saat Indonesia merayakan 79 tahun kemerdekaannya, kita dihadapkan pada sebuah refleksi yang mendalam tentang sejauh mana kita telah mencapai cita-cita kemerdekaan yang sejati. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata telah menghasilkan banyak kemajuan di berbagai bidang—ekonomi yang tumbuh, pendidikan yang lebih merata, dan infrastruktur yang berkembang pesat. Namun, di balik kemegahan pencapaian tersebut, terdapat satu aspek yang menunjukkan bahwa kemerdekaan kita belum sepenuhnya merata: peran perempuan dalam politik.

Meski kemerdekaan membawa harapan dan peluang baru bagi semua warga negara, termasuk perempuan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kita masih menghadapi ketimpangan yang signifikan. Keterwakilan perempuan dalam politik, meskipun diatur oleh undang-undang kuota, tetap jauh dari angka yang diharapkan. Situasi ini mencerminkan bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender di ranah politik belum sepenuhnya terwujud.

Kita perlu menggali lebih dalam untuk memahami alasan di balik ketimpangan ini dan mencari solusi yang dapat memastikan bahwa kemerdekaan yang kita rayakan juga berarti kemerdekaan yang sama bagi semua, tanpa terkecuali. Dalam pandangan ini, artikel ini akan menyoroti tantangan yang dihadapi perempuan dalam politik Indonesia dan mengajukan langkah-langkah konkret yang diperlukan untuk mewujudkan kemerdekaan yang utuh dan inklusif.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi

Adanya realitas ketimpangan politik, meskipun Indonesia telah mencatatkan berbagai kemajuan dalam bidang ekonomi dan sosial, ketimpangan dalam representasi politik perempuan tetap mencolok. Data menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di DPR masih berada di angka sekitar 20%, jauh dari kuota 30% yang diamanatkan oleh undang-undang. Angka ini mencerminkan gap yang signifikan antara komitmen hukum dan realitas di lapangan.

Stereotip gender dan norma budaya, merupakan penghalang utama bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik adalah stereotip gender dan norma budaya yang sudah mendarah daging. Di banyak komunitas, politik dianggap sebagai domain laki-laki, dan perempuan sering kali dipandang sebagai kurang cocok untuk posisi kepemimpinan. Pandangan ini bukan hanya menghambat peluang perempuan untuk terlibat dalam politik, tetapi juga mengurangi kepercayaan diri mereka dalam mengejar karier politik.

Dr. Sara B. Hanson, seorang ahli dalam studi gender dan politik, menyatakan bahwa ketimpangan gender dalam politik sering kali disebabkan oleh stereotip yang membatasi pandangan tentang kemampuan perempuan. Menurutnya, stereotip ini tidak hanya menghalangi perempuan untuk terlibat dalam politik tetapi juga memengaruhi bagaimana mereka diperlakukan dan dinilai saat mereka berada di posisi politik. Hanson menekankan perlunya perubahan dalam pandangan budaya dan sosial untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung partisipasi perempuan dalam politik.

Ketergantungan ekonomi dan sosial juga menjadi faktor signifikan. Banyak perempuan yang ingin terjun ke dunia politik menghadapi kendala finansial yang berat. Biaya kampanye yang tinggi, kurangnya akses ke dana, dan jaringan politik yang terbatas sering kali menjadi hambatan besar. Ketergantungan ekonomi dan kurangnya dukungan sosial membuat banyak calon perempuan terpaksa mundur dari arena politik sebelum mereka memiliki kesempatan untuk menunjukkan potensi mereka.

Dr. Judith Squires, seorang peneliti di bidang kesetaraan gender, mengidentifikasi ketergantungan ekonomi sebagai salah satu hambatan utama bagi perempuan dalam terlibat aktif di politik. Menurutnya, banyak perempuan yang berminat berkarir di politik menghadapi tantangan finansial dan kekurangan dukungan terkait pendanaan kampanye, yang sering kali menghalangi mereka untuk bersaing secara adil. Squires menganjurkan perlunya reformasi dalam sistem pendanaan politik untuk memberikan dukungan yang lebih besar kepada calon perempuan.

