Ambisi kekuasaan salah satu naluri manusia yang sering kali menjadi ujian besar dalam hidup ini. Keinginan berkuasa muncul dalam berbagai aspek, baik politik, sosial, maupun ekonomi. Keinginan ini bisa menjadi sumber kebaikan ketika diarahkan untuk kemaslahatan umat, tetapi bisa pula menjadi sumber kehancuran ketika digunakan demi kepentingan pribadi dan penindasan orang lain.
Keinginan mengendalikan, mempengaruhi, atau mendominasi orang lain, institusi, atau sumber daya demi kepentingan pribadi sering kali melahirkan praktik kotor dalam dunia kekuasaan. Tidak jarang, seseorang yang semula memiliki niat baik justru terjebak dalam permainan politik yang mengorbankan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan akhlak.
Dalam kaitan ini, Allah Swt berfirman: "Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)." (QS an-Nazi’aat 79: 37-41)
Perspektif Islam
Kekuasaan dalam syariat Islam sebenarnya bukan tujuan utama, melainkan amanah yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan rasa takut kepada Allah. Rasulullah saw memberikan peringatan keras terhadap mereka yang berambisi terhadap jabatan tanpa memiliki kapasitas akhlak dan ketakwaan.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi bersabda: "Tidaklah seseorang semakin dekat kepada penguasa kecuali akan semakin jauh dari Allah." (HR. Ahmad, Abu Daud no. 4860)
Rasulullah saw mengingatkan bahaya kedekatan dengan kekuasaan. Seseorang bisa saja kehilangan integritas dan keikhlasan karena tergoda kepentingan duniawi. Kekuasaan yang semula diniatkan untuk kebaikan sering kali berubah menjadi alat penindasan, akibat godaan harta, jabatan, dan pengaruh.
Ambisi kekuasaan yang berlebihan membuka peluang praktik korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang. Bahkan banyak pemimpin yang awalnya bersih akhirnya tergelincir dalam lingkaran kezaliman demi mempertahankan kekuasaan. Karena itu, Islam mengajarkan perlunya keikhlasan dan ketakwaan bagi siapa saja yang berada dalam posisi kekuasaan.
Peringatan Ulama
Banyak ulama melarang mendekati penguasa, meskipun dengan niat baik untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka memahami, kekuasaan memiliki daya rusak yang kuat bagi keimanan seseorang. Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Mubarak, dan Sufyan Ats-Tsauri termasuk di antara ulama yang tegas dalam sikap ini.
Dari Ka’ab bin Ujrah ra, Nabi bersabda: "Akan datang sesudahku para penguasa, maka siapa yang masuk menemui mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan membantu mereka atas kezaliman yang mereka lakukan, maka dia bukanlah dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan ia tidak akan minum air telaga. Barangsiapa yang tidak masuk menemui mereka, dan tidak menolong mereka atas kezaliman mereka, dan tidak membenarkan kedustaan mereka, maka dia adalah termasuk golonganku dan aku darinya dan dia akan minum air telaga." (HR. Ahmad 3/321 dan 399, Tirmidzi 4/525 no. 2259)
Rasulullah memberikan peringatan kepada siapa saja yang rela bersekutu dengan penguasa zalim. Ketika seseorang mendekati kekuasaan tanpa keteguhan hati, ia akan mudah tergoda berkompromi dengan kebatilan, bahkan membenarkan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa demi mempertahankan posisinya.
Abdullah bin Mubarak, seorang ahli fikih dan hadits (736-797 M), mengatakan, "Menurut kami, tidak disebut penganjur kebaikan dan pemberantas kemungkaran, orang-orang yang masuk mendatangi para penguasa untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Yang disebut penganjur kebaikan dan pemberantas kemungkaran adalah orang yang menjauhi mereka."
Ini menunjukkan, bahwa menjaga jarak dari kekuasaan sering kali lebih efektif dalam mempertahankan independensi akhlak dan ketakwaa. Sebab ketika seseorang terlalu dekat dengan penguasa, godaan duniawi akan semakin besar. Kehilangan idealisme menjadi risiko nyata, terutama ketika sudah menikmati fasilitas dan kemewahan yang diberikan oleh para penguasa.
Mencari Kemuliaan
Kehormatan sejati bukanlah yang diperoleh dari jabatan atau kekuasaan duniawi, melainkan dari ketakwaan kepada Allah Swt. Orang yang mencari kehormatan akhirat akan mendapatkan kehormatan dunia sekaligus akhirat, sementara mereka yang hanya mengejar kehormatan dunia tidak akan pernah mencapai kemuliaan yang hakiki.
Allah berfirman: "Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka milik Allah-lah semua kemuliaan itu." (QS al-Fathiir 35: 10)
Kekuasaan yang dicari demi kepentingan dunia semata akan selalu melahirkan kegelisahan, ketakutan, dan kehancuran. Sebaliknya kekuasaan yang dilaksanakan dengan amanah dan keikhlasan akan menjadi ladang pahala, yang mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karena itu, sebagai seorang Muslim, hendaknya kita selalu mengingat bahwa kekuasaan hanyalah titipan yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Jangan sampai ambisi kekuasaan membuat kita lupa tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu meraih ridha Allah dan kebahagiaan di akhirat. Kita mesti kelola ambisi kekuasaan yang sesuai dengan syariat Islam. (Sayed M. Husen/Berbagai sumber)
0 facebook:
Post a Comment