Oleh: Dr. Johansyah, MA
Dosen STIT Al-Washliyah Aceh Tengah
Kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Harga bahan kebutuhan pokok mahal, terlebih lagi menjelang lebaran nanti. Sementara penghasilan masyarakat kelas ekonomi menengah dan bawah relatif stagnan. Di tengah himpitan ini, bahkan banyak pula orang yang kehilangan pekerjaan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di sisi lain nilai tukar rupiah juga semakin melemah.Sengkarut sosial ini diperparah lagi dengan praktik korupsi di berbagai sektor. Salah satunya adalah dugaan mega korupsi Pertamina dari hasil oplosan pertalite menjadi pertamax yang diperkirakan terjadi sejak 2018 lalu dengan kerugian negara hampir mencapai satu kuadriliun. Dalam proses penanganannya kasus ini tampaknya tidak akan tuntas hingga ke akarnya karena ada kekuatan besar di belakangnya.
Di seratus hari pertama kepemimpinan Prabowo, kita juga melihat ada beberapa kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat sehingga membuat publik gerah. Katakan saja kebijakan efesiensi anggaran untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kebijakan ini dinilai oleh banyak kalangan tidak tepat dan terkesan dipaksakan. Akibatnya banyak gelombang protes bermunculan di media sosial. Demonstrasi mahasiswa yang bertemakan “Indonesia Gelap”, dan juga protes dalam bentuk lainnya melalui tagar “kabur aja dulu”.
Tidak Bisa Berharap Banyak
Tentu masih banyak lagi persoalan lainnya yang tidak mungkin diuraikan dalam kesempatan ini. Poin inti yang ingin saya sampaikan adalah, dalam kondisi seperti ini kita tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah dengan kebijakannya yang terkadang tidak masuk akal. Jalan satu-satunya dengan melakukan gerakan sosial secara sinergis dan simultan dari rakyat dan untuk rakyat.
Ramadhan ini tampaknya menjadi momen yang tepat bagi kita melakukan gerakan sosial tersebut. Sebab salah satu nilai yang ingin ditumbuhkembangkan dari puasa adalah kepedulian. Bagaimana orang kaya dapat merasakan penderitaan orang miskin maupun yatim yang sering ditimpa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pada saat berpuasa kita tidak makan dan minum di siang hari. Ini artinya kita mampu melakukan penghematan anggaran. Biaya yang biasanya digunakan untuk makan siang inilah yang coba kita sisihkan dan kumpulkan untuk membantu orang miskin maupun anak yatim.
Saya membaca buku “Psikologi Islami, Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi” yang ditulis oleh Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso. Salah satu pembahasan di dalamnya pengaruh puasa terhadap kesehatan jiwa. Pada bagian akhir pembahasan, penulisnya bercerita tentang puasa sebagai gerakan sosial seperti yang pernah dilakukan di Amerika. Mereka menamainya dengan hunger project. Yakni program puasa sehari dalam seminggu atau sebulan, di mana jutaan orang berpuasa, lalu biaya yang seharusnya digunakan untuk makan dikumpulkan dan disumbangkan kepada orang miskin.
Mereka terinspirasi dari puasa yang dilakukan oleh umat Islam setiap tahun pada bulan Ramadhan. Puasa mereka tentu bukan atas dasar perintah agama, tetapi karena merasa terpanggil membantu orang-orang yang susah. Gerakan mereka muncul dari rasa manusiawi yang prihatin terhadap kondisi orang-orang yang membutuhkan uluran tangan.
Aksi mulia inilah yang patut kita apresiasi dan contoh karena ada nilai islami yang mereka praktikkan, yakni nilai kepedulian sebagai salah satu inti dari ajaran Islam yang sejatinya mampu kita wujudkan melalui ibadah puasa di bulan yang penuh berkah ini.
Misalnya di Aceh, jika puasa Ramadhan ini kita jadikan bulan amal dengan menyisihkan Rp 10.000 setiap hari, maka dalam sebulan seorang yang berpuasa dapat mengumpulkan Rp 300.000. Sekiranya 1,5 juta jiwa saja dari masyarakat Aceh menyumbang dengan jumlah tersebut selama Ramadhan, maka total sumbangan yang terkumpul bisa mencapai puluhan hingga ratusan miliar khusus di bulan Ramadhan.
Dana yang terkumpul sebesar ini tentu saja dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemiskinan di Aceh, baik bantuan pendidikan untuk keluarga miskin, bantuan biaya kesehatan, dan berbagai kebutuhan mereka lainnya. Hal ini bukanlah sebuah mimpi di siang bolong jika kita memang benar-benar merancang dan menjalankan program ini dengan baik.
Mengedepankan Pendekatan Kultural
Gerakan sosial ini yang jelas adalah inisiatif masyarakat, bukan karena diprogramkan oleh pemerintah. Islam sendiri sebenarnya lebih mengedepankan pendekatan kultural dalam mengatasi persoalan sosial daripada pendekatan struktural. Contohnya zakat, infak, sedekah, maupun wakaf yang secara umum pengelolaannya lebih cenderung secara otonom di luar pemerintahan, meski pun sebenarnya tidak menutup kemungkinan dikolaborasikan dengan pendekatan struktural seperti pengelolaan Baitul Mal di Aceh.
Terkait dengan gerakan sosial khusus di bulan Ramadhan, mungkin sudah saatnya kita berpikir untuk menata program ini dengan baik. Artinya infak kaum muslimin di saat bulan Ramadhan tidak lagi sebatas takjil yang dibagikan di jalan-jalan maupun di masjid-masjid. Lebih dari itu, mungkin ada baiknya setiap masjid merancang program ini secara profesional, khusus Ramadhan sumbangan yang dikumpulkan fokus untuk membantu fakir miskin, bukan untuk keperluan pembangunan maupun renovasi masjid.
Terlihat ada kecenderungan pengurus lebih mengutamakan dana infak yang terkumpul pada saat maupun di luar bulan Ramadhan untuk pembangunan dan merenovasi masjid, walaupun sebenarnya tidak mendesak. Padahal kalau kita melihat kondisi masyarakat sekitarnya justru masih banyak keluarga miskin maupun yatim yang membutuhkan bantuan.
Hal-hal seperti ini patut menjadi bahan evaluasi bersama umat Islam. Untuk apa membangun masjid besar dan megah kalau di sekitarnya banyak orang susah. Saya yakin daripada panitia masjid memikirkan membeli lampu hias masjid dengan harga yang fantastis atau untuk kebutuhan lain yang sebenarnya tidak mendesak, lebih baik diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan orang miskin maupun anak yatim di sekitarnya.
Semoga Ramadhan ini betul-betul mampu menghadirkan keberkahan bukan saja secara individu, tetapi juga secara kolektif melalui gerakan sosial ini. Gerakan sosial semacam ini tentu saja langkah nyata yang berdampak langsung dalam mengatasi persoalan bangsa di saat penguasa sibuk dengan pemenuhan syahwat pribadi dan kelompoknya. Insya Allah kalau diniatkan karena Allah, inilah jalan tol yang kita tempuh menuju ridha-Nya. Wallahu a’lam bishawab!
Editor: Sayed M. Husen
0 facebook:
Post a Comment