Oleh: Syahrati, M.Si

Penyuluh Agama Islam Kab. Bireuen

Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut sosok bersahaja ini. Kenangan akan Abu Nashruddin Daud atau yang lebih dikenal sebagai Abu Nash tetap hidup di hati keluarga, murid, dan masyarakat. Ia seorang pemuka agama dan tokoh masyarakat yang mengabdikan diri melalui jalur politik, demi membela kepentingan umat. 

Sebagai anggota DPR RI, Abu Nash mencontohkan semangat keikhlasan dan keberanian yang jarang ditemukan dalam dunia politik, namun perjalanan hidupnya terhenti secara tragis dalam peristiwa yang mencerminkan kelamnya intrik politik di zamannya.

Lahir dan Tumbuh dalam Lingkungan Agamis

Lahir di Desa Padang Keulele, Manggeng, Aceh Barat Daya, Abu Nash tumbuh dalam keluarga yang mencintai agama. Sejak kecil, ia telah dibekali dengan pendidikan Islam yang kokoh. Siang hari menempuh pendidikan Sekolah Rakyat di Manggeng, sementara malamnya belajar agama pada teungku di kampung. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar pada 1958, Abu Nash melanjutkan pendidikan di Dayah Darussalam Labuhan Haji, di bawah asuhan ulama besar, Abuya Syekh Muda Waly.

Abu Nash dikenal sebagai santri yang tekun di Dayah Darussalam. Ia menyelesaikan pendidikan jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga Aliyah dengan prestasi yang membanggakan pada 1967. Keilmuan dan kealiman yang ia miliki menjadikannya seorang ulama mumpuni, yang kemudian dikenal luas di Banda Aceh sebagai sosok bersahaja, guru yang menginspirasi, dan politisi yang istiqamah.

Kesederhanaan dan Dedikasi yang Menginspirasi

Kesederhanaan Abu Nash refleksi ketulusan hidupnya. Selama 28 tahun menjadi Imum Chik Masjid Baitul Alam, Banda Aceh, ia tidak pernah mengambil zakat atau infak masjid untuk keluarganya, meskipun ia termasuk yang berhak menerimanya. Sebagai anggota dewan beberapa periode, bahkan hingga menjadi anggota DPR RI, ia tetap hidup dalam kesederhanaan. Rumah dan kendaraan pribadi, yang sering dianggap simbol kemapanan pejabat, tidak pernah ia miliki. Abu Nash lebih memilih bepergian dengan becak, karena baginya, umat lebih membutuhkan.

Keterbatasan ekonomi keluarga tak pernah mengurangi semangat pengabdiannya. Sang istri, dengan penuh kesabaran, membantu kebutuhan keluarga dengan berjualan nasi gurih setiap pagi. Keterbatasan ini tidak membuat Abu Nash goyah. Sebagai politisi, ia menolak tawaran kemewahan dan kekuasaan demi menjaga prinsip yang ia yakini.

Keteguhan Prinsip di Dunia Politik

Penulis
Abu Nashruddin Daud simbol keteguhan prinsip dalam dunia politik. Ia setia pada partai berlambang hijau yang ia yakini sebagai jalan menegakkan syariat Islam. Meski banyak tawaran menggiurkan dari partai lain yang berkuasa saat itu, ia tetap teguh pada pendiriannya. Baginya, politik sarana memperjuangkan kepentingan umat, bukan untuk kepentingan pribadi.

Jalan perjuangannya tidaklah mudah. Fitnah, intrik, dan tipu daya politik menjadi bagian dari tantangan yang ia hadapi. Meski begitu, Abu Nash menyikapi setiap cobaan dengan ketenangan dan senyuman, tanpa pernah menampakkan kemarahan.

Kehidupan Spiritual yang Mendalam

Kehidupan spiritual Abu Nash sebagai seorang ulama, menjadi teladan bagi siapa pun yang mengenalnya. Ia sosok yang disiplin dalam ibadah, sering kali terlihat khusyuk dalam sujud panjangnya di sepertiga malam. Setiap azan ia sahut, bahkan ketika tengah menerima tamu. Setiap pagi, setelah salat Subuh, rutin membaca kitab-kitab hingga waktu dhuha tiba. Puasa Senin-Kamis menjadi rutinitas yang menambah kekuatan spiritual, kharisma, dan ketakwaannya

Sikap dermawan dan kasih sayang Abu Nash kepada sesama meninggalkan kesan mendalam. Dalam satu kisah, Abu Nash memberikan uang yang seharusnya digunakan untuk ongkos pulang kepada seorang pengemis. Akibatnya, ia dan anaknya harus berjalan kaki hingga ke rumah. Peristiwa ini bukti nyata kemurahan hatinya.

Akhir Tragis Seorang Pejuang

Abu Nash wafat secara tragis di Sibolangit, Sumatera Utara, tahun 2000. Ia korban pembunuhan berencana yang didasari fitnah politik. Kepergiannya menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan masyarakat.

Kenangan terakhir yang begitu membekas saat ia memimpin salat tarawih di bulan Ramadhan. Suaranya yang syahdu, penuh kedalaman rasa, menggugah hati setiap makmum hingga meneteskan air mata. Itu adalah kali terakhir ia memimpin salat, sebelum Allah memanggilnya kembali.

Warisan Seorang Guru Kehidupan

Abu Nashruddin Daud ulama tanpa dayah, namun murid-muridnya tersebar di berbagai penjuru. Ajarannya tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menghidupkan hati dan kehidupan umat. Ia sosok guru kehidupan yang memberikan teladan melalui perbuatan, bukan sekadar kata-kata.

Hari ini, nama Abu Nash mungkin tidak banyak disebut dalam buku sejarah, namun bagi mereka yang mengenalnya, ia simbol keteguhan, kesederhanaan, dan keikhlasan. Teladan hidupnya menginspirasi umat untuk selalu berpegang pada kebenaran, meski dunia di sekitar penuh dengan fitnah dan godaan.

Semoga Allah menempatkan Abu Nash di tempat terbaik di sisi-Nya. Al-Fatihah.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top