Oleh Dr. Johansyah, MA

Dosen STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

Saat ini kita berada di awal Ramadhan. Dengan meminjam istilah pembekalan para kepala Daerah di Magelang, sebulan ke depan kita akan mengikuti retret Ramadhan untuk meningkatkan kualitas diri melalui salah satu perintah yang diwajibkan-Nya kepada kita, yakni puasa Ramadhan. Untuk itu, mari sambut penuh suka cita dengan mengucapkan marhaban ya ramadhan. Ini adalah salah satu nikmat yang tidak ternilai dengan materi apapun, dan yang memperolehnya hanya orang-orang beriman saja.

Jika retret Magelang hanya terbatas untuk para kepala daerah, maka di Ramadhan, khususnya mereka yang beriman mendapatkan kesempatan khusus untuk memperoleh pembekalan. Program tahunan ini sengaja dibuat oleh Allah SWT untuk menjaga stabilitas, sekaligus meningkatkan kualitas keimanan seseorang. Sekiranya stabilitas ini tetap terjaga, maka akan terwujud kehidupan yang harmonis, aman, nyaman, dan sejahtera, baik secara individu maupun sosial.

Retret Ramadhan adalah cara Allah SWT untuk memperbaiki sistem kemanusiaan seseorang yang kerap labil dalam menerapkan perintah dan larangan-Nya. Terkadang orang dalam kesadaran yang mendalam sehingga melakukan pengabdian secara maksimal. Tapi sebagai makhluk yang juga memiliki hawa nafsu, dia sering lupa dengan tugas utama pengabdiannya. Justru banyak yang kemudian melakukan pengabadian. Yakni mengira apa yang dimilikinya merupakan sesuatu yang akan terus melekat dan menyatu dengan dirinya. Padahal begitu maut menjemput, semua akan segera luput. 

Proses penggemblengan spiritual di bulan Ramadhan cukup sederhana, tidak ada tuntutan yang muluk-muluk dari Allah SWT. Pada kesempatan ini mereka hanya diminta untuk berpuasa. Yakni menahan diri dari makan dan minum serta dari hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa maupun yang mengakibatkan batalnya puasa.

Penundukan Hawa Nafsu

Puasa juga dapat dimaknai sebagai upaya pengendalian diri dan penundukan hawa nafsu. Nafsu memang harus dikendalikan karena keinginan manusia tidak hanya terbatas pada hal-hal yang baik, tapi juga yang buruk sebagai sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT (QS. Yusuf: 53). Sebagai bagian dari fitrah manusia, nafsu memang tidak mungkin dihilangkan, tapi berpeluang untuk diarahkan, dan salah satu cara paling efektif yang ditempuh adalah dengan puasa. 

Memang kelihatannya biasa, namun program seperti ini penuh tantangan. Orang-orang yang berpuasa masuk ke dalam sebuah situasi yang penuh dengan batasan dan larangan dalam upaya mengendalikan nafsu tadi. Sebelumnya mungkin seseorang tidak terbeban melakukan keburukan, tapi dalam puasa Ramadhan dia akan mempertimbangkan kebiasaan buruk tersebut. Dia segera teringat bahwa dirinya sedang puasa. Meski pun mungkin masih melakukan kebiasaan buruknya, tapi minimal dia sudah mengingat bahwa dirinya puasa. Artinya ada perasaan diawasi oleh Allah SWT. Harapannya, pelan-pelan dia semakin menyadari dan akhirnya mampu mengubah kebiasaannya.

Dengan proses penggemblengan spiritual ini kita dibimbing untuk melatih diri dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat, serta menghindari hal-hal yang sia-sia. Puasa yang dijalankan dengan sungguh-sungguh akan membuat orang lebih selektif, sensitif dan penuh pertimbangan dalam melakukan sesuatu. Meski digoda oleh berbagai keinginan, dia tetap mengingat bahwa dirinya sedang berpuasa dan tidak mau terjebat pada hal tersebut yang dapat mengurangi nilai puasanya. Sedikit demi sedikit, ini akan menjadi tradisi yang nanti tidak hanya dilakukan di bulan ramadhan, tapi juga setelahnya.

