Kegiatan tersebut merupakan kolaborasi antara Museum Aceh, Museum UIN Ar-Raniry dan Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) sebagai upaya memperluas akses informasi dan memperkenalkan warisan budaya Aceh kepada generasi muda.
Dalam sambutannya, Mujiburrahman mengapresiasi dukungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh serta UPTD Museum Aceh. Menurutnya, pameran ini memberikan kesempatan bagi masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk memahami kekayaan budaya Aceh.
“Kami berterima kasih atas kolaborasi yang terjalin. Pameran ini memperlihatkan ragam kebudayaan dan kekayaan naskah yang ditinggalkan oleh generasi emas Aceh terdahulu. Kegiatan seperti ini penting dilanjutkan dengan pameran museum keliling sebagai upaya menjaga dan melanjutkan estafet sejarah masa depan,” ujar Mujiburrahman.
Menurut Mujiburrahman, Museum bukan hanya tempat menyimpan artefak, tetapi juga menjadi jembatan sejarah yang menghubungkan generasi muda dengan peradaban masa lalu.
"Ketika kita ditanya tentang kejayaan Aceh sebagai kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara, bukti fisiknya tidak banyak karena istana dan bangunan kerajaan banyak yang dihancurkan saat penjajahan Belanda. Namun, kita masih memiliki tiga bukti utama yang tak terbantahkan yakni manuskrip, batu nisan, dan koin emas," tegasnya.
Manuskrip Aceh, lanjut Mujiburrahman, tersebar di berbagai pelosok negeri bahkan hingga ke luar negeri. Beberapa negara seperti Jepang dan Jerman telah menunjukkan perhatian dalam upaya preservasi manuskrip tersebut.
“Prioritas kita sekarang adalah restorasi dan digitalisasi manuskrip. Ini adalah langkah awal yang penting sebelum beralih ke penelitian yang lebih mendalam,” tambahnya.
Mujiburrahman juga menyoroti pentingnya mematenkan warisan budaya seperti motif ukiran dan batik yang terdapat dalam manuskrip Aceh agar tidak diklaim pihak lain.
“Kita memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, termasuk motif batik dan ukiran kayu. Ini harus segera dipatenkan oleh Dinas Kebudayaan agar tidak diambil alih oleh pihak lain,” ujarnya.
Mujiburrahman mengajak mahasiswa dan generasi muda Aceh untuk tidak hanya duduk di bangku kuliah, tetapi juga aktif mempelajari manuskrip sebagai sumber pembelajaran yang luar biasa.
“Belajar dari manuskrip adalah cara kita menghargai peradaban nenek moyang dan mempersiapkan Aceh untuk masa depan yang lebih baik. UIN Ar-Raniry memiliki sumber daya manusia yang mumpuni di bidang filologi dan siap mendukung pengembangan pengetahuan serta teknologi berbasis sejarah,” katanya.
Mujiburrahman juga menyoroti bahwa manuskrip Aceh telah menjadi daya tarik tersendiri bagi turis, baik lokal maupun internasional. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa Aceh memiliki potensi besar sebagai lumbung manuskrip terbesar di Nusantara.
“Manuskrip Aceh tersebar di berbagai wilayah dan menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Ini membuktikan bahwa Aceh adalah lumbung manuskrip terbesar di Nusantara. Tugas kita adalah memastikan warisan ini dikelola, dilestarikan, dan dimanfaatkan sebaik-baiknya,” kata Mujiburrahman.
Sementara itu, Kepala UPTD Museum Aceh, Mudha Farsyah, menyampaikan bahwa pameran ini merupakan bagian dari program rutin museum untuk mendekatkan peran dan fungsi museum kepada masyarakat, khususnya di lingkungan kampus.
Pameran menampilkan 76 koleksi yang diklasifikasikan dalam 10 kategori, seperti geologika, biologika, etnografika, dan filologika. Selama pameran, akan diadakan kegiatan edukatif dengan melibatkan mahasiswa dari berbagai fakultas di UIN Ar-Raniry.
“Setelah pameran selesai, Museum Aceh akan menghibahkan sarana dan prasarana kepada Museum UIN Ar-Raniry sebagai bentuk dukungan keberlanjutan,” ungkap Mudha. (Sayed M. Husen)
0 facebook:
Post a Comment