Oleh: Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA

Ketua Majelis Syura Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Sebagai hamba Allah, Rasulullah SAW adalah manusia biasa yang mengalami berbagai perasaan dan kondisi layaknya manusia lainnya, makan, minum, merasakan susah dan senang, sakit dan sehat, serta mengalami kemenangan dan kekalahan dalam hidupnya. Sebagai bagian dari umat manusia, Rasulullah memiliki kesamaan dengan kita, namun juga memerlukan persiapan untuk mencapai kematangan dalam kehidupannya.

Namun, di samping menjadi manusia biasa, Rasulullah SAW adalah sosok luar biasa karena telah dipilih dan dipersiapkan oleh Allah SWT untuk menjadi Nabi dan Rasul. Beliau yang bernama Muhammad bin Abdullah menjadi istimewa di mata manusia karena statusnya sebagai Rasulullah, yang diberikan berbagai kelebihan dan keistimewaan. Keistimewaan ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui serangkaian persiapan, baik yang dilakukan oleh beliau sendiri, oleh keluarganya, maupun oleh Allah SWT sebagai Rabb yang mengutusnya.

Persiapan demi persiapan inilah yang menjadikan seorang anak yatim piatu bernama Muhammad bin Abdullah terkenal, disegani, bahkan ditakuti, namun juga dibenci oleh sebagian orang. Meskipun demikian, popularitas dan kebencian terhadapnya tidak pernah membuatnya sombong atau takut. Beliau tetap istiqamah, konsekuen, mandiri, dan percaya diri dalam menjalani kehidupannya.

Mempersiapkan Diri

Sebagai manusia biasa, Rasulullah SAW selalu mempersiapkan dirinya untuk menjadi manusia luar biasa. Salah satu contohnya adalah ketika beliau merasa resah dengan kehidupan di Makkah yang dipenuhi kriminalitas -- pembunuhan, mabuk-mabukan, perzinaan, pelecehan, dan diskriminasi -- beliau mencari ketenangan di tempat yang jauh dari keramaian, yaitu di Gua Hira di Bukit Nur.

Di tempat tersebut, Rasulullah mempersiapkan diri, mencari sesuatu yang saat itu beliau sendiri belum tahu pasti apa yang dicari. Pencarian tersebut adalah bagian dari proses persiapan diri untuk menjadi manusia yang manusiawi, berbeda dengan perilaku orang-orang di Makkah pada saat itu. Rasulullah berupaya menjauh dari kehidupan penuh kriminalitas tersebut.

Dalam pengasingannya di Gua Hira, ada beberapa hal yang Rasulullah lakukan. Pertama, mengurangi berbicara (qillatul kalam) untuk mencegah perkataan yang tidak baik, sesuai dengan sabdanya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” 

Kedua, mengurangi makan (qillatut tha’am), karena berlebihan dalam makan dapat memicu penyakit, menghilangkan kehormatan, dan menurunkan rasa malu. Ketiga, mengurangi interaksi dengan orang-orang yang dikenal brutal di Makkah (qillatul anam) untuk menghindari dialog yang tidak produktif. Keempat, mengurangi tidur (qillatul manam) agar bisa lebih banyak beribadah dan mencari kebenaran.

Sejak remaja, Muhammad bin Abdullah mempersiapkan dirinya menjadi sosok mandiri dan bersahaja. Beliau mengikuti pamannya untuk belajar hidup mandiri dengan mengembala hewan dan berdagang, sebuah tradisi di kalangan masyarakat Arab saat itu. Kemudian, ketika dewasa, beliau menjadi pedagang sukses dengan modal dari Khadijah, yang kelak menjadi istrinya.

Selain itu, beliau juga terlibat dalam Perang Fujjar meskipun hanya sebagai penyedia anak panah. Perang ini berlangsung selama empat tahun dengan beberapa fase. Dalam perang ini, Rasulullah belajar kemandirian dan kesiapan mental, yang kelak menjadi bekal dalam perjuangan sebagai Rasul Allah.

Persiapan dari Allah

Selain persiapan yang dilakukan sendiri, Rasulullah SAW juga mendapatkan persiapan langsung dari Allah SWT. Salah satu persiapan paling mendasar adalah saat Allah mengutus malaikat untuk membersihkan hati beliau dengan membelah dadanya pada usia empat tahun. Proses ini adalah bentuk persiapan kesucian yang unik dan tidak dialami oleh manusia lainnya.

Selain kesucian fisik, Allah juga mempersiapkan intelektualitas Rasulullah dengan turunnya wahyu pertama, yaitu Surah Al-'Alaq ayat 1-5, hingga wahyu terakhir dalam Surah Al-Maidah ayat 3: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam sebagai agamamu."

Persiapan intelektualitas Rasulullah sangat berbeda dengan manusia biasa yang harus menempuh pendidikan formal. Rasulullah SAW, meskipun tidak pernah bersekolah, memiliki intelektualitas yang jauh di atas manusia lainnya, sebuah persiapan yang langsung diberikan oleh Allah SWT dan bersifat sempurna.

Teladan Bagi Umat 

Meskipun kita tidak mungkin meniru sepenuhnya proses persiapan Rasulullah, baik persiapan pribadi maupun yang diberikan Allah SWT, kita bisa menjadikannya sebagai teladan. Kita dapat mempersiapkan diri dengan meneladani Rasulullah, sementara persiapan dari Allah bisa kita raih melalui Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Lalu, mengapa umat Islam hari ini masih mau tunduk pada penjajahan dan penindasan kaum Yahudi, Nasrani, dan lainnya? Bukankah persiapan diri dan persiapan dari Allah sudah cukup jelas? Sesungguhnya, umat Islam tidak kekurangan apa-apa, hanya saja kita sering kali lupa untuk mempersiapkan diri sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Editor: Sayed M. Husen

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top