Dukungan dan mentoring yang kurang memadai juga memainkan peran penting dalam ketimpangan ini. Perempuan yang bercita-cita memasuki politik sering kali tidak memiliki akses ke bimbingan dan jaringan yang diperlukan untuk sukses. Program-program pelatihan dan mentoring yang khusus ditujukan untuk calon perempuan masih jarang, sehingga menghambat pengembangan kapasitas kepemimpinan dan kemampuan mereka untuk berkompetisi di tingkat yang lebih tinggi.

Norma keluarga dan tekanan sosial turut memperburuk situasi ini. Banyak perempuan menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan antara tanggung jawab domestik dan karier politik. Tekanan untuk memenuhi peran tradisional sebagai ibu dan istri sering kali menghambat ambisi politik mereka. Selain itu, ada pula tekanan sosial untuk menjaga keharmonisan keluarga, yang membuat mereka enggan untuk mengambil risiko dalam memasuki dunia politik.

Hal ini didukung oleh Dr. Purna Sen, Direktur Global Gender Equality Initiative, yang menjelaskan bahwa norma-norma budaya yang menekankan peran domestik perempuan sering kali membuat mereka merasa terjepit antara tanggung jawab keluarga dan ambisi politik. Sen menambahkan bahwa tekanan sosial untuk menjaga keharmonisan keluarga juga berkontribusi pada keraguan perempuan untuk terjun ke dunia politik. Tekanan ini menciptakan lingkungan yang kurang mendukung bagi perempuan yang ingin berpartisipasi secara aktif dalam politik, sehingga membatasi kesempatan mereka untuk berperan dalam pengambilan keputusan publik.

Menuju Kemerdekaan yang Utuh

Kemerdekaan yang utuh tidak hanya berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga mencakup kesetaraan dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik. Untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya, kita perlu mengatasi ketimpangan ini dengan langkah-langkah yang konkret dan sistematis:

1. Reformasi Kebijakan: Pemerintah dan partai politik harus memastikan implementasi kuota perempuan secara efektif dan tidak hanya sebagai formalitas. Ini termasuk penempatan perempuan pada posisi strategis dan memberikan dukungan yang dibutuhkan.

2. Dukungan Finansial dan Akses: Menyediakan fasilitas finansial dan dukungan kampanye yang adil bagi calon perempuan, serta mempermudah akses ke sumber daya yang diperlukan untuk kampanye yang sukses.

3. Program Mentoring dan Pelatihan: Membentuk program mentoring dan pelatihan yang khusus dirancang untuk calon perempuan, agar mereka mendapatkan bimbingan dan dukungan yang diperlukan untuk sukses dalam politik.

4. Mengubah Normatif Sosial: Mendorong perubahan budaya dan sosial yang menghargai peran perempuan dalam politik. Kampanye kesadaran dan pendidikan tentang kesetaraan gender di seluruh masyarakat sangat penting untuk mengatasi stereotip dan norma yang membatasi.

Kemerdekaan yang telah kita nikmati selama 79 tahun memang telah membawa banyak kemajuan, namun belum sepenuhnya mencerminkan kesetaraan yang sesungguhnya. Keterlibatan perempuan dalam politik merupakan salah satu indikator penting dari kemerdekaan yang utuh. Untuk mewujudkan visi kemerdekaan yang lebih lengkap dan inklusif, kita perlu secara serius mengatasi ketimpangan yang ada dan memastikan bahwa setiap perempuan memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam politik.

Komitmen kita untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan menghargai suara perempuan dalam pengambilan keputusan akan menjadi langkah krusial dalam mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Mari bersama-sama bekerja untuk menghilangkan hambatan yang menghalangi partisipasi perempuan dan menciptakan ruang di mana suara mereka tidak hanya didengar, tetapi juga diakui dan diterima. Hanya dengan mengupayakan keadilan dan kesetaraan dalam politik, kita dapat benar-benar merayakan kemerdekaan yang berarti bagi semua.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top