Oleh: Supiati, S. Ag., M. Sos

Sekretaris PD IPARI Kota Banda Aceh

Kasus Cut Intan, seorang selebgram asal Aceh yang viral karena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), memang telah menarik perhatian publik dan media. Namun, seperti banyak kasus kekerasan rumah tangga lainnya, sebut saja Linda, seorang wanita asal Aceh, mengalami kekerasan rumah tangga yang berlangsung selama lebih dari satu dekade. Dia mengalami berbagai bentuk kekerasan, termasuk pemukulan dan perlakuan kasar lainnya dari suaminya. Siti Aisyah, seorang wanita di Jakarta, mengalami kekerasan rumah tangga selama lebih dari 15 tahun. Selama periode tersebut, dia mengalami kekerasan fisik dan emosional yang parah dari suaminya

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masalah global yang mempengaruhi wanita di seluruh belahan dunia. Kasus-kasus kekerasan rumah tangga tidak terbatas pada satu negara atau budaya tertentu, hal ini terjadi di berbagai belahan bumi dengan berbagai tingkat keparahan dan pengungkapan.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah isu serius yang mengancam kesejahteraan dan hak asasi manusia perempuan di seluruh dunia. Meskipun banyak upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan memberikan dukungan, banyak perempuan masih memilih untuk diam ketika menghadapi kekerasan dari pasangan mereka. Keheningan ini bukanlah sebuah pilihan yang sederhana, melainkan hasil dari berbagai faktor kompleks yang mempengaruhi keputusan mereka untuk tidak melapor atau mencari bantuan. 

Dari banyak sumber penelitian bidang shikologi dan sosial ada beberapa alasan mengapa  korban serupa mungkin memilih untuk tetap diam atau lambat dalam berbicara:

1. Stigma Sosial dan Malu; Stigma sosial adalah salah satu alasan utama mengapa perempuan sering kali memilih untuk diam. Dalam banyak masyarakat, terdapat pandangan negatif dan stigma terhadap korban kekerasan rumah tangga. Perempuan yang melapor sering kali dianggap lemah, atau bahkan disalahkan atas kekerasan yang mereka alami. Kecemasan akan penilaian negatif dari masyarakat dan keluarga membuat banyak perempuan enggan untuk berbicara tentang pengalaman mereka. Mereka khawatir akan kehilangan reputasi, kehormatan, atau bahkan rasa malu yang mendalam.

2. Ketergantungan Ekonomi; Ketergantungan ekonomi terhadap pasangan juga menjadi faktor penting. Banyak perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga berada dalam situasi di mana mereka bergantung secara finansial pada pasangan mereka. Ketergantungan ini sering kali membuat mereka merasa tidak memiliki pilihan untuk meninggalkan hubungan atau melapor kepada pihak berwenang. Kekhawatiran tentang masa depan finansial dan kesejahteraan anak-anak mereka sering kali menghambat keberanian mereka untuk mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri sendiri.

3. Takut Akan Pembalasan; Ketika seorang perempuan melaporkan kekerasan yang dialaminya, dia sering kali menghadapi risiko pembalasan dari pelaku. Pelaku kekerasan sering kali mengancam untuk melukai korban atau anggota keluarga mereka jika mereka melaporkan kekerasan tersebut. Ketakutan akan kekerasan yang lebih parah atau ancaman terhadap keselamatan pribadi dan keluarga dapat membuat perempuan merasa terpaksa untuk tetap diam dan tidak melapor.

4. Kurangnya Dukungan dan Sumber Daya; Banyak perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga merasa tidak memiliki akses ke dukungan dan sumber daya yang memadai. Ketersediaan tempat perlindungan, layanan konseling, dan bantuan hukum sering kali terbatas, terutama di daerah pedesaan atau komunitas yang kurang berkembang. Tanpa akses ke sumber daya ini, perempuan merasa terjebak dalam situasi mereka dan tidak tahu kemana harus mencari bantuan.

5. Trauma Psikologis dan Perasaan Tidak Berdaya; Trauma psikologis yang diakibatkan oleh kekerasan rumah tangga dapat mempengaruhi kemampuan perempuan untuk bertindak. Rasa tidak berdaya, depresi, dan rasa malu sering kali menghambat mereka untuk mencari bantuan. Perasaan terjebak dalam siklus kekerasan dan kurangnya kepercayaan diri untuk berbicara dapat membuat perempuan merasa seolah-olah tidak ada solusi untuk masalah mereka.

6. Norma Budaya dan Keluarga; Norma budaya dan nilai-nilai keluarga juga memainkan peran penting. Dalam banyak budaya, ada keyakinan bahwa masalah rumah tangga harus diselesaikan di dalam rumah tanpa campur tangan luar. Nilai-nilai ini sering kali menempatkan tekanan pada perempuan untuk tetap diam dan tidak mengungkapkan masalah yang mereka hadapi. Tekanan dari keluarga dan harapan untuk menjaga keharmonisan keluarga sering kali membuat perempuan merasa terisolasi dan tidak memiliki dukungan.

Mengatasi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terpendam lama dan memastikan korban tidak tetap diam memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan berbasis pada pemahaman mendalam mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi situasi mereka. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini:

1. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat; Melakukan kampanye pendidikan dan kesadaran di komunitas tentang kekerasan rumah tangga dan dampaknya. Kampanye ini dapat menghilangkan stigma, mendidik masyarakat tentang tanda-tanda kekerasan, dan pentingnya melaporkan kasus kekerasan.  Menyediakan pelatihan untuk tenaga profesional seperti dokter, guru, dan petugas hukum tentang bagaimana mengenali dan menangani kasus KDRT.

