LAMURIONLINE.COM | ACEH
- Hilal penetapan awal Ramadhan 1446 H di Aceh disaksikan oleh dua perukyat profesional utusan Kemenag RI.  Kedua perukyat tersebut berasal dari Jawa Timur dan merupakan perukyat dari Nahdlatul Ulama (NU) yang mendapat surat tugas dari Kementerian Agama RI untuk memantau hilal awal Ramadhan 1446 H di Pusat Observatorium Teungku Chik Kuta Karang, Lhoknga, Jumat, 28 Februari 2025.

Hasil pemantauan ini kemudian diumumkan dalam sidang isbat di Jakarta oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar. Berdasarkan pemantauan di 121 titik di Indonesia, hilal hanya terlihat di Aceh pada 29 Sya’ban, kemarin.

Sebelumnya, media sosial dihebohkan dengan video berisikan penjelasan tentang pemantauan hilal di Lhoknga oleh Ketua MPU Aceh Teungku Faisal Ali. Di dalam video berdurasi 6 menit 11 detik tersebut pria yang akrab disapa Lem Faisal tersebut menjelaskan bahwa hilal penetapan awal Ramadhan dilihat oleh perukyat asal Gresik, Jawa Timur.

Di dalam video tersebut, Faisal Ali juga menegaskan bahwa yang diambil sumpah oleh Mahkamah Syariyah Jantho bukanlah saksi yang menyaksikan hilal, meskipun kedua saksi tersebut hadir di lokasi pemantauan hilal.

Sementara itu, setelah dikonfirmasi dengan Tim Falakiyah Kemenag Aceh, Alfirdaus Putra membenarkan informasi yang disampaikan oleh Teungku Faisal Ali.

Alfirdaus mengungkapkan, kedua perukyat yang berasal dari Nahdhatul Ulama tersebut merupakan praktisi hisab rukyat dari Gersik dan Sidoardjo. Adapun identitas kedua perukyat tersebut yakni, Muhammad Inwan Nudin, usia 48 tahun, merupakan pengurus Lembaga Falakiyah Nahdatul Ulama dan Muchammad Qolbir Rohman, 33 Tahun, merupakan guru di Jawa Timur.

“Kedua perukyat ini merupakan tenaga profesional yang diutus oleh Kemenag RI. Mereka juga sudah mengantongi surat tugas dari Kemenag untuk melakukan pemantauan hilal di Aceh,” ujarnya.

Dia menyayangkan beredarnya  isu liar tentang keberadaan penyusup saat pemantauan hilal awal Ramadhan di Lhoknga.

“Itu tidak benar sama sekali. Yang melihat hilal kemarin adalah tenaga profesional yang fokus pada pemantauan hilal di daerahnya, mereka adalah pakar falakiyah Lembaga Falakiyah Nahdhatul Ulama,” ungkap Firdaus.

Alfirdaus menjelaskan, pemantauan hilal awal Ramadhan 1446 H di Pusat Observatorium Hilal Teungku Chik Kuta Karang  melibatkan Tim Falakiyah Kanwil Kemenag Aceh dan juga beberapa tim utusan Kemenag RI, MPU, Perguruan Tinggi serta beberapa ormas Islam.

Dia menjelaskan, saat pemantauan kedua perukyat dari Jawa Timur tersebut mengaku melihat hilal pada pukul 18.56 WIB sehingga ini menjadi rujukan sidang isbat di Jakarta.

“Kemudian ketika akan disumpah, pihak Mahkamah Syariyah Jantho bertanya kepada saksi yang melihat tadi ‘apakah mereka orang Aceh Besar?’. Kalau bukan orang Aceh Besar tidak diakui sebagai saksi pada hari ini,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, karena hakim menolak kesaksian dari orang luar Aceh Besar, sehingga pihak pengadilan meminta dua orang saksi dari unsur ulama ber-KTP Aceh Besar yang hadir di lokasi pemantauan hilal sebagai saksi yang tidak melihat hilal.

“Maka hakim tersebut menetapkan istbat  berdasarkan hasil sumpah orang yang ber-KTP Aceh Besar yang tidak melihat hilal. Sedangkan yang melihat hilal ditolak secara formil karena tidak berasal dari Aceh Besar,” ungkap Firdaus. Ketika ditanya tentang apakah saksi hilal harus dari satu kabupaten yang sama, firdaus enggan berkomentar karena terkait materi putusan yang menjadi ranah Mahkamah Syariyyah.*

SHARE :
Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post

0 facebook:

Post a Comment

 
Top