Oleh: Juariah Anzib, S.Ag
Penulis Buku Wawasan Religius dan Inspirasi
Dalam buku 66 Muslimah Pengukir Sejarah, Ummu Isra' binti Arafah mengisahkan seorang ibu yang dikenal sebagai Ummu Ibrahim. Suatu hari, ia datang bersama anaknya yang berusia lima belas tahun ke majelis Abdul Wahid bin Zaid Al-Bashri untuk mendengarkan khutbah yang memotivasi umat Islam agar berjihad. Ketika itu, pasukan musuh menyerang salah satu tapal batas pertahanan Islam. Umat Islam harus bangkit mempertahankan wilayah Bashrah. Islam tidak mencari musuh, tetapi jika musuh menyerang, Islam pantang mundur. Prinsip Islam adalah tidak menyerang kecuali diserang terlebih dahulu.
Abdul Wahid, seorang ulama sufi yang terkenal, menyeru kaum muslimin untuk berjihad. Dalam khutbahnya, ia menggambarkan bidadari surga yang cantik jelita, bermahkotakan mutiara merah, dan duduk di singgasana mewah. Keelokan bidadari itu sulit digambarkan dengan kata-kata.
Khutbah tersebut menggerakkan hati seorang pemuda Bashrah untuk berjihad demi ridha Allah dan mempersunting bidadari surga. Berperang di jalan Allah hanya untuk mendapatkan imbalan dari-Nya, yaitu Ainal Mardhiah, gadis surgawi yang menjadi impian para mujahid. Mendengar khutbah tersebut, Ummu Ibrahim berkata kepada anaknya, "Wahai Ibrahim, apakah engkau ridha menjadikan gadis itu sebagai istrimu dengan mengorbankan dirimu di jalan Allah?" Dengan yakin, Ibrahim yang pernah bermimpi bertemu Ainal Mardhiah menjawab, "Demi Allah, wahai Ibu, aku sangat ridha."
Betapa gembiranya Ummu Ibrahim mendengar jawaban tersebut. Ia pulang dan kembali membawa sepuluh dinar sebagai mahar putranya. Uang itu diserahkan kepada Abdul Wahid sebagai biaya perang. Selain itu, Ummu Ibrahim membelikan seekor unta dan senjata untuk Ibrahim. Dengan penuh kasih, ia melepaskan putranya untuk berjihad melawan pasukan Romawi. Saat berpamitan, Ummu Ibrahim mencium kening putranya dan berkata, "Wahai anakku, semoga Allah mempertemukan kita kembali di hadapan-Nya pada hari kiamat."
Abdul Wahid melanjutkan kisahnya. Ketika pasukan Islam tiba di medan perang, terompet dibunyikan dan pertempuran pun pecah. Ibrahim berada di barisan terdepan, dengan gagah ia membunuh banyak musuh hingga akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Abdul Wahid berpesan kepada pasukannya agar tidak memberitahukan kematian Ibrahim kepada ibunya. Ia ingin menyampaikan kabar tersebut dengan cara yang terbaik agar Ummu Ibrahim tidak bersedih dan pahalanya tetap terjaga.
Setelah peperangan usai, pasukan kembali ke Bashrah dan disambut suka cita oleh penduduk. Ummu Ibrahim ada di antara mereka. Ketika melihat Abdul Wahid, ia bertanya, "Wahai Abdul Wahid, apakah hadiahku diterima hingga engkau mengucapkan selamat, atau ditolak hingga engkau menyampaikan belasungkawa?" Abdul Wahid menjawab, "Hadiahmu telah diterima. Ibrahim kini hidup bersama orang-orang yang diberi rezeki oleh Allah."
Mendengar jawaban tersebut, Ummu Ibrahim bersujud penuh syukur. Malam harinya, ia bermimpi bertemu Ibrahim yang berada di taman surga nan indah. Di sana, Ibrahim duduk di ranjang mutiara dengan mahkota di kepalanya. Ibrahim berkata, "Wahai Ibu, berbahagialah engkau, karena maharmu telah diterima Allah dan kini aku bersama pengantin pilihanmu."
Inilah bukti cinta abadi seorang ibu yang rela kehilangan anak demi kebahagiaannya.
Kebahagiaan hakiki yang abadi di akhirat. Pengorbanan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang ibu tanpa pemahaman iman yang mendalam. Semoga kita termasuk orang-orang yang memiliki iman sejati, mempersiapkan diri dan keluarga untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
0 facebook:
Post a Comment