Oleh: Syahrati, S.HI, M.Si

Penyuluh Agama Islam Kabupaten Bireuen

Dalam setiap perjalanan hidup, usia terus bertambah, namun kesempatan justru semakin berkurang. Setiap tahun yang berlalu bukan sekadar angka, tetapi juga pengingat bahwa waktu yang tersisa di dunia semakin sedikit. Banyak yang menganggap pertambahan usia hanya sebagai perayaan, tanpa menyadari bahwa ini juga momen evaluasi diri.

Usia adalah amanah. Setiap detik yang diberikan Allah adalah peluang untuk memperbaiki diri, meningkatkan amal, dan mempersiapkan kehidupan setelah kematian. Sering kali manusia terjebak dalam rutinitas duniawi hingga lupa bahwa setiap pertambahan usia membawa tanggung jawab yang semakin besar dan kesempatan yang semakin sempit.

Rasulullah saw mengingatkan dalam hadits: "Gunakan lima perkara sebelum lima perkara: Waktu mudamu sebelum datang masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu." (HR. Al-Hakim)

Hadits ini menegaskan, kesempatan berbuat baik tidak akan selalu ada. Akan datang masa ketika tubuh tak lagi sekuat dulu, waktu tak lagi sebanyak yang diharapkan, dan kesempatan beramal tak lagi terbuka. Karena itu, selama masih diberi waktu, jangan menunda bertaubat, berbuat baik, memperbaiki hubungan dengan Allah, dan sesama manusia.

Ladang Amal

Setiap detik yang Allah berikan adalah kesempatan menanam benih kebaikan yang hasilnya kelak akan dituai di akhirat. Tidak seharusnya waktu berlalu tanpa makna, tanpa ada usaha menjadikannya lebih bernilai di sisi Allah.

Islam mengajarkan, kehidupan terbaik adalah kehidupan yang penuh manfaat. Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad). Ini menunjukkan, usia yang diberkahi bukan sekadar diukur dari panjangnya, tetapi dari sejauh mana ia membawa kebaikan bagi diri sendiri dan sesama.

Menjadikan usia sebagai ladang amal berarti memastikan setiap aspek kehidupan dipenuhi dengan nilai-nilai kebaikan. Ibadah kepada Allah harus terus ditingkatkan, bukan hanya dalam bentuk ritual, tetapi juga dalam kesungguhan hati lebih mendekat kepada-Nya. Shalat bukan sekadar kewajiban, melainkan jalan mencari ketenangan dan petunjuk. Tilawah Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tetapi cahaya yang menuntun langkah. Sedekah bukan sekadar memberi, tetapi investasi jangka panjang yang pahalanya terus mengalir.

Selain ibadah personal, ladang amal juga bisa diwujudkan melalui kontribusi sosial. Menolong orang lain, membimbing generasi berikutnya, dan berbagi ilmu dan pengalaman adalah cara memastikan keberadaan kita di dunia membawa dampak baik. Jika harta bisa diwariskan, maka lebih dari itu, kebaikan dan ilmu yang bermanfaat akan menjadi warisan yang tak lekang oleh waktu.

Titik Kematangan 

Usia 40 tahun adalah fase kehidupan yang istimewa dalam Islam. Ini bukan hanya angka yang menandakan bertambahnya tahun, tetapi juga titik penting dalam perjalanan spiritual dan intelektual seseorang. Dalam Al-Qur’an, Allah secara eksplisit menyebut usia 40 tahun sebagai momen seseorang mencapai kematangan dan mulai menyadari pentingnya syukur, amal saleh, dan kebaikan bagi keturunannya.

Allah berfirman dalam Surah Al-Ahqaf ayat 15: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung hingga menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia telah dewasa dan mencapai usia empat puluh tahun, dia berdoa: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai, serta berilah kebaikan kepada keturunanku. Sungguh, aku bertaubat kepada-Mu dan termasuk orang-orang yang berserah diri.’”

Ayat ini menegaskan, pada usia 40 tahun, seseorang seharusnya mencapai kesadaran penuh akan tanggung jawabnya dalam beribadah kepada Allah, berbakti kepada orang tua, dan memastikan amal salehnya terus berlanjut melalui generasi penerusnya.

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, usia 40 tahun merupakan puncak kematangan akal dan kestabilan jiwa seseorang. Kebiasaan yang telah dibentuk selama hidupnya cenderung menetap pada usia ini, sehingga jika seseorang telah terbiasa dengan kebaikan, maka ia akan terus berada dalam kebaikan. Sebaliknya, jika keburukan masih mendominasi, maka sulit baginya berubah kecuali dengan usaha yang sungguh-sungguh.

Beberapa ulama dan ahli hikmah menegaskan, seseorang yang mencapai usia 40 tahun namun belum mampu mengalahkan keburukan dalam dirinya, maka ia harus benar-benar waspada. Masruq, seorang ulama tabi'in, berkata, "Ketika seseorang telah mencapai usia 40 tahun, hendaknya ia lebih berhati-hati dalam bertindak, karena pada usia itulah ia mulai diperhitungkan secara serius atas dosa-dosanya."

Pada akhirnya, usia bukan tentang seberapa lama kita hidup, tetapi seberapa bermakna hidup yang telah kita jalani. Waktu yang tersisa adalah misteri dan tidak ada yang tahu kapan kesempatan itu habis. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha sebaik mungkin, agar ketika saatnya tiba, kita pergi dalam keadaan husnul khatimah.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top