2. Peningkatan Akses ke Sumber Daya; Menyediakan tempat penampungan aman dan layanan dukungan seperti konseling, layanan hukum, dan bantuan keuangan untuk korban. Akses yang mudah ke sumber daya ini dapat membantu korban merasa lebih aman dan lebih mungkin untuk mencari bantuan. Membentuk pusat krisis yang dapat dihubungi secara rahasia, menyediakan bantuan segera dan dukungan psikologis bagi korban KDRT.

3. Meningkatkan Dukungan Hukum; Melakukan reformasi untuk memperkuat undang-undang perlindungan terhadap korban KDRT dan memastikan pelaku diadili secara adil. Mempermudah proses pelaporan dan memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi korban.Menyediakan layanan bantuan hukum gratis atau terjangkau bagi korban yang ingin melapor atau mengambil tindakan hukum.

4. Mengatasi Stigma Sosial; Mendorong diskusi terbuka tentang kekerasan rumah tangga dalam masyarakat untuk mengurangi stigma dan mendorong korban untuk berbicara. Melibatkan tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan influencer dalam kampanye untuk mendukung korban. Menampilkan testimoni dari korban yang telah berhasil keluar dari situasi kekerasan untuk memberikan inspirasi dan dukungan bagi orang lain dalam situasi serupa.

5. Memberikan Dukungan Psikologis; Menyediakan layanan konseling dan terapi bagi korban untuk membantu mereka mengatasi trauma dan membangun kembali rasa percaya diri. Dukungan psikologis dapat membantu korban merasa lebih siap untuk melaporkan kekerasan dan mencari bantuan.  Membentuk kelompok dukungan di komunitas di mana korban dapat berbagi pengalaman dan mendapatkan dukungan emosional dari sesama korban.

6. Peningkatan Pendidikan dan Kesadaran Pribadi; Mengedukasi korban tentang hak-hak mereka dan cara melindungi diri mereka sendiri. Pendidikan ini harus mencakup informasi tentang cara melapor, mendapatkan perlindungan, dan menggunakan layanan yang tersedia. Menawarkan program pelatihan keterampilan yang dapat membantu korban menjadi lebih mandiri secara ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada pelaku.

7. Membentuk Kemitraan dengan Organisasi Non-Pemerintah; Bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah yang berfokus pada perlindungan wanita dan kekerasan dalam rumah tangga untuk menyediakan layanan yang komprehensif dan dukungan yang diperlukan bagi korban. Menggunakan jaringan organisasi untuk melakukan advokasi, menyebarluaskan informasi, dan mempengaruhi kebijakan yang mendukung korban KDRT.

8. Memperkuat Dukungan Keluarga dan Komunitas; Memberikan pelatihan dan informasi kepada keluarga dan teman tentang cara mendukung korban KDRT dan mengenali tanda-tanda kekerasan. Melibatkan komunitas dalam upaya pencegahan dan dukungan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi korban.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian kita semua. Mengapa banyak perempuan memilih untuk diam atau lambat dalam berbicara? Jawabannya tidaklah sederhana. Banyak faktor penyebabnya, memahami alasan-alasan ini adalah langkah pertama dalam menciptakan solusi yang lebih efektif.

Sebagai masyarakat bai pribadi maupun kelompok memiliki tanggung jawab untuk memecahkan dinding kesunyian ini. Mutlak harus menciptakan lingkungan di mana perempuan merasa aman untuk berbicara dan mendapatkan bantuan. Dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas sangat penting untuk membantu korban keluar dari bayang-bayang kekerasan. Reformasi hukum yang lebih kuat dan akses yang lebih baik ke sumber daya juga merupakan langkah krusial untuk memastikan bahwa tidak ada korban yang merasa terasing atau terjebak dalam keheningan.

Mari semua berkomitmen untuk mengubah narasi ini. Dengan meningkatkan kesadaran, memperkuat dukungan, dan menghilangkan stigma, sehingga dapat memberikan suara kepada mereka yang tidak dapat berbicara dan membantu mereka mendapatkan keadilan serta perlindungan yang layak mereka terima. Saatnya bersatu untuk memastikan bahwa setiap perempuan dapat hidup dengan aman, damai, dan penuh hormat.

Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap realitas keras yang dihadapi banyak perempuan di sekitar kita. Setiap hari, di rumah-rumah, komunitas, dan negara kita, ada perempuan yang terperangkap dalam siklus kekerasan, merasa tertekan oleh stigma dan ketidakpastian. Ini adalah panggilan untuk tindakan kita semua.

Bayangkan sejenak jika Anda berada di posisi mereka, terjebak dalam hubungan yang penuh dengan kekerasan, tanpa tempat untuk berlari, dan tanpa suara untuk didengar. Rasa takut, malu, dan ketergantungan ekonomi mengurung mereka dalam keheningan, sementara masyarakat yang seharusnya menjadi pelindung justru sering kali mengabaikan penderitaan mereka.

Kini, saatnya kita menggandakan usaha kita. Mari menjadi agen perubahan yang tidak hanya mendengarkan tetapi juga bertindak. Dengan memberikan dukungan yang nyata dan terjangkau, sehingga dapat memecahkan belenggu ketidakberdayaan ini. Mari mengubah stigma menjadi solidaritas, ketergantungan ekonomi menjadi kemandirian, dan ketakutan menjadi kekuatan.

Jangan biarkan satu suara pun terbungkam dalam keheningan. Mari bergandengan tangan untuk mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga dan menciptakan dunia di mana setiap perempuan merasa aman untuk berbicara dan mendapatkan perlindungan. Langkah pertama dimulai dari setiap pribadi,dari kesadaran dan tindakan nyata dalam komunitas kita sendiri. Bersama, kita dapat membuat perbedaandan perubahan.


SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top