Oleh Dr. Johansyah, MA

Dosen STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Aceh tahun 2024 menjadi jalan takdir demokrasi yang berhasil membawa Muzakir Manaf-Fadhlullah ke pucuk kepemimpinan Aceh priode 2025-2030. Pada 12 Februari 2025 lalu, pasangan ini resmi dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Ini artinya kondisi Aceh lima tahun ke depan akan bergantung pada keduanya.

Sebagai masyarakat, kita berharap pembangunan Aceh ke depan terus berkembang sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Janji-janji kampanye yang dikumandangkan oleh Gubernur Mualem beberapa waktu lalu semoga bukan sekedar pemanis bibir untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka mampu membawa perubahan bagi Aceh ke arah yang lebih baik.

Sekilas ketika memperhatikan visi, misi, dan program yang sudah dirumuskan sedemikian rupa, tentu kita merasa optimis. Visi Aceh Islami, maju, bermartabat, dan berkelanjutan dinilai sebagai visi yang cukup ideal bagi pembangunan Aceh ke depan. Selanjutnya visi ini dituangkan ke dalam tujuh misi pembangunan Aceh yang dimulai dengan misi menjalankan syariat Islam, mewujudkan keistimewaan Aceh, kemandirian ekonomi, infrastruktur, peningkatan sumber daya manusia (SDM), transformasi tata kelola pemerintah Aceh, dan ditutup dengan misi melestarikan lingkungan hidup dan ekosistemnya. 

Menuangkan visi dan misi ke dalam lembaran kertas tentu mudah, namun untuk mewujudkannya mungkin banyak halang rintang yang harus dihadapi. Tetapi saya cukup tergelitik ketika mendengar kata sambutan Gubernur Mualem di saat pelantikan. Satu hal yang mengagetkan ketika dia menegaskan akan menghapus QR kode di SPBU. Masyarakat Aceh tidak perlu lagi menggunakan barcode saat mengisi bahan bakar minyak di Pertamina karena hanya menyulitkan masyarakat. Sebuah pidato yang saya kira cukup berani sebagai ciri mantan kombatan di depan Menteri Tito yang tersenyum mendengar kata sambutannya. Saya berharap ini menjadi ‘kode’ baru bagi kepemimpinan Aceh ke depan yang berani memperjuangkan hak-hak rakyatnya. 

Di era demokrasi yang transaksional ini kita nyaris putus asa dengan sistem suksesi kepemipinan yang hanya piawai memainkan kata-kata atas nama rakyat. Kata-kata ini seperti utopia yang sulit dilihat dalam kenyataan. Nyatanya memang mengatasnamakan rakyat selama ini tidak lebih dari iklan politik yang dijajakan menjelang pilkada saja. Setelah itu hilang entah ke mana.

Namun kali ini, saya dan kita semua mungkin mencoba kembali merangkai harapan itu dan mengalamatkannya pada seorang Gubernur Mualem. Bagaimana daya juangnya dulu yang begitu membara, begitu pula kini kita harapkan menjadi sosok pemimpin yang betul-betul memperjuangkan kesejahteran masyarakat Aceh, bukan semata memikirkan mekanisme politik balas jasa untuk tim pemenangan yang sebelumnya telah berjuang memenangkannya.

Kepemimpinan Profetik

Menurut Ibnu Taimiyah, Islam tidak akan mampu abadi tanpa ditopang oleh kekuasaan. Sedangkan kekuasaan tidak akan mampu bertahan tanpa ditopang dengan agama. Dalam wujud nyatanya, kepemimpinan yang dilandasi oleh agama telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Artinya kepemimpinan dalam Islam adalah kepemipinan profetik yang memiliki empat karakter utama, yakni siddiq (integritas), amanah, tabligh (komunikatif), dan fathanah (intelektualitas).

Kepemimpinan profetik inilah yang tampaknya harus menjadi kiblat kekuasaan Mualem dalam memimpin Aceh lima tahun ke depan. Selain itu, kita juga berharap ada sifat Abu Bakar Siddiq yang bijak dalam diri Mualem ketika menghadapi masalah. Pada saat tertentu kita juga berharap dia seperti Umar Bin Khattab yang tegas dalam mengambil keputusan. Di saat yang lain seperti Utsman Bin Affan yang rela berkorban materi untuk apa pun. Pada waktu lain pula seperti Ali Bin Abi Thalib yang mampu memberikan pencerahan bagi rakyatnya.

Untuk mewujudkan model-model kepemimpinan tersebut di masa kini, bukan hal yang mustahil. Buktinya ada presiden yang dikenal sebagai pemimpin yang termiskin di dunia, namanya Jose Mujica. Dia presiden ke-40 Uruguay pada tahun 2010 hingga 2015. Dia tinggal di rumah sederhana sebagaimana layaknya rumah petani dan menyumbangkan sembilan puluh persen gajinya untuk berbagai kebutuhan rakyatnya. 

Tugas Besar Mualem

Mewujudkan misi pembangunan tugas berat Mualem, tetapi memang itulah yang harus diperjuangkan. Pertama terkait dengan syariat Islam. Sebagaimana yang kita ketahui syariat Islam adalah keistimewaan Aceh. Meski menjadi keistimewaan, syariat Islam belum inheren secara kolektif bagi masyarakat Aceh. Beberapa kalangan bahkan menganggap syariat Islam menjadi penghalang pembangunan Aceh. Sementara dalam kajian Islam, syariat itu tidak mungkin mendatangkan kesulitan, justru sebalikanya syariat itu memudahkan dan menyelamatkan.

Untuk itu, kita berharap kepada Gubernur Mualem terus melihat sisi-sisi kelemahan penerapan syariat Islam di Aceh untuk kemudian diperbaiki. Misalnya soal orientasi penerapan syariat Islam yang diharapkan tidak lagi fokus hanya pada penegakannya saja, seperti hukum cambuk bagi pelanggar syariat. Di sisi lain perlu upaya menguatkan kesadaran bersyariat melalui pendidikan formal dan informal. Demikian halnya dengan  Wilayatul Hisbah yang saat ini menurut saya tidak berada pada posisi yang tepat. 

Selanjutnya misi mewujudkan keistiewaan Aceh dalam bidang pendidikan. Dalam beberapa tulisan telah saya sampaikan, bahwa ruang keistimewaan pendidikan belum dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah Aceh dalam upaya menjadikan pendidikan Aceh betul-betul istimewa. Pendidikan Aceh masih sama dengan pendidikan di wilayah lain Indonesia. Bahkan berbicara mutu, pendidikan Aceh tidak masuk pada rangking sepuluh besar.

Di tangan Gubernur Mualem, pendidikan harus menjadi perhatian utama. Untuk itu, dia kita harapkan tidak main-main dalam menunjuk Kepala Dinas Pendidikan Aceh. Kalau bisa, utamakan dari kalangan kampus saja, sebab kita menginginkan adanya arah baru untuk memajukan pendidikan Aceh. Kalau selama ini, pendidikan Aceh hanya menjalankan sistem pendidikan secara nasional dan belum banyak menyentuh aspek kesitimewaannya.

Tentu dalam bidang lainnya kita juga mendorong agar terus dilakukan perbaikan. Tolok ukur keberhasilannya nanti bukan angka statistik semata yang dimunculkan melalui survey, tetapi betul-betul menyentuh kesejahteraan rakyat Aceh secara nyata, sekaligus menggugurkan hasil evaluasi Badan Pusat Statistik Aceh (BPS) beberapa tahun lalu yang menyatakan Aceh sebagai daerah termiskin di Indonesia. Wallahu a’lam Bishawab!

Editor: Sayed M. Husen

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top