Oleh: Juariah Anzib, S.Ag
Penulis Buku Wawasan Relegius Dan Inspirasi
Infak adalah memberlanjakan harta di jalan Allah kepada sesama umat dengan ikhlas, seperti bersedekah, memberi sumbangan, berwakaf, dan sejenisnya. Hanya orang-orang beriman dan bertakwa yang mampu berinfak secara baik dan benar.
Sifat kedermawanan merupakan suatu keistimewaan yang dimiliki seorang muslim sebagai tolok ukur keimanan dan keyakinan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Karena simbul beribadah bukan hanya hablumminallah, tetapi juga hablumminannas. Keduanya merupakan amalan sebagai salah satu bentuk beribadah kepada Allah Swt.
Seseorang yang berinfak dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, akan memiliki kualitas iman yang baik. Sebab, saat melakukannya tanpa banyak pertimbangan yang meragukan. Hal tersebut menunjukkan kesempurnaan iman dan kebaikan diri seseorang. Namun, jika berinfak dengan penuh pertimbangan, maka pemberiannya tentu kurang berkualitas, karena ia tidak memiliki komitmen sendiri untuk beramal saleh. Bahkan harus dipancing dan didorong terlebih dahulu. Hal tersebut membuktikan, bahwa ia masih membutuhkan bimbingan rohani.
Dr. Sabaruddin Siahaan, S.Pd I, M.Sos dalam bukunya Dakwah Sufi mengutip Imam Ibnu Athaillah al-Sakandari dalam kitabnya al-Hikam menyatakan, "Orang yang memiliki kelebihan harta hendaklah berderma menurut kemampuannya. Ini ditujukkan kepada mereka yang telah sampai kepada Allah. Dan bagi siapa yang masih sempait rezekinya, maka hendaklah ia mendermakan apa yang diberikan Allah kepadanya. Ini ditujukan kepada mereka yang tengah menuju Allah."
Hal itu sebagaimana dijelaskana dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 92, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya."
Ayat tersebut tenyata menjadi motovasi bagi para sahabat Rasulullah saw. Mereka langsung merespon dengan luar biasa, sehingga dengan segera tergeraklah Zaid bin Sahl r.a yang sering dipanggil Abu Thalhah r.a. Sahabat Anshar ini memiliki kebun dengan nama Birha' yang berposisi berhadapan dengan masjid Nabawi. Di kebun tersebut terdapat sebuah sumur yang airnya sangat jernih. Abu Thalhah sangat mencintai kebun tersebut. Ia segera menemui Rasulullah saw untuk mewakafkan kebunnya itu. Betapa gembira Abu Thalhah setelah menginfakkannya.
Sabaruddin menulis, pada kali yang lain, Rasulullah saw memobilisasi para sahabat agar berinfak bersama dalam rangka pengembangan Islam. Lalu para sahabat berlomba-lomba menginfakkan hartanya di jalan Allah. Tidak ketinggalan Umar bin Khathab. Al-Faruq ini berharap akan mendapatkan pemenang dalam berinfak kali ini, namun ternyata harapannya dikalahkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Umar datang dan berinfak di hadapan Rasulullah saw dengan membawa separuh harta kekayaannya. Lalu beliau bertanya, “Adakah harta yang engkau tinggalkan untuk ahli keluargamu? Umar menjawab, “Aku telah meninggalkan separuh dari hartaku untuk mereka.”
Tidak lama berselang datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia membawakan begitu banyak harta kekayaannya untuk diinfakkan. Kemudian Rasulullah saw bertanya kepada Abu Bakar, "Adakah harta yang engkau tinggalkan untuk ahli kekuargamu? Abu Bakar menjawab, "Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan rasul-Nya.” Betapa tersentaknya Umar bin Khathab mendengar jawaban Abu Bakar ra. Ia bergumam dalam hatinya, "Aku tidak akan pernah bisa menandingi rohaniah Abu Bakar." Memang Abu Bakar seorang yang diakui kedermawanannya.
Demikian juga dengan seorang sahabat yang namanya jarang terdengar ini. Ia adalah Abu Dahdah r.a. Ketika ayat mengenai infak diturunkan, maka ia bergegas memberikan pinjaman kepada Allah Swt. Ia mendatangi Rasulullah saw untuk mengklarifikasi kebenaran ayat ini. Lalu ia memegang erat tangan mulia Rasulullah saw.
Abu Dahdah menyerahkan sepetak kebun kurma miliknya sebagai pinjaman kepada Allah Swt. Kebun tersebut ditumbuhi 600 pohon kurma yang produktif. Rasulullah saw sangat mengapresiasi keputusan Abu Dahdah. Dengan penuh semangat ia pulang ke rumah menemui istri dan anaknya. Lalu ia menyampaikan kepada mereka, ia telah meminjamkan hartanya itu kepada Allah.
Menurut Sabaruddin, hal tersebut merupakan suatu hal luar biasa dalam mencapai kesempurnaan iman. Hati bercahaya yang dipenuhi cinta dan kasih sayang kepada sesama. Setiap ada seruan berkorban, orang-orang peniti suluk kepada tingkat muqarrabin ini selalu tampil lebih awal. Tanpa ragu dan bimbang, dengan segera mereka menunaikan ibadah sosial secara ikhlas.
Keimanan sempurna adalah yang tidak diselingi oleh pengaruh nafsu duniawi. Tanpa khawatir hartanya berkurang atau habis, sebab harta milik kita yang sesungguhnya adalah yang kita infakkan di jalan Allah. Sedangkan yang ditinggalkan akan bisa jadi menjadi sengketa dan permusuhan.
Karena itu, berinfak sangat berkaitan dengan kecintaan kepada Allah Swt. Kecintaan yang hakiki yang dibarengi dengan keikhlasan. Mari kita berinfak sebagai pinjaman kepada Allah yang akan digantikan dengan surga indah di akhirat kelak.
Editor: Sayed M. Husen
0 facebook:
Post a Comment