Oleh: Syahrati, M.Si

Penyuluh Agama Islam Bireuen


Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah. Umat Islam melakukan ibadah puasa sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, Ramadhan waktu terbaik bagi kita memperbaiki diri, memperkuat hubungan dengan Allah, dan membersihkan hati dari segala penyakit batin. Ramadhan sejatinya momentum mendidik jiwa agar lebih sabar, ikhlas, dan penuh kasih sayang terhadap sesama.

Salah satu aspek penting dalam menjalani ibadah puasa adalah detox jiwa yang merupakan proses penyucian hati dari berbagai penyakit yang mengotori keikhlasan dan ketenangan batin. Puasa melatih kita menahan hawa nafsu, mengendalikan emosi, dan meningkatkan kesadaran spiritual.

Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali mengatakan,  “Perasaan lapar dan haus yang dialami oleh orang yang berpuasa adalah jalan mencapai martabat takwa, mampu membersihkan hati dari noda dan bintik hitam yang timbul akibat pengaruh nafsu.” 

Hakikat puasa membiasakan jiwa yang bersih dari nafsu, sekaligus sarana pembersihan jiwa atau yang biasa disebut dengan tazkiyatun nafs. Secara umum, tazkiyatun nafs diimplementasikan dengan cara membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dan membuang semua jenis penyakit hati yang pada akhirnya berujung pada usaha menghias diri dengan sifat-sifat terpuji.

Metode Tazkiyatun Nafs 

Dalam ilmu tasawuf, tazkiyatun nafs dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli adalah proses membersihkan diri dari sifat-sifat buruk yang berasal dari dorongan nafsu, seperti kesombongan, iri hati, dan sifat tamak. 

Setelah membersihkan diri dari hal-hal tercela, tahap berikutnya adalah tahalli, yaitu mengisi hati dengan sifat-sifat terpuji. Seseorang yang menjalani tahalli berusaha membiasakan diri dengan kebajikan, seperti sabar, ikhlas, husnudzan, serta istiqamah dalam ibadah dan kebaikan. 

Ketika kedua tahap ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, seseorang akan mencapai tajalli, yaitu kondisi hati menjadi bersih dan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Allah Swt. Pada tahap ini, seseorang tidak lagi terikat oleh kepentingan duniawi dan hanya berbuat semata-mata karena kecintaannya kepada Allah.

Penyakit Hati 

Hati yang mati disebabkan oleh berbagai penyakit batin yang tanpa disadari merusak keikhlasan dan ketulusan dalam beribadah. Salah satu penyakit hati yang kerap muncul adalah riya’, yaitu melakukan kebaikan semata-mata demi mendapatkan pujian dari orang lain. Orang yang riya’ kehilangan keikhlasan, karena ibadahnya tidak lagi berorientasi kepada Allah, melainkan kepada pengakuan manusia.

Selain riya’, ada pula penyakit sum’ah, yakni keinginan dikenal dan didengar oleh banyak orang atas perbuatan baik yang dilakukan. Seseorang yang terjangkit sum’ah merasa resah jika amalannya tidak diketahui orang lain, padahal keutamaan ibadah sejatinya terletak pada ketulusan yang tersembunyi. 

Penyakit hati lainnya yaitu ujub, perasaan bangga terhadap kelebihan diri. Seseorang yang ujub cenderung meremehkan orang lain dan merasa dirinya lebih hebat.

Fakhr, yaitu kebanggaan berlebihan terhadap harta, kedudukan, atau pencapaian yang dimiliki. Sikap ini menumbuhkan keangkuhan yang menjauhkan seseorang dari rasa syukur. Begitu pula dengan ikhtiyal, yakni keinginan agar tidak tersaingi oleh orang lain, sehingga seseorang berusaha selalu lebih unggul tanpa peduli pada nilai kejujuran dan keadilan.

Selain itu, ada juga sifat tasahul atau sikap meremehkan orang lain, ananiyah atau egoisme yang membuat seseorang hanya mementingkan dirinya sendiri, serta syuhh atau sifat kikir yang menjadikan seseorang enggan berbagi meskipun memiliki kelapangan rezeki. 

Semua penyakit hati ini, jika tidak segera disadari dan dibersihkan, dapat mengotori jiwa dan merusak pahala amalan-amalan yang kita perbuat. 

Semua penyakit hati tersebut merusak pahala amalan-amalan yang kita perbuat, karena itu seharusnya kita memperbanyak istighfar sebagai bentuk introspeksi diri dan pembersihan hati. Selain itu, pengendalian emosi juga menjadi kunci penting dalam detox jiwa di bulan Ramadhan. Saat berpuasa, kita belajar menahan marah, bersabar dalam menghadapi ujian, dan tidak mudah terpancing emosi. 

Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita pribadi yang lebih baik setelah Ramadhan berakhir. Aamiin.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top