Oleh: Dr. Johansyah, MA

Dosen STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

Salah satu keistimewaan Aceh adalah pendidikan, tetapi hingga kini keistimewaan tersebut tampaknya belum terformulasi dengan baik. Kalau ada pertanyaan apa yang membedakan pendidikan Aceh dengan pendidikan di wilayah lain Indonesia, agak sulit menjawabnya, karena memang sistem pendidikan Aceh berada dalam bingkai sistem pendidikan nasional. 

Kecuali itu, ada Majelis Pendidikan Daerah (MPD) dan juga Dinas Pendidikan Dayah di Aceh, tetapi itu juga hanya secara kelembagaan. Secara substansial, semuanya relatif sama bila dibandingkan dengan pendidikan di wilayah lain. Bahkan soal mutu, Aceh masih berada pada peringkat tengah, tidak masuk rangking sepuluh besar sebagai salah satu provinsi dengan mutu pendidikan terbaik.

Terkait dengan keistimewaan maupun mutu pendidikan dimaksud, hal ini kiranya menjadi perhatian serius Gubernur Mualem ke depan. Kita menginginkan dalam masa kepemimpinannya, mutu pendidikan Aceh menjadi lebih baik. Tidak hanya itu, kita juga berharap pendidikan Aceh benar-benar istimewa, yakni memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan wilayah lain.

Berbicara mutu pendidikan, secara umum kita memang mengacu pada delapan  Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang telah ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang meliputi; standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar evaluasi, standar pembiayaan, serta standar sarana dan prasaran. 

Saya tidak akan menguraikan standar dimaksud satu persatu, melainkan hanya akan melihat hal-hal prinsipil yang kalau dilakukan dengan maksimal, maka standar dimaksud akan terpenuhi dengan sendirinya. Hal prinsipil tersebut antara lain terkait dengan blueprint (cetak biru) pendidikan Aceh, pengelola pendidikan, tenaga pendidik dan kependidikan, serta pemerataan pendidikan.

Pertama, blueprint pendidikan Aceh. Karena Aceh ditetapkan sebagai daerah yang memiliki keistimewaan, salah satunya di bidang pendidikan, maka sebaiknya Aceh memiliki blueprint pendidikan supaya arah dan tujuannya jelas. Blueprint pendidikan ini nanti diharapkan memang benar-benar mampu memetakan pendidikan Aceh dalam jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang. Selain itu, aspek-aspek keistimewaan pendidikan Aceh dapat dideskripsikan dengan jelas. 

Tugas penyusunan blueprint pendidikan Aceh ini bisa saja nanti dilimpahkan kepada Majelis Pendidikan Daerah Aceh (MPD) sebagai lembaga yang berwenang memberikan berbagai pertimbangan terkait persoalan-persoalan pendidikan. Dalam pelaksanaanya nanti, MPD Aceh melibatkan MPD kabupaten/kota, akademisi, pemerhati pendidikan, serta juga praktisi pendidikan.

Kedua, pengelola pendidikan. Pengelola pendidikan yang dimaksud adalah para pejabat struktural seperti Kepala Dinas Pendidikan, maupun kepala bidang, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Artinya kita betul-betul berharap kepada Gubernur Mualem jeli memilih kepala Dinas Pendidikan. Kalau boleh saran, kali ini kita coba dari kalangan kampus, seperti halnya kepala Dinas Syariat Islam (DSI) yang rata-rata berlatar belakang akademisi, seperti Prof Rusjdi Ali Muhammad, Prof Alyasa’ Abubakar, Prof Syahrizal, dan lain-lain. 

Untuk kepala Dinas Pendidikan di tingkat Kabupaten/kota, kalau pun tidak berasal dari kalangan kampus, mungkin para bupati perlu melihat rekam jejaknya dengan baik. Jangan sampai memilih kepala dinas karena pertimbangan tim sukses, maupun kedekatan keluarga. Sebab pendidikan ini bukanlah barang dagangan yang diperjual-belikan. Pendidikan adalah soal misi memanusiakan manusia menuju kehidupan yang berperadaban.

Dari itu, pengelola pendidikan setingkat kepala Dinas di Aceh tidak cukup hanya menjadi administrator murni, tetapi juga harus mampu menjadi konseptor untuk melahirkan program-program yang kreatif dan inovatif. Kalau hanya sebagai administrator tentu banyak para eselon II yang mampu mengisi jabatan ini. Sementara yang kita inginkan adalah administrator sekaligus konseptor. 

Ketiga, peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan. Keberhasilan pendidikan itu ditentukan oleh guru. Jika gurunya berkualitas, pendidikannya juga berkelas. Sebaliknya jika gurunya hanya pintar menjinjing tas dan malas mengajar, tentu hasilnya tidak akan pernah maksimal. 

Dalam hal ini, kiranya Dinas Pendidikan Aceh dan kabupaten/kota di Aceh harus mewacanakan sebuah program rutin dan berkala terkait pembinaan guru dalam upaya meningkatkan kompetensinya. Lebih spesifik lagi dalam hal pembaruan metodologi mengajar. Kompetensi guru kita mesti terus ditingkatkan agar mampu melahirkan metode dan model pembelajaran yang inovatif. Maka salah satu materi yang harus dikuatkan dalam hal ini adalah psikologi pendidikan.

Penguasaan psikologi pendidikan memberi pengaruh yang signifikan bagi seorang guru. Biasanya guru yang pemahaman psikologi pendidikannya baik akan lebih dinamis dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dia akan lebih sabar dalam menghadapi murid dengan beragam karakternya dan biasanya akan berusaha keras mencari cara menyelesaikan persoalan-persoalan pembelajaran di kelas. Di sinilah biasanya para guru menemukan metode maupun model pembelajaran baru.  

Setelah masalah blueprint, pengelola pendidikan, serta peningkatan kompetensi guru tertata dengan baik, maka persoalan keempat yang juga harus diperhatikan pemerataan pendidikan, yang meliputi pemerataan tenaga pendidik, pemerataan sekolah, pemerataan pembiayaan, pemerataan akses, serta pemerataan pendidikan dalam aspek lainnya.

Salah satu contoh, sekolah unggul. Selama ini sekolah unggul umumnya menumpuk di tingkat provinsi Aceh, seperti SMA Modal Bangsa, SMA Fajar Harapan, Pesantren Insan Qur’ani, Pesantren Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB), dan beberapa sekolah/madrasah lainnya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sekolah unggul ini, tetapi mungkin pemerintah Aceh perlu mewacanakan minimal satu sekolah unggul di setiap kabupaten/kota, sehingga para calon siswa yang unggul di kabupaten/kota tidak tersedot ke tingkat provinsi. Di sisi lain, hal ini juga nanti berdampak positif pada pemerataan ekonomi.

Demikian halnya masalah pemerataan guru. Sudah tidak menjadi rahasia lagi, guru-guru yang berkualitas biasanya ditempatkan di sekolah-sekolah unggul. Sementara di daerah pelosok umumnya guru biasa. Akibatnya pendidikan yang jauh dari kota tidak maju dan berkembang. Sementara pendidikan di kota terus berkembang pesat. 

Inilah beberapa persoalan yang kiranya perlu dituntaskan oleh Gubernur Mualem dalam masa kepemimpinannya. Semoga mutu pendidikan Aceh semakin membaik, dan pendidikan Aceh menjadi istimewa.  

Editor: Sayed M. Husen

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top