Pada retret Ramadhan ada semacam kebiasaan terbalik yang kita lakukan, yakni mengurangi jatah kebutuhan jasmani, berupa makan dan minum pada waktu yang telah ditentukan yakni mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Pengosongan perut di siang hari banyak sedikitnya akan mengurangi dorongan seseorang untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. 

Selain itu, orang yang berpuasa dibimbing untuk lebih banyak mengisi aktivitasnya dengan pemenuhan kebutuhan spiritual untuk menata hatinya melalui zikir, i’tiqaf, membaca al-Qur’an, shalat, dan seterusnya. Dalam kondisi seperti ini seseorang dimungkinkan untuk mampu menumbuhkan kesadaran diri yang lebih baik. Secara psikologis, daya spiritual seseorang akan tumbuh manakala kondisi fisiknya lemah, dan dia cenderung mampu memikirkan hal-hal yang abstrak, seperti heri esok dan kematian.

Lihat saja orang yang ditimpa sakit, biasanya akan masuk ke dalam wilayah spiritual, di mana sebelumnya jarang mengingat kesalahan, tiba-tiba teringat dengan masa lalu. Paling kurang dia akan teringat bahwa sebelumnya dia tidak selektif dalam memilih makanan, apa saja di makan. Akibatnya dia menderita penyakit tertentu akibat tidak membatasi makanan. Selain itu, banyak sedikitnya orang tersebut akan menghubungkan sakitnya dengan sikap dan perilaku sebelumnya. Dia merasa banyak melakukan dosa dan kesalahan, sehingga ketika sakit banyak mengingat Tuhan dan memohon ampunan kepada-Nya.

Melahirkan Pribadi Berkarakter Ihsan

Tidak diragukan lagi bahwa retret ramadhan ini pada akhirnya akan mampu melahirkan pribadi yang berkarakter ihsan. Yakni mereka yang melakukan kebaikan semata-mata karena Allah SWT, bukan karena ingin dilihat dan disanjung manusia. Dalam kesendirian dia tetap menjaga diri meski pun ada peluang untuk melakukan kemaksiatan karena selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Ketika orang lain melakukan satu kebaikan kepadanya, dia akan membalasnya dengan lebih banyak kebaikan. Itulah yang disebut dengan ihsan.

Hari ini betapa banyak orang yang pura-pura baik di depan, tapi sesungguhnya jahat di belakang. Sopan santun hanya didemonstasikan di depan kamera agar terlihat elegan dan besahaja, tapi begitu berada dalam ruang terbatas, sopan santunnya tergilas. Kebaikan yang diciptakannya tidak lebih dari pencitraan yang penuh kepalsuan. Bajunya ulama, tapi perilakunya seperti mafia. Kalamnya seperti orang bijak, tapi sering berbuat bejat.

Di antara sebab mundurnya sebuah bangsa dalam berbagai aspek pembangunan, tidak lain karena banyaknya orang yang pura-pura baik memegang kendali kekuasaan. Mulut mereka begitu fasih mengucapkan demi dan berkorban untuk rakyat, padahal sebenarnya mengorbankan rakyat. Mereka kerap berbicara atas nama rakyat, padahal sebenarnya hanya mengatasnamakan rakyat.

Marilah ikuti retret Ramadhan ini dengan imanan wahtisaban sehingga hasilnya maksimal dalam upaya memperbaiki kondisi batin yang rusak. Kiranya tumpukan sampah dosa kesalahan yang berserakan dalam hati kita dapat disingkirkan sedikit demi sedikit sehingga menjadi bersih. Bermohonlah kepada Allah SWT agar kita senantiasa dibimbing selama Ramadhan ini sehingga mampu mencapai level kesadaran diri yang maksimal, atau dalam bahasa al-Qur’an disebut takwa.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top