Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Wawasan Religius dan Inspirasi


Salah satu tanda wanita yang baik adalah berasal dari nasab yang mulia, namun kemuliaan bukan hanya terletak pada keturunan bangsawan atau kekaisaran semata. Lebih dari itu, keutamaan seseorang ditentukan oleh akhlak, ketakwaan, dan amal ibadahnya. Hal ini dapat kita lihat dalam sosok wanita mukminah yang satu ini. Ia berasal dari keluarga terhormat dalam sejarah Islam, namun tetap menjunjung tinggi nilai kesederhanaan dan ketakwaan dalam kehidupannya.

Wanita cantik yang lebih dikenal dengan sebutan Sayyidah Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim bin Umar bin Al-Khathab ini, cucu dari Khalifah Umar bin Al-Khathab. Putri kesayangan Sayyidina ‘Ashim menikah dengan seorang pemimpin terhormat, Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur di Mesir yang dikenal adil dan bijaksana. Negeri yang makmur itu semakin sejahtera di bawah kepemimpinannya.

Ummu Isra’ binti Arafah dalam bukunya 66 Muslimah Pengukir Sejarah menulis, Ummu ‘Ashim seorang wanita yang ahli ibadah dan bertakwa. Dari rahimnya lahir seorang pemimpin besar dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan didikan yang penuh keteladanan, ia membentuk anaknya menjadi sosok yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat. Tidak heran jika Sufyan Ats-Tsauri, seorang ulama besar dan ahli fikih, menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah kelima dalam Islam, karena keadilannya menyerupai Khulafaur Rasyidin.

Keindahan Akhlak 

Ada kisah menarik terkait kecantikan dan kebaikan Ummu ‘Ashim. Suatu ketika, setelah Ruqayyah binti Umar bin Al-Khathab wafat dan dimakamkan di Baqi’, suaminya, Ibrahim bin Nu’aim bin Abdullah, dibawa ke rumah ‘Ashim, saudara Ruqayyah. Di sana, ‘Ashim memperkenalkan dua putrinya, Ummu ‘Ashim dan Hafshah, kepada Ibrahim dan memintanya memilih salah satu dari mereka sebagai istri agar hubungan kekerabatan tetap terjalin.

Ibrahim menyangka, ‘Ashim lebih menginginkan putrinya yang lebih cantik, yaitu Ummu ‘Ashim, untuk menikah dengan seorang raja. Karena itu, Ibrahim memilih Hafshah dan menikahinya. Sementara itu, Ummu ‘Ashim kemudian menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan dan melahirkan Umar bin Abdul Aziz dan beberapa saudaranya.

Seiring berjalannya waktu, Ummu ‘Ashim wafat di sisi suaminya, Abdul Aziz bin Marwan. Tak lama berselang, Ibrahim bin Nu’aim pun meninggal dunia. Demi menjaga hubungan keluarga, Abdul Aziz kemudian menikahi Hafshah dan membawanya ke Mesir. Tradisi pernikahan ini dikenal sebagai ganti tikar, yakni pernikahan antar saudara untuk menjaga hubungan keluarga tetap erat.

Kepedulian Sosial 

Ummu Isra’ menulis lagi, semasa hidupnya, Ummu ‘Ashim sering melewati bukit bernama Aylah. Di sana, ia bertemu dengan seorang lelaki lumpuh bernama Syarru Syimmir. Dengan penuh kasih sayang, Ummu ‘Ashim selalu memberinya makanan dan berbuat baik kepadanya. Lelaki lumpuh itu sangat bersyukur atas kebaikan Ummu ‘Ashim.

Setelah Ummu ‘Ashim wafat, Hafshah binti ‘Ashim yang juga melewati tempat tersebut tidak menghiraukannya. Hal ini membuat lelaki lumpuh itu berkata, bahwa kedudukan Hafshah tidak sebanding dengan Ummu ‘Ashim. Begitulah mulianya akhlak Ummu ‘Ashim yang bernama asli Laila binti ‘Ashim. Kehormatannya sebagai seorang permaisuri tidak menghalanginya berbuat baik dan peduli terhadap sesama.

Muhasabah Diri

Kisah Ummu ‘Ashim mengajarkan, kedudukan dan kecantikan bukanlah jaminan kemuliaan seseorang. Justru ketulusan hati, kepedulian sosial, dan ketakwaan yang menentukan nilai sejati manusia di sisi Allah.

Bagaimana dengan kita yang mungkin tidak memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat? Sungguh disayangkan jika kita tidak memiliki keutamaan seperti Ummu ‘Ashim, namun justru bersikap sombong dan angkuh, padahal dunia hanyalah sementara, sedangkan akhirat negeri yang kekal.

Mari kita jadikan akhlak Sayyidah Ummu ‘Ashim sebagai cerminan diri dan muhasabah, agar kita senantiasa menjadi pribadi yang lebih baik di hadapan Allah dan sesama manusia